Libero Handal Itu Bernama Bejo Sugiantoro

Walau kiprahnya di tepi lapangan tak se-“bejo” saat masih jadi pemain, nama “Bejo” Sugiantoro selalu harum dalam kenangan di persepakolaan Indonesia. 

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Feb 2025
Libero Handal Itu Bernama Bejo Sugiantoro
Bejo Sugiantoro yang pernah berjaya bersama Persebaya Surabaya di akhir 1990-an (ligaindonesiabaru.com)

LANGIT kelabu menggelayuti persepakbolaan Indonesia seiring kabar wafatnya salah satu maestro si kulit bundar “Bejo” Sugiantoro. Palang pintu legendaris Persebaya Surabaya dan timnas Indonesia era 1990-an itu menghembuskan nafas terakhir pada Selasa (25/2/2025) di usia 47 tahun. 

Kematian Bejo Sugiantoro menambah daftar pesepakbola aktif maupun yang sudah pensiun yang tutup usia di lapangan dengan aneka penyebab. Sebelumnya ada beberapa nama lain, seperti kiper Persela Lamongan Choirul Huda pada 2017 dan mantan rekan Bejo sendiri, Eri Irianto, pada tahun 2000. Dari berbagai sumber yang dihimpun, Bejo tiba-tiba tumbang akibat serangan jantung saat bermain “fun football” di Lapangan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) pada Selasa (25/2/2025) sore. 

“(Bejo) orangnya memang pendiam dan kalem. Di luar lapangan humble, santai, akrab dengan orang-orang banyak. Mudah bergaul, makanya sampai tua sering ikut fun football di mana-mana,” ujar Rojil Nughoro Bayu Aji, Bonek (pendukung Persebaya) yang juga penggiat sejarah sepakbola, kala dihubungi Historia.ID. 

Advertising
Advertising

Ratusan Bonek turut mengantar Bejo ke peristirahatan terakhirnya. Mendiang lebih dulu dishalatkan di Masjid Perumahan Taman Pondok Jati, Kecamatan Taman, sebelum dikuburkan di TPU Desa Geluran, Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur, pada Rabu (26/2/2025). 

Baca juga: Denis Law dan Memorinya di Lapangan Hijau

Sepanjang hidupnya, Bejo tercatat berkarier di enam klub profesional kurun 1994-2014: Persebaya, PSPS Pekanbaru, Mitra Kukar, Persidafon Dafonsoro, Deltras Sidoardjo, dan Perseba Bangkalan. Ia juga ikut membela timnas Indonesia selama 1997-2004. 

Pascapensiun, Bejo tak bisa jauh dari sepakbola. Dia beralih jadi pelatih di empat klub, terakhir bersama Deltras Sidoarjo, kota kelahirannya.

Meski belum punya rekor manis selama berada di tepi lapangan, publik sepakbola tanah air tetap mengenangnya sebagai bek tangguh. Ia ikut meraih gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia musim 1996/1997 dan musim 2004 bersama Persebaya, sekaligus pernah ikut menggondol medali perak SEA Games 1997 dan medali perunggu SEA Games 1999 bersama “Tim Garuda”. 

“Bejo Sugiantoro akan selalu melekat dengan Persebaya. Dia menginspirasi banyak anak-anak di Surabaya untuk menjadi pemain Persebaya. Di lingkup nasional sebagai (legenda) bek handal timnas Indonesia, dia juga menginspirasi anak-anak di seluruh negeri bercita-cita jadi pesepakbola,” tambah Rojil yang juga dosen sejarah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut. 

Baca juga: Naga Wuhan di Bawah Mistar Persebaya

Libero Handal dan Lugas 

Bejo Sugiantoro akan selalu jadi sosok yang dikenang, utamanya bagi para Bonek. Ia meninggalkan seorang istri dan ketiga anaknya, di mana salah satunya jadi penerus Bejo tidak hanya di kompetisi domestik – bersama Persebaya dan kini Persib Bandung – tapi juga di timnas Indonesia, yakni Rachmat Irianto. 

