Masuk Daftar
My Getplus

Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama

Putra bungsu taipan T.D. Pardede ini dikenal sebagai pendiri klub sepakbola Harimau Tapanuli. Ia kemudian bergiat meneruskan usaha ayahnya hingga aktif dalam pelayanan Injil.

Oleh: Martin Sitompul | 16 Mei 2024
Johny Pardede sewaktu masih muda bersama dua pemain bola asing asal Inggris Paul Smyte dan Steve Tombs. Selain pengusaha dan penginjil, Johny Pardede dikenal sebagai manajer klub sepak bola Pardedetex dan pendiri Harimau Tapanuli. (Kompas, 4 April 1979/Novan Media Research).

KABAR duka datang dari Keluarga Pardede. Johny Pardede, putra taipan Medan T.D. Pardede yang juga Presiden Direktur Hotel Danau Toba Internasional, wafat kemarin, 15 Mei 2024, di RSCM Jakarta dalam usia 70 tahun. Sepanjang hidupnya, Johny dikenal sebagai pendiri klub sepakbola, pengusaha, dan belakangan aktif menjadi penginjil.

Johny Pardede lahir di Medan pada 24 April 1957. Dia anak ketujuh sekaligus putra bungsu dari sembilan bersaudara pasangan Tumpal Dorianus Pardede dan Hermina br. Napitupulu. Ketika Johny lahir, usaha sang ayah sedang jaya-jayanya.

T.D. Pardede dikenal sebagai pendiri pabrik tekstil Pardedetex di Medan. Produk sandang hasil pabrikan Pardedetex, seperti kaus singlet dan selimut, menguasai pasaran seluruh Indonesia. Tak ayal, T.D. Pardede mendapat julukan “Raja Tekstil dari Medan”. Kesuksesan Pardede membuat Presiden Sukarno kepincut mengangkatnya sebagai Menteri Perindustrian Rakyat Urusan Berdikari pada Kabinet Dwikora I. T.D Pardede menjadi Menteri Berdikari pertama dan satu-satunya sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia.

Advertising
Advertising

Baca juga: T.D. Pardede, Raja Tekstil dari Medan

Selain ulet membangun kerajaan bisnisnya, T.D. Pardede juga seorang pecinta sepakbola. Kegilaannya pada olahraga itu tak tanggung-tanggung dengan mendirikan klub sepakbola di Kompleks Pardedetex. Semula pemain klub Pardedetex berisikan karyawan-karyawan perusahaannya. Namun, Pardede kemudian berambisi menjadikan Pardedetex sebagai klub sepakbola profesional. Pemain-pemain top pun didatangkan, mulai dari pemain lokal berbakat hingga pemain kelas tim nasional. Pada 1969, Pardedetex menjuarai turnamen King Cup di Bangkok yang kian melambungkan klub dan pemilik klub tersebut.

Bakat T.D. Pardede mengelola klub sepakbola menurun kepada putranya Johny. Sepanjang periode 1979—1984, Pardedetex menjadi peserta Liga Galatama, kompetisi klub sepakbola professional pertama di Indonesia. Pada dua musim pertama, Pardedetex menempati peringkat lima. Baru pada musim ketiga, Johny didapuk sebagai manajer tim Pardedetex. Di akhir musim, Pardedetex menempati peringkat ketiga. Selain itu, Pardedetex menjadi klub pertama yang mendatangkan pemain asing, yaitu Jairo Mates, gelandang tengah eks klub Jepang Yomiuri. 

Keterlibatan Johny dalam Pardedetex tak lama. Pada 1984, T.D. Pardede membubarkan klub yang sudah didirikan susah payah dan dengan dana besar itu. Alasannya semata-mata karena rasa sayangnya pada Johny. Dalam membina klub, Johny begitu memforsir diri hingga jatuh sakit. Johny yang saat itu masih berusia 26 tahun menderita sakit lever dan gangguan jantung.

“Saya terpaksa membubarkan Galatama ini, bukan karena faktor lain, tapi demi keselamatan putra saya yang paling bungsu, Johny Pardede, yang langsung menangani Pardedetex,” kata T.D. Pardede dikutip Berita Yudha 11 Februari 1984. “Kalau tidak dari sekarang saya bubarkan, saya khawatir keselamatan jiwa putra yang paling saya kasihi dan calon pengganti saya itu,” ujarnya.

Baca juga: Laga Gila Bola Ketua T.D Pardede

Selain faktor keluarga, skandal suap dalam Galatama menjadi rahasia umum di balik pembubaran Pardedetex. Dalam Kompas, 11 Februari 1984, diberitakan bahwa Pardede sudah jengkel terhadap beberapa wasit yang dianggap tak becus memimpin laga. Pardedetex ditengarai telah lama menjadi sasaran para cukong judi bola sehingga sempat terlontar ucapan dari Pardede untuk membubarkan Pardedetex pada Desember 1983.

