SETELAH berjibaku dengan melanoma yang memicu metastasis pada otak dan livernya hampir dua tahun belakangan ini, Jimmy Carter menghembuskan nafas terakhir di usia 100 tahun. Presiden Amerika Serikat ke-39 itu wafat di kediamannya di Plains, Georgia pada Minggu (29/12/2024) petang meski baru akan resmi dimakamkan dengan upacara kenegaraan pada Kamis (9/1/2025).
Sebelum maju jadi presiden Amerika periode 1977-1981 dengan kendaraan politik Partai Demokrat, sosok bernama lengkap James Earl Carter Jr. itu pernah jadi pelaut. Selagi muda, Carter yang kelahiran Plains, Georgia pada 1 Oktober 1924 itu menyelingi kuliahnya di jurusan teknik mesin Georgia Institute of Technology dengan ambil bagian dalam pelatihan Korps Perwira Cadangan (ROTC) pada 1942. Setahun berselang ia melanjutkan ke US Naval Academy untuk mengikuti jejak ayahnya yang veteran Perang Dunia I (1914-1918), Letda (Purn) James Earl Carter Sr.
Tetapi Carter muda tak sempat bertugas di Perang Dunia II (1939-1945) karena baru lulus dari akademi pada 1946, tahun di mana dia juga lulus sebagai “tukang insinyur”. Kapasitas itu juga yang membuatnya ditugaskan sebagai perwira dalam program kapal selam (kasel) nuklir di Laboratorium Chalk River. Carter turut terlibat dalam perbaikan darurat kebocoran cairan radioaktif Reaktor NRX pada 12 Desember 1952.
“Oleh karenanya selama dan setelah masa kepresidenannya, Carter mengakui bahwa pengalamannya di (lab) Chalk River membentuk pandangannya terhadap energi atom dan mengantarkannya menghentikan pengembangan bom neutron,” tulis Arthur Milnes di kolom editorial suratkabar Ottawa Citizen, 28 Januari 2009, “When Jimmy Carter faced radioactivity head-on”.
Baca juga: Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden
Tetapi wafatnya sang ayah pada Juli 1953 membuat Carter melepaskan karier aktifnya sebagai perwira teknik kasel nuklir. Setelah tujuh tahun bertahan sebagai perwira cadangan, Carter pensiun dini dengan pangkat kapten laut pada 1961. Ia kemudian melanjutkan bisnis perkebunan yang diwariskan mendiang ayahnya.
Begitu sukses dalam bisnis, Carter melebarkan sayapnya ke dunia politik hanya karena ingin mendukung kampanye Presiden John F. Kennedy untuk melenyapkan sistem segregasi rasial. Maka setahun pascapensiun dari AL, Carter bergabung ke Partai Demokrat dan terjun ke Pemilihan Senator Negara Bagian Georgia walaupun masih gagal. Titik baliknya dalam karier politik baru terjadi saat ia mengalahkan Hal Suit dari Partai Republik dalam pemilihan gubernur Negara Bagian Georgia tahun 1970.
“Saya akan mengatakannya dengan jujur, bahwa kini saatnya diskriminasi (rasial) berakhir. Tidak boleh ada orang miskin, orang desa, atau orang kulit hitam yang terbebani dengan halangan apapun untuk mendapatkan kesempatan dalam pendidikan, pekerjaan, atau keadilan yang begitu sederhana,” seru Carter dalam pembukaan pidato pelantikannya sebagai gubernur Georgia, dikutip majalah Life edisi 29 Januari 1971.
Posisi gubernur belum membuatnya berhenti menguber jabatan. Kursi kepresidenan pun jadi incarannya. Bertandem dengan Senator Minnesota Walter Mondale, Carter menyisihkan sejumlah kandidat dari Partai Demokrat untuk bisa mencalonkan diri di Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika 1976. Diuntungkan dengan Skandal Watergate yang direkayasa Presiden Richard Nixon dan berujung pada mundurnya presiden dari Partai Republik itu pada 1974, Carter-Mondale berhasil memenangi Pilpres dari sisi electoral college (297 suara) maupun popular vote (40.831.881 suara) atas petahana asal Partai Republik, Gerald Ford-Bob Dole.
Baca juga: Skandal Watergate, Presiden Amerika Mengintip Jeroan Lawan Politik
Terusan Panama dan Apartheid di Palestina
Presiden Carter di awal masa jabatannya langsung memenuhi salah satu janji yang diumbar ketika berkampanye, yakni memaafkan siapa saja yang mangkir dari pemanggilan wajib militer untuk ikut Perang Vietnam (1955-1975). Ia mengeluarkan Presidential Proclamation of Pardon of January 21, 1977 atau kondang dengan sebutan Proklamasi 4483. Sebelumnya ada ratusan ribu orang yang mangkir hingga harus kabur ke Kanada untuk menghindari hukuman penjara dan baru mendapat amnesti lewat proklamasi Carter.
Meski begitu, rezim kepresidenan Carter bukan tanpa masalah. Selain Amerika masih bergulat dengan Krisis Energi 1979 seiring Revolusi Iran yang mengganggu suplai minyak global, perekonomian Amerika masih dijangkiti kenaikan inflasi dan resesi sampai pemerintahannya untuk pertamakali menetapkan shutdown selama sehari pada 1 Mei 1980. setelah Kongres Amerika membatasi kewenangan dan pendanaan parsial Komisi Perdagangan Federal, FTC, yang berujung pada 1.600 pekerja dirumahkan dan merugikan keuangan mencapai 700 ribu dolar (2,2 juta dolar kurs 2023).
