Masuk Daftar
My Getplus

Semsar Siahaan Menggali Kembali Kejahatan Negara

Di masa Orde Baru, instalasi seni tentang kejahatan negara di masa silam dipamerkan dalam Jakarta Bienalle 1993. Meski menyentil penguasa, pameran dan perupanya tidak diapa-apakan.

Oleh: Martin Sitompul | 03 Jan 2025
Instalasi seni "Penggalian Kembali" karya Semsar Siahaan dalam pameran seni rupa Jakarta Biennale IX, 17 Desember 1993--17 Januari 1994. Sumber: Arsip IVAA

SEKUMPULAN jenazah terserak dalam sebidang liang lahat di salah satu ruang terlantar galeri Taman Ismail Marzuki. Di sekeliling tembok bertuliskan mural hitam-putih. Ia melukiskan orang-orang yang dipenjara, dipasung, serta mereka yang menjadi korban kekerasan. Suram, seram, gelap. Kesan itulah yang tampak pada instalasi seni bertajuk “Penggalian Kembali” karya perupa Semsar Siahaan dalam pameran Jakarta Visual Art Biennale IX, pada 1993.

“Esensi kesenian adalah kemerdekaan. Esensi kemerdekaaan adalah hak asasi manusia. Esensi seniman adalah hak asasi untuk kemerdekaan,” demikian jargon Semsar mengenai karya instalasinya “Penggalian Kembali” dalam katalog Bienniale Seni Rupa Jakarta IX.

Biennale Seni Rupa Jakarta atau biasa disebut Jakarta Biennale adalah pameran akbar seni rupa kontemporer yang diselenggarakan dua tahun sekali. Tradisi pameran ini berskala nasional dan senantiasa diikuti perupa dari berbagai penjuru tanah air. Jakarta Bienalle IX-1993 bertepatan dengan 25 tahun TIM. Sejumlah perupa muda turut serta di dalamnya, seperti Dadang Christanto, FX Harsono, Rahmayani, Andar Manik, termasuk Semsar Siahaan. Sementara itu, Jim Supangkat, perupa dan kritikus seni ternama, bertindak sebagai kurator pameran.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pameran Repatriasi Berlangsung Hari Ini

Jakarta Biennale IX dihelat pada 17 Desember 1993—17 Januari 1994. Salah satu karya yang berhasil menyedot perhatian adalah instalasi seni “Penggalian Kembali” karya Semsar Siahaan. Namun, karya instalasi itu baru dipertunjukkan ke publik pada 31 Desember 1993—14 Januari 1994, dan pada hari penutupan 17 Januari 1994. Katalog pameran menyebutkan, “Penggalian Kembali” merupakan karya kolabotasi Semsar bersama koleganya sesama perupa Andar Manik.

Dalam “Penggalian Kembali” itu, Semsar memakai ruang pameran TIM yang akan diruntuhkan. Di bagian tengah ruangan, Semsar membuat galian tanah ukuran 9 x 3,5 meter dengan kedalaman dua meter. Onggokan patung-patung mayat dari tanah liat mengisi galian itu. Mereka terserak tak beraturan dan terlihat mengenaskan. Meski terbuat dari tanah liat, objek jenazah dalam galian tampak mendekati nyata. Sementara itu, bergunduk-gunduk tanah sisa galian dibiarkan di sekitar kuburan massal itu. Lebih keluar dari gundukan tanah, sekeliling tembok ruangan tertoreh lukisan hitam-putih dari perihal tamu wajib lapor, sepatu lars tentara, sampai jeruji penjara.

Semsar seolah menggambarkan penderitaan rakyat yang ditindas oleh rezim otoriter saat itu. Karya instalasi seni “Penggalian Kembali” dianggap sebagai simbol dari usaha untuk mengingat para korban selama terjadinya kekerasan politik di Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru. Terlebih khusus lagi, ia merujuk pada tragedi 1965—1966, ketika banyak orang yang terindikasi sebagai simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuhi tanpa pengadilan.

Baca juga: Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965

“Penekanan pada kesaksian yang dicontohkan oleh karya-karya Semsar Siahaan (dan Dadang Christanto) menggambarkan trauma berkelanjutan dari peristiwa 1965–66. Trauma yang direpresentasikan melalui karya-karya seni tersebut menolak untuk dihistoriskan dan dibuang ke masa lalu,” ulas sejarawan dan kurator seni Wulan Dirgantoro dalam “After 1965: Historical Violence and Strategies of Representation in Indonesian Visual Arts” termuat di kumpulan tulisan Living Art: Indonesian Artist Engage Politics, Society and History suntingan Elly Kent, Virgia Hooker, dan Caroline Turner.

Sebagai seniman, Semsar memang terbilang kritis. Dalam berbagai karyanya, Semsar memindai realitas sosial ke dalam lukisan maupun instalasi seninya. Dalam pameran tunggalnya pada 1988, Semsar menciptakan sosok “Manubilis”, yaitu manusia, binatang, dan iblis yang menjelma sebagai satu kepribadian, sebagai kritik sosial merujuk kepada penjahat berkerah.

Menurut Aminuddin TH. Siregar, pengampu studi Seni Rupa ITB, barangkali tiada seniman lain yang lebih mewakili perkembangan seni rupa Indonesia dalam melawan despotisme rezim Soeharto, Orde Baru, baik melalui karya seni maupun aktivitas sosial politiknya, selain Semsar Siahaan. “Semsar adalah representasi generasi pemberontak tahun 1980-an, namanya mulai bersinar sejak kuliah di kampus Institut Teknologi Bandung,” catatnya dalam artikelnya, “He Who Comes as an Invalid and Wounded”, di bunga rampai Semsar Siahaan: Art, Liberation suntingan T.K. Sabapathy.

Baca juga: Semsar Siahaan, Seniman yang Dianiaya Orde Baru

Bagi Semsar, praktik berkarya seni tidak dilakukan hanya demi seni semata. Sebaliknya, seni merupakan bentuk perlawanannya terhadap ketidakadilan dan penindasan hak asasi manusia di Indonesia saat itu. Semsar menyebutnya sebagai “Seni Pembebasan”. Sejalan dengan itu, karya seni yang dihasilkannya hampir selalu berbicara dalam bahasa ketidakpuasan dan perlawanan. Instalasi site-specific yang mengambil bentuk kuburan kosong di tengah lantai galeri TIM berjudul “Penggalian Kembali”, diakui sebagai karya Semsar paling terkenal.

Selain “Penggalian Kembali”, dalam Jakarta Biennalle IX-1993, Semsar juga menghadirkan sejumlah lukisan. Lukisan karya Semsar itu antara lain: Selendang Abang (lukisan cat minyak, 1,5 x 3 meter), Jerita Biru Seorang Pelukis (1 x 1 meter), dan Diantara Pabrik dan Penjara (1 x 1 meter). Seperti “Penggalian Kembali”, lukisan-lukisan itupun mengandung satir dan kritik sosial kepada penguasa.

Kendati karya yang ditampilkan Semsar menyentil dan sensitif bagi rezim Orde Baru, pameran Jakarta Biennale 1993 berjalan lancar tanpa diintervensi aparat. Pun demikian dengan Semsar. Pameran seni rupa ini juga mendapat ekspose media, bahkan turut diulas dalam rubrik seni Harian Berita Yudha, suratkabar yang berafiliasi dengan Angkatan Darat.

“Seorang pengunjung perempuan tengah mengamati lukisan dinding Semsar Siahaan pada acar Bienniele Seni Rupa Jakarta mengisi peringatan 25 tahun TIM,” sebagaimana diwartakan Berita Yudha, 2 Januari 1994.

Baca juga: Perempuan dalam Dunia Seni Rupa Indonesia

Selain pameran aman dari bredel, sejumlah pejabat tinggi negara turut menyambut baik perhelatan seni rupa ini. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave, serta Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja. Menteri Wardiman dan Joop Ave bahkan bertindak sebagai penasehat pameran Jakarta Biennale 1993.

“Ada hal yang sangat menarik pada penyelenggaraan Bienniale Seni Rupa Jakarta IX ini, karena di samping akan menampilkan karya perupa-perupa Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini, juga akan mewadahi dan memperkenalkan karya-karya yang cenderung baru dan tidak lagi terikat pada estetik yang berlangsung terus menerus,” kata Menteri Wardiman dalam testimoni di katalog pameran.

Namun, celaka baru mendera Semsar berselang setahun kemudian. Di luar aktivitas sebagai seniman, Semsar juga getol di dunia aktivis. Ketika ikut dalam aksi demonstrasi menyoal pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Detak pada Juni 1994, Semsar jadi salah satu demonstran yang dihajar tentara. Apakah Semsar sudah diincar atau tidak? Entahlah. Yang terang, kekerasan itu terus melekat pada raganya menjadi cacat permanen. Sejak itu, Semsar terlihat berjalan pincang pada kaki kirinya hingga ia wafat pada 2005.

Baca juga: Kesaksian Tiga Eks Tapol 1965

TAG

seni rupa semsar siahaan sejarah seni jakarta biennale tragedi-1965 taman ismail marzuki karya seni seniman

ARTIKEL TERKAIT

Goresan Tinta Seniman Australia Merekam Revolusi Kemerdekaan Chairi Anwar Bikin Affandi Ribut dengan Istri Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Brigjen M. Noor Nasution di Panggung Seni Hiburan Sudjojono Dipecat PKI Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Perjalanan ke Barat Mencari Suaka Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Ibukota Nahum Situmorang, Raja Senandung Orang Batak Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak”