DARI lapangan ke lapangan. Itulah yang dilakukan Ricky Yacobi nyaris sepanjang hayatnya hingga namanya harum sebagai sebagai bintang lapangan hijau. Di lapangan pula dia tumbang dan tutup usia pada Sabtu, 21 November 2020 di usia 57 tahun.
Ricky tumbang kala tengah bermain bersama tim Medan Selection di Lapangan A, Komplek Gelora Bung Karno, Jakarta dalam turnamen Trofeo Medan Selection. Menurut rekannya, Lody Hutabarat, sebagaimana dikutip dari Kumparan, Sabtu, 21 November 2020, Ricky mencetak gol dari luar kotak penalti kemudian belari ke arah rekan-rekannya guna selebrasi skor 1-1.
Namun sebelum mencapai rekan-rekan setimnya, ia ambruk tak sadarkan diri karena serangan jantung. Walau segera dilarikan ke RSAL Dr. Mintohardjo, nyawa Ricky tak terselamatkan. Mantan kapten Arseto Solo itu dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Dunia sepakbola Indonesia pun berduka. Selain banjir ucapan belasungkawa dari berbagai insan sepakbola, Kemenpora sempat menggagas agar mengabadikan nama Ricky untuk menggantikan nama Lapangan ABC, Komplek Gelora Bung Karno.
Baca juga: Maradona-nya Indonesia Telah Tiada
Anak Medan yang Merumput di Jepang
Ricky Yacobi diidolakan banyak pesepakbola tanah air lantaran sebagai salah satu pionir orang Indonesia yang bermain di kompetisi asing. Salah satunya, Timo Scheunemann, eks-pemain dan pelatih Persiba Balikpapan dan Persema Malang.
“Saya fans sejak saya masih SMA. Sebagai pemain Indonesia yang pertamakali bermain di Jepang, apalagi beliau striker seperti saya,” ujar pria berdarah Jerman itu kepada Historia.
Ricky lahir di Medan, 12 Maret 1963. Kariernya dimulai dari level junior. Sepakbola jadi pilihan Ricky sejak dini, mengikuti jejak ayahnya, Yacob, yang pemain amatir di kompetisi lokal. Sejak akhir 1970-an Ricky mengasah skill-nya di berbagai klub amatir, mulai dari Putra Abadi, Srinaga, PS Teras, hingga Perisai.
Baca juga: Perkesa 78, Kisah Klub Sepakbola Orang Papua
Dari Perisai yang dinaungi Direktorat Jenderal Pajak, Ricky kemudian ditarik ke PSMS Junior jelang Piala Suratin 1980. Dia tampil gemilang hingga membuahkan trofi. Ricky pun dipromosikan ke tim senior PSMS pada kompetisi Perserikatan 1980.
Malang-melintang bersama tim “Ayam Kinantan” (julukan PSMS) dari 1980-1985, Ricky membawa PSMS dua kali juara Perserikatan (1983 dan 1985). Prestasi itu membuatnya digaet klub Galatama, Arseto Solo. Dari situ, Ricky mulai sering dipanggil ke timnas. Dia bahkan menjadi kapten timnas saat Indonesia saat merebut medali emas sepakbola SEA Games pada 1987.
Setahun sebelumnya, Ricky ikut mengantarkan timnas Indonesia hingga babak semifinal Asian Games 1986 namun dikalahkan Korea Selatan 4-0. Meski hanya mencapai empat besar, itu jadi prestasi yang belum pernah terulang lagi. Nama Ricky kian berkibar karena gol spektakulernya kala Indonesia meladeni Uni Emirat Arab di perempatfinal. Konon, sejak saat itulah julukan Paul Breitner-nya Indonesia melekat padanya.
“Ricky Yacobi pernah mencetak gol (lewat tendangan) voli lawan Uni Emirat Arab di Asian Games. Gol dari jarak jauh. Breitner juga punya spesialisasi ini. Sepertinya itu salah satu yang bisa mendekati mengapa Ricky Yacobi dijuluki Breitner dari Indonesia,” kata Irfan Sudrajat, pemerhati sepakbola dari harian TopSkor, kepada Historia melalui pesan singkat.
Baca juga: Kisah Timnas Indonesia di Asian Games
Kiprah Ricky di klub senantiasa moncer bersama Arseto. Dituliskan Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi mantan manajer timnas IGK Manila, Panglima Gajah, Manajer Juara, puncak karier Ricky dijalani di musim 1991 di mana dia membawa Arseto Solo juara Galatama. Ricky dua kali menjadi topskorer, pada 1987 dan 1991.
Ciamiknya penampilan Ricky membuatnya ditaksir klub Liga Jepang, Matsushita Electric (kini Gamba Osaka). Dia kemudian dikontrak selama setahun.
“Saat saya main di Matsushita tahun 1989, Matsushita juga semiprofesional, karena banyak pemainnya adalah karyawan perusahaan. Beda dengan pemain Galatama, kerjaannya cuma main bola,” kata Ricky kepada Historia delapan tahun silam.
Namun, justru di Negeri Sakura itulah karier Ricky mengalami antiklimaks. Cuaca dingin membuatnya tak betah. Dia juga beberapakali dibekap cedera.
“Pernah saya waktu bertanding kaki saya dicocor sampai tidak bisa bangun,” ujarnya sambil menunjukkan bagian kakinya yang cedera itu. “Akhirnya saya absen cukup lama.”
Baca juga: Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang
Seringnya cedera membuat Ricky hanya punya catatan enam kali tampil selama di Jepang. Torehan golnya pun hanya sebutir. Alhasil, dia balik ke tanah air untuk memperkuat Arseto Solo lagi pada 1990.
Anehnya, sejak itu beberapa perilakunya berubah drastis. Akibatnya, namanya dicoret dari daftar skuad timnas untuk SEA Games 1991 di Manila, Filipina.
“Ricky adalah kapten yang memberi andil besar mengantarkan Indonesia meraih emas SEA Games 1987, emas pertama dalam cabang sepakbola. Setahun sebelumnya gol tendangan voli di Asian Games dari jarak 30 meter untuk sekian tahun berikutnya dijadikan bagian dalam bumper pembuka tayangan program olahraga TVRI. Usianya 28 tahun dan dia top skor Galatama dan pemain yang kharismatik yang tak ada di timnas SEA Games 1991,” tulis Hardy dan Edy.
Keputusan mencoret Ricky berasal dari manajer tim, IGK Manila, setelah menganalisis yang terjadi pada Ricky dalam beberapa laga uji coba. Kala timnas menghadapi Malta di President’s Cup di Korea Selatan, 7 Juni 1991, Ricky punya peluang 100 persen menjebol gawang Malta namun justru tak mengkonversinya jadi gol. Manila pun menegur Ricky dan mendapat jawaban bahwa di hari itu ia tak boleh menyakiti hati orang lain.
Kejadian itu memantapkan hati Manila untuk menyisihkan nama Ricky dari skuad. Keputusan berani Manila itu membuatnya diprotes keras Ketum PSSI Kardono. Namun Manila bersikukuh dan bahkan mengancam mengundurkan diri kalau Kardono memaksanya memasukkan lagi nama Ricky ke skuad.
“Ricky sedang galau. Ia mengalami pergulatan spiritual. Lantas ia bertemu seorang guru agama. Kalau tak salah, gurunya itu bermukim di kawasan Tanah Abang,” kata Manila dikutip Hardy dan Edy.
Baca juga: Ada Apa dengan Ricky Yacobi
Penilaian Manila dibenarkan Ricky saat dihubungi Historia pada akhir Juli 2017. “Iya, saat itu saya memang lagi mencari sesuatu buat diri saya,” kata Ricky tanpa mau membeberkan ada apa dengan dirinya.
Setelah itu, Ricky tak pernah lagi mengenakan seragam timnas. Dia gantung sepatu setelah membela PSIS Semarang pada 1995. Namun, perhatiannya tetap dicurahkan pada sepakbola usai pensiun. Dengan sponsor dari sebuah perusahaan, dia mendirikan SSB Ricky Yacobi pada 1996. Demi keberlanjutan sepakbola tanah air, Ricky tak memungut rupiah pada para anak usia 7-12 tahun yang ingin mengasah kemampuan di SSB-nya.
“Yang di bawah ini mesti dibenahi dulu, disediakan wadah kompetisi. (Kompetisi, red.) ini, daerah-daerah ini, mesti dihidupkan kembali. Di situ kita bisa lihat mana anak yang bener-bener bagus,” kata Ricky yang pada 2018 diangkat menjadi direktur Pembinaan Usia Muda PSSI.
Baca juga: Sebelas Pesepakbola yang Meninggal di Lapangan