KABAR duka itu datang lebih dua pekan lalu, tepatnya 6 Februari 2025: Pak Tuba meninggal dunia. Tuba bin Abudurahim adalah seorang penyintas tragedi 1965. Ia menjadi buron tentara lantaran berada di Lubang Buaya –tempat dieksekusi sejumlah jenderal Angkatan Darat dalam Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965– sebagai anggota Pemuda Rakyat. Akibatnya, Pak Tuba harus menghabiskan masa mudanya selama 14 tahun dari penjara ke penjara. Mulai dari Penjara Salemba di Jakarta hingga Pulau Buru di Kepulauan Maluku.
“Saya jadi buron karena berada di ring-1 Lubang Buaya dan bersenjata. Padahal, saya hanya seorang sukarelawan yang pada waktu itu menjalankan tugas negara. Ini kan masalah politik. Saya tidak mengerti politik,” kata Pak Tuba saