Masuk Daftar
My Getplus

Penyanyi Batak Jack Marpaung, dari Penjara Menjadi Pendeta

Jack Marpaung pernah merasakan pahitnya hidup di jeruji besi penjara. Pengalaman itu dituangkannya ke dalam lagu berjudul Kamar 13 yang sangat terkenal di kalangan orang Batak.

Oleh: Martin Sitompul | 06 Jan 2025
Penyanyi Batak Jack Marpaung (1948--2025). Sumber: Ensiklopedia Tokoh Batak.

DUNIA musik Batak kehilangan salah satu musisi legendarisnya, Jack Marpaung. Kemarin petang (5/1), Jack Marpaung menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat dalam usia 77 tahun. Kondisi Jack memang sudah melemah akibat penyakit stroke yang dideritanya sejak dua tahun terakhir. Setelah meninggalkan panggung hiburan pada dekade 2000-an, Jack mendalami imannya dan lebih dikenal sebagai pendeta Gereja Betel Indonesia (GBI). Dia menjadi gembala di GBI Fellowship Centre Medan.

“Sekarang saya sudah meninggalkan hidup yang fana. Sekarang hidup ini saya syukuri. Saya menikmatinya. Damai sejahtera, sukacita yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, saya rasakan sekarang. Berjalan bersama Yesus benar-benar mengubah jalan hidup saya,” demikian kesaksian Jack Marpaung dalam Tabloid Reformata, Edisi 157, Tahun X, November 2012.

Jack Marpaung aslinya bernama Ojak Marpaung. Dalam bahasa Batak, Ojak berarti berdiri. Dia lahir di Porsea, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, pada 14 April 1948. Ayahnya seorang anggota TNI, sehingga Jack kerap berpindah tempat tinggal mengikuti dinas sang ayah. Namun, Jack lama menghabiskan masa remajanya di Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun. Sebagai anak tentara, Jack dididik dengan sangat keras. Pola asuh demikian begitu membekas baginya. Pemuda Ojak pun tumbuh menjadi anak muda yang berontak dan mencari jati dirinya di luar lingkungan keluarga.

Advertising
Advertising

“Sejak kecil hingga remaja, saya tidak betah tinggal di rumah. Saya memilih hidup di jalanan bersama teman-teman. Ganja menjadi pelarian hidup saya Ketika itu. Perkelahian adalah pelampiasan emosi. Hal itu terus berlanjut hingga dewasa. Saya kemudian memilih meninggalkan rumah, dan hidup di terminal. Bergaul dengan preman-preman membuat saya semakin keras. Bahkan pada aparat pun tidak takut,” tutur Jack dalam Reformata.

Baca juga: Duel Preman Medan Zaman Perang Kemerdekaan

Karena bengal dan salah pergaulan, Jack sempat berurusan dengan hukum. Dia pernah mencoba membacok polisi dengan golok lantaran tak terima kawannya ditangkap dan dipukuli. Alih-alih melukai polisi, Jack rebah setelah perutnya diterjang timah panas. Dia ditembak polisi lalu dijebloskan ke penjara. Bebas dari bui membuat Jack kemudian mengubah jalan hidupnya.

Sebagaimana kebanyakan orang Batak, apalagi yang berasal dari Tapanuli, biasanya punya suara merdu. Begitu pula Jack. Dia ingin menjadi seorang penyanyi. Bakat menyanyi disadap Jack dari ibunya yang merupakan seorang penyanyi opera di zaman kolonial Belanda.

Pada 1965, Jack sudah terjun ke dunia tarik suara. Tiga tahun berselang, Jack menjuarai kontes “Pop Singers” di Kota Medan. Namanya yang semula Ojak kemudian lebih dikenal sebagai Jack Marpaung. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) bahkan kepincut mendapuknya sebagai anggota kelompok penyanyi AURI.

“Di situ pula Jack yang Marpaung tersebut resmi menjadi anggota AURI dengan pangkat sersan mayor,” sebut Harian Analisa, 6 Juli 1986.

Baca juga: Dolly Salim, Penyanyi Indonesia Raya Pertama di Kongres Pemuda

Serasa menemukan pilihan hidup yang tepat sebagai penyanyi, Jack kemudian coba mengadu nasib ke Jakarta. Tapi, sukses tak segera direngkuhnya. Di ibukota, Jack sempat luntang-lantung. Dua tahun lamanya Jack menjalani hidup bak gelandangan di Terminal Grogol. Sempat dia tergoda untuk menjadi pencopet di bus. Modus operasinya menyikat uang di saku penumpang yang sedang lengah. Namun, niat jahat itu diurungkan Jack. Dia mengingat janjinya kepada orangtuanya untuk tidak melakukan perbuatan kriminal lagi.

Pada 1970-an, Jack Marpaung tergabung ke dalam kelompok Trio Lasidos yang digawangi bersama Hilman Padang dan Bunthora Situmorang. Menurut Roy Josep Hutagalung, pengampu studi Pendidikan Musik Gereja di Institut Agama Kristen Negeri Tarutung (IAKN), popularitas Trio Lasidos dikenal dengan aliran lagu ratapan (andung). Trio Lasidos sendiri didirikan pada Juni 1977. Album perdananya berjudul Lupahon ma (Lupakanlah) rilis tahun 1978 dengan label PT Murni Record.