Setelah vakum beberapa tahun untuk pemulihan diri, Johny kembali berkecimpung di dunia sepakbola. Pada 1988, dia mendirikan klub sepakbola amatir: Harimau Tapanuli. Johny Pardede, menurut Alfredo France, ingin mengangkat martabat orang kampung yang juga daerah asal ayahnya, yaitu Tapanuli Utara melalui Harimau Tapanuli. Meskipun hanya mengikuti kompetisi liga amatir, Harimau Tapanuli dikelola secara profesional sebagaimana Pardedetex di masa sebelumnya.

“Berbagai macam terobosan dilakukan untuk Harimau Tapanuli, seperti: mengikuti turnamen berskala nasional maupun internasional, mendatangkan pemain-pemain dari benua biru (Eropa) hingga berprestasi dalam beberapa ajang tumamen sepakbola hingga menjadikan Tapanuli khususnya Tapanuli Utara semakin dikenal ke berbagai penjuru,” tulis Alfredo dalam skripsinya di Universitas Sumatra Utara, “Sepakbola di Sumatera Utara: Harimau Tapanuli (1989—2004)".

Baca juga: Filosofi Bisnis T.D. Pardede

Pada 1992, Harimau Tapanuli memenangkan kejuaraan nasional antar-klub memperebutkan Piala Mendagri. Berkat totalitas dan ketelatenan, Harimau Tapanuli menjadi tempat menyemai bibit-bibit unggul pemain muda potensial. Dalam perjalanannya, Harimau Tapanuli banyak mengorbitkan pemain sepakbola asal Sumatra Utara naik ke level yang lebih tinggi. Atas itu semua, PSSI bahkan secara terbuka menyampaikan apresiasi kepada Johny.

Dalam harian Waspada, 24 Juli 2001, PSSI melalui humasnya Eddi Elison menyatakan salut kepada Harimau Tapanuli yang banyak membina pemain berbakat usia 14, 16, 18, dan 20 tahun. “Banyaknya pemain tersebut menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan ketua umum HT Johny Pardede benar-benar serius ingin memajukan sepakbola Sumut khususnya dan Indonesia pada umumnya,” kata Eddi dalam siaran pers dikutip Waspada. Sukses membesut Harimau Tapanuli, Johny dipercaya sebagai project officer Timnas PSSI U-16.

Salah satu pemain yang mengawali kiprahnya di Harimau Tapanuli adalah Colly Misrun, yang kemudian jadi punggawa PSMS Medan dan langganan tim nasional. Menurut Colly, Johny merupakan sosok yang sangat memperhatikan para pemain. Meski bermain di kompetisi semi profesional, dia dan rekan-rekan diurus secara profesional. Urusan fasilitas, gaji, mes, bahkan bonus semuanya memuaskan. Johny bagi Colly adalah bos terbaik selama pengalamannya berkarier di sepakbola.

“Biar bagaimanapun, aku bisa ada di sepakbola ini karena Bos Johny. Bos terbaik di sepakbola yang pernag kami temui,” kenang Colly sambil berderai air mata sebagaimana dikutip dalam bola.hita, 16 Mei 2024.

Baca juga: Final Fenomenal di Senayan

Di luar sepakbola, Johny juga bergiat mengurusi aset perusahaan warisan ayahnya. Salah satunya Hotel Danau Toba Internasional yang cukup terkenal di Medan dan punya cabang di daerah lain. Hotel ini masih beroperasi sampai sekarang.

Belakangan, setelah tak lagi mengurusi sepakbola, Johny bertekun dalam pendalaman iman. Dia banyak memberikan kesaksian pengalaman terpanggil untuk melayani Tuhan. Dari kehidupan sebagai pengusaha kaya yang glamor, penuh kesenangan dunia, Johny kemudian bertobat dan menjadi pekabar Injil. Namanya pun lebih dikenal sebagai Evangelis Johny Pardede. Majalah bulanan Kristen Bahana dalam salah satu edisinya tahun 2004, mewartakan kesaksian Johny dan istrinya dr. Theresia br. Bangun. Mereka menyatakan bahwa kasih dan komitmen dalam rumahtangga mampu menaklukkan keinginan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti judi, yang banyak melanda kaum pria di Sumatra Utara.

Gedung Pardede Hall di Medan kerap menjadi tempat pertemuan ibadah atau Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) gereja-gereja di kota itu. Di gedung itu pula jenazah Johny Pardede disemayamkan sebelum dimakamkan besok  (17/5) di Kompleks T.D. Pardede di Jl. Binjai, Purwodadi, Deliserdang. Selain keluarga besar dan sanak saudara, eks pemain Harimau Tapanuli turut berduka. Seperti ayahnya, Johny dianggap berjasa memajukan sepakbola di Sumatra Utara.*

TAG

tokoh batak obituari sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Luka Lama Konflik Balkan di Gelanggang Sepakbola Eropa Ketika Pele Dimaki Suporter Indonesia Pele Datang ke Indonesia Aneka Maskot Copa América (Bagian II – Habis) Aneka Maskot Copa América (Bagian I) Hajatan Copa América yang Sarat Sejarah Lebih Dekat Menengok Katedral Sepakbola di Dortmund Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Tendangan dari Sakartvelo Singa Mesopotamia yang Menyala