“Salah satu anaknya, Rachmat Irianto, namanya diambil dari sahabatnya semasa di Persebaya, Eri Irianto. Itu gelandang Persebaya dan timnas yang terkenal punya tendangan gledek. Mereka bersahabat baik dan ketika Rian lahir (3 September 1999), namanya diambil dari ‘Eri Irianto’. Mungkin ada harapan anaknya jadi pemain sepakbola juga,” tambah penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola (2010) tersebut. 

Kebetulan tiga tahun lampau Rojil berkesempatan bersua langsung di Unesa dan berbincang santai dengan Bejo. Tepatnya ketika Bejo sedang menunggui Rian ujian tugas akhir artikel ilmiah sebagai pengganti skripsi. 

“Kalau melihat dan ketemu itu sering ketika (Bejo) latihan. Tapi ngobrol secara dekat ya waktu Rian ujian itu, kira-kira 2022 waktu Rian mau pindah ke Persib. Ya ngobrol, tanya-tanya kabar, mengenang masa lalu tentang (masa) kejayaan Persebaya. Seingat saya dia cuman bilang, (kejayaan) itu semua karena kerja tim karena sepakbola kan enggak dimainkan sendiri, ya dibentuk oleh tim yang solid,” imbuh Rojil yang juga anggota Bonek Writers Forum tersebut.

Baca juga: Persebaya dalam Pusaran Masa 

Rian juga meniti karier dari akar rumput bersama sekolah sepakbola Indonesia Muda (SSB IM), sebagaimana Bejo dahulu kala. Lahir di Sidoarjo pada 2 April 1977 dengan nama asli Sugiantoro, ia dibawa ke Surabaya bersama orangtuanya yang mengadu nasib ke Surabaya yang berdagang di Taman Hiburan Rakyat (THR) dan mendapat nama tambahan “Bejo” untuk keberuntungan. 

“Sejak bayi saya sering sakit-sakitan, jadi keluarga saya terus menggantinya dengan ‘Bejo’,” katanya dikutip mingguan Panji Masyarakat edisi September 1997. 

Penampilan Bejo yang apik bersama IM di kompetisi internal Persebaya turut memikat Persebaya hingga ia tampil di Piala Haornas 1994 bersama tim yunior Persebaya dan bahkan dilirik untuk masuk skuad PSSI Primavera yang akan diberangkatkan ke Italia pada 1994. Menurut biografi eks-Ketum PSSI Azwar Anas, Teladan dari Ranah Minang karya Abrar Yusra, PSSI pada masa itu merancang proyek jangka pendek ke Italia dengan mengirim dua tim: PSSI Primavera (usia 19-21 tahun) dan PSSI Baretti (15-17) tahun, hasil salah satu poin rekomendasi legenda Jerman, Franz Beckenbauer, demi meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia. 

“(Rekomendasi) Pertama, PSSI mendatangkan instruktur-instruktur dari Eropa untuk memberi pelatihan para pelatih Indonesia. Kedua, PSSI menyelenggarakan pelatihan wasit-wasit. Ketiga, mendidik calon pelatih di Eropa. Keempat, membentuk kesebelasan Primavera dan Baretti untuk mempercepat proses penyiapan pemain yang dilatih di klub Sampdoria, Italia,” tulis Abrar. 

Baca juga: Tembok Tebal Bernama Sudarno

Namun mengingat usianya yang masih belia, ketika di Italia Bejo justru sempat dialihkan dari tim PSSI Primavera ke tim PSSI Baretti. Ia pun menolak dan malah minta langsung dipulangkan ke tanah air. Sepulangnya Bejo langsung direkrut tim “Bajul Ijo”. Meski posturnya kecil (176 cm), ia palang pintu nan tangguh dan libero yang handal meski gelar juara Liga Indonesia baru diraih brersama Persebaya pada musim 1996/1997. 

“Bejo jadi tumpuan Persebaya saat (mengandalkan) formasi 3-5-2 dan dia jadi libero tangguh di belakang dua bek sentral. Banyak yang mengakui reading the game-nya Bejo itu bagus dan dia juga dikaruniai kemampuan tekel yang bagus. Jadi itu keunggulannya ketika dia pintar membaca permainan untuk memotong umpan, menyapu bola, dan meng-intercept serangan lawan,” sambung Rojil. 

Sayangnya ketika Persebaya harus terdegradasi dari Divisi Utama Liga Indonesia musim 2002, Bejo ikut rombongan beberapa pemain Persebaya yang pindah ke PSPS Pekanbaru, di antaranya Uston Nawawi dan Hendro Kartiko. Jelas Bonek dan publik sepakbola Surabaya kecewa meski kemudian pada musim 2004 comeback lagi ke Persebaya yang bahkan pada musim itu Persebaya kembali meraih gelar juara divisi utama. Ia juga jadi pilar di timnas Indonesia hingga 2004, ketika di tahun itu juga ia memutuskan pensiun dari timnas sebagai bentuk protes atas skorsing larangan bermain selama setahun gegara insiden pemukulan wasit. 

Baca juga: Gol Terakhir Ricky Yacobi

Bejo baru keluar lagi dari Persebaya pada 2008 dan melanglangbuana bersama Persidafon, Deltras, hingga terakhir di Perseba. Lantas Bejo beralih ke tepi lapangan. Sempat jadi pelatih Persik Kediri pada 2017, jadi asisten pelatih di Persebaya kurun 2018-2023 hingga jadi caretaker pada 2019, sampai menjajal peruntungan bersama Serpong City (2023) dan terakhir menukangi Deltras (2024-2025). Sayangnya Bejo di tepi lapangan tak “se-bejo” ketika ia masih merumput sebagai pemain dan kariernya tak semecerlang para legenda seangkatannya macam Uston Nawawi, Widodo C. Putro, atau Aji Santoso. 

“Pas jadi asisten pelatih di Persebaya yang bertugas menguatkan pertahanan juga banyak mendapat kritikan. Pertahanan Persebaya tak setangguh waktu dia jadi bek (pemain, red). Artinya (saat) menjadi pemain dan pelatih tidak linier seperti deret angka. Jadi Bejo tidak terlalu moncer saat jadi pelatih walaupun cukup lama di (jabatan) asisten pelatih itu,” lanjut Rojil. 

Namun, kecewa bukan berarti benci. Sekalipun Bejo pernah meninggalkan Persebaya ketika degradasi dan tak memberi catatan positif saat beralih jadi pelatih, namanya tetap harum dan akan selalu dikenang oleh Bonek dan segenap pecinta sepakbola di tanah air. 

“Kita Semua tahu, Coach Bejo adalah sosok bertabur prestasi. Almarhum juga legenda timnas Indonesia. Tak ada kata yang bisa mewakili rasa terima kasih Persebaya untuk jasa-kasa Coach Bejo. Namamu akan abadi dalam setiap perjalanan Persebaya,” tulis pernyataan klub Persebaya via utas di akun X-nya, @persebayaupdate, Selasa (25/2/2025).

Selamat Jalan, Cak “Bejo” Sugiantoro! 

Baca juga: Maradona-nya Indonesia Telah Tiada

TAG

persebaya sejarah-persebaya obituari legenda timnas indonesia timnas-indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Jordi Cruyff di Bawah Bayang-Bayang Sang Ayah Mengenang Pak Tuba Denis Law dan Memorinya di Lapangan Hijau Kakek Buyut Ole Romeny Korban Perang Pasifik Emilia Contessa Tinggalkan Panggung Selamanya Ayah Patrick Kluivert Legenda Sepakbola Suriname Mengenal Lebih Dekat Patrick Kluivert Lima Pawang Tim Garuda dari Belanda Penyanyi Batak Jack Marpaung, dari Penjara Menjadi Pendeta Presiden Jimmy Carter dalam Memori