“Nama Trio Lasidos jadi trend di tanah air sebab mereka tidak hanya merilis album Batak Toba tetapi juga lagu Indonesia yang sudah melanglang buana ke berbagai negara,” catat Roy Hutagalung dalam makalahnya “Fenomena Keberadaan Trio di Musik Populer Batak Toba”.

Baca juga: Senandung Andung, Mengenang yang Berpulang

Nama Jack Marpaung mulai dikenal publik secara luas pada paruh kedua 1980. Trio Lasidos tempatnya bernaung menjadi kelompok penyanyi lagu-lagu Batak paling popular di kalangan masyarakat Batak pada dekade 1980—1990-an. Mereka kerap manggung dari hotel ke hotel menyanyikan lagu-lagu pop Batak. Begitupun dengan rekaman lagu yang diproduksi ke beberapa album.

Dalam Trio Lasidos, Bunthora menjadi otak penting dengan lagu-lagu ciptaannya. Hilman Padang ahli pada nada-nada rendah juga mengaransemen musik. Sementara itu, Jack memukau dengan ciri khas suaranya yang tinggi melengking. Jack juga sempat mengisi album bergenre rock berjudul Tiada Lagi Kidungmu bersama musisi Arie Wibowo dan Nyong Anggoman di bawah label RCA Label pada 1986.

“Jack punya talenta bernyanyi. Suaranya yang melengking, karangannya berjubel. Jack, cukup dikagumi di musik Batak, maka tak heran bila dia punya banyak penggemar,” catat penulis cerita perjalanan Noventy Butarbutar dalam The Journeys and Beyond: Jalan-Jalan Berdua, Selalu ada Cerita.

Baca juga: Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang

Daya jangkau vokal Jack Marpaung disebut-sebut paling tinggi untuk ukuran penyanyi Batak. Seperti Judika Sihotang bila disandingkan pada penyanyi Batak masa kini. Ciri tambahan lainnya ada pada warna suaranya yang serak-serak basah sehingga cocok untuk lagu-lagu pop-rock. Setelah keluar dari Trio Lasidos, Jack Marpaung beralih menjadi penyanyi solo. Masih dengan mengusung lagu-lagu Pop Batak, dia pun mulai menciptakan lagu-lagu karyaya sendiri. Beberapa di antara yang cukup populer seperti, “Lupa do Ho” (Lupakah Kau), “Surat Narara” (Surat yang Merah), “Serly”, “Unang Tingalhon Au” (Jangan Tinggalkan Aku), “Boasa” (Mengapa), dan “Tapanuli Peta Kemiskinan”.

Dari sekian lagu ciptaannya, “Kamar 13” diakui sebagai karya paling terkenal dari Jack Marpaung. Lagu ini merupakan curahan pengalamannya saat ditangkap polisi karena kasus penyalagunaan narkotika. Di penjara, Jack Marpaung menghuni kamar sel nomor 13. Di sana hidupnya merana, merasakan dinginnya jeruji besi dan lantai penjara, berkawankan nyamuk di malam hari, serta jauh dari keluarga. Apalagi nasibnya sempat digantung tiga bulan karena tak kunjung mendapat panggilan persidangan. Berikut penggalan liriknya.

Di kamar sampulu tolu on, hu tobus dosa ki

(Di kamar 13 ini, ku tebus dosaku)

Di kamar sampulu tolu on, narapidana au

(Di kamar 13 ini, aku narapidana)

Di kamar sampulo tolu on, dao au sian damang dainangi

(Di kamar 13 ini, aku jauh dari bapak dan ibu)

Dikamar sampulu tolu on, dang tarlupahon au

(Di kamar 13 ini, tak terlupakan bagiku)

Baca juga: Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama

Setelah bebas dari penjara, Jack mengalami nelangsa. Kontrak manggungnya diputus sepihak. Bisnis yang dirintis istrinya kena tipu. Walhasil, keluarga Jack Marpaung dililit utang sehingga terpaksa menjual harta mereka. Pengalaman itu kemudian memantapkan tekad Jack Marpaung untuk meninggalkan dunia hiburan, terlebih lagi daya tarik duniawinya. Sesekali dia masih diundang bernyanyi untuk menghibur dan mengisi acara.

Pada dekade 2000-an, Jack Marpaung mendalami pengalaman spiritual sebagai seorang penganut Kristen, membagikan kesaksiannya di gereja sebagai penginjil, dan kemudian menjadi pendeta. Jalan itu ditekuninya hingga akhir hayat. Jejaknya sebagai penyanyi diteruskan oleh salah satu putrinya, Novita Dewi Marpaung.

TAG

obituari penyanyi tokoh batak jack marpaung

ARTIKEL TERKAIT

Presiden Jimmy Carter dalam Memori Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Memori Manis Johan Neeskens Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Salim Said Bicara Tentang Tiga Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama Jhonny Iskandar dan Orkes Moral