Tetapi di sisi lain, pemerintahan Carter dianggap cukup berhasil meredam beberapa dampak Perang Dingin dalam konflik internasional. Pada 7 September 1977, Amerika sukses memperbaiki relasinya dengan Panama dengan mengembalikan Terusan Panama lewat Tratado Concerniente a la Neutralidad Permanente y Funcionamiento de Canal de Panamá alias Traktat Torrijos-Carter.
Baca juga: Empat Pilpres Kontroversial Amerika
Terusan Panama yang dibangun pada 1904 dan rampung pada 1914 itu dibuat oleh tiga negara: Amerika-Kolombia-Prancis. Tetapi sejak beroperasi pada 1914, wilayah Panama Canal Zone selalu dikuasai militer Amerika. Isu nasionalisasi kian memanas sejak 1964. Carter dan Panglima Garda Nasional Panama Jenderal Omar Torrijos kemudian sepakat menyelesaikannya dan menghasilkan Traktat Torrijos-Carter. Traktat tersebut menjamin bahwa militer Amerika akan mulai menyingkir dan kendali penuh terusan akan diserahkan kepada pemerintah Panama usai tahun 1999 berakhir.
“Traktat tersebut memperkuat rasa saling percaya antara Amerika dan Panama, di mana pada Traktat Torrijos-Carter itu, Panama akan mengambilalihnya pada tahun 2000. Walaupun kemudian muncul traktat kedua, The Panama Canal Treaty yang intinya memberikan hak pada Panama dan Amerika mempertahankan terusan itu sebagai area netral,” tulis James Ciment dalam Postwar America: An Encyclopedia of Social, Political, and Economic History.
Belakangan, isu tersebut diungkit presiden terpilih dalam Pilpres Amerika 2024, Donald Trump. Melalui akun media sosialnya di Truth Social menjelang Hari Natal, Trump menuntut pengurangan ongkos jalur perkapalannya.
“Jika tidak, kita akan menuntut Terusan Panama dikembalikan lagi pada kita secara utuh dan secepatnya tanpa keraguan lagi,” ungkap Trump dengan nada mengancam, dikutip NPR, Sabtu (28/12/2024).
Bersama Carter Amerika juga sukses mengajak Uni Soviet duduk bersama meredakan ketegangan Perang Dingin. Hasilnya, Traktat Strategic Arms Limitation Talks (SALT) ke-2 ditandatangani Presiden Carter dan pemimpin Soviet Leonid Brezhnev pada 18 Juni 1979.
Baca juga: Mempertanyakan Solusi Dua Negara Israel-Palestina
Lalu, dalam krisis di Timur Tengah, utamanya konflik Arab-Israel dan isu Palestina, Presiden Carter turut mengadvokasi Camp David Accords. Dalam perundingan antara Presiden Mesir Anwar Sadat dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin selama 13 hari di sebuah retret rahasia di Camp David, Washington DC itu dihasilkan kesepakatan bilateral yang ditandatangani pada 17 September 1978.
“Walaupun kesepakatan Camp David hanya menghilangkan tindakan permusuhan Arab yang dianggap menjadi ancaman militer laten untuk masa depan Israel. Oleh karenanya visi perdamaian antara Israel dan Palestina tak pernah sepenuhnya terimplementasi karena kekacauan di tanah Palestina terus-menerus terjadi,” tulis Lawrence Wright dalam Thirteen Days in September: The Dramatic Story of the Struggle for Peace.
Kendati Carter kalah dari Ronald Reagan asal Partai Republik dalam Pilpres Amerika 1980, ia tak pernah berhenti menyampaikan kritik-kritiknya terhadap pemerintah Amerika. Salah satunya terkait isu Palestina yang ia anggap tak pernah mau secara total mengadvokasi perdamaian Israel-Palestina. Satu dari sekian kritiknya ia bukukan dalam Palestine: Peace Not Apartheid (2006). Tidak hanya mengenang bagaimana perjuangannya memediasi Camp David Accords, isinya juga memberi kritik tajam terhadap sistem apartheid Israel yang diterapkan di Palestina, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat.
“Di wilayah-wilayah pendudukan (oleh Israel), terdapat bukti yang sangat mengusik tentang apartheid apartheid dalam bentuk terburuknya. Saya katakan yang dialami orang-orang Palestina di bawah dominasi Israel bahkan lebih buruk dari apa yang dialami orang-orang kulit hitam di Afrika Selatan,” kata Carter mengenai bukunya saat diwawancara Charlie Rose dari PBS, 30 November 2006.
Carter tak peduli meskipun ia dituduh antisemit ketika mengeluarkan lema “apartheid”. Ia bahkan mengekspresikan lagi lebih detail kritiknya lewat buku lainnya, We Can Have Peace in the Holy Land: A Plan That Will Work (2010). Buku ini juga menawarkan solusi kepada pemerintahan Presiden Barack Obama lantaran Israel tak pernah mau menarik militernya demi memperluas permukiman Yahudi meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa mengecamnya sebagai permukiman ilegal.
“Presiden Amerika yang baru (Barack Obama) punya kesempatan dan tanggung jawab besar untuk memimpin penghentian konflik antara Israel dan tetangga-tetangganya. Sekarang adalah waktunya. Perdamaian sangatlah mungkin. Walaupun itu takkan mudah. Setiap pihak yang terlibat mungkin akan melakukan kesalahan yang menimbulkan frustrasi. Tetapi setiap pihak memang harus mengatasi kebencian, fanatisme, dan tragedi-tragedi pahit. Setiap pihak harus bisa menghadapi pilihan-pilihan yang menyakitkan dalam tiap negosiasi,” tandas Carter dalam pendahuluan buku keduanya itu.
Baca juga: Obituari George Bush Sr.: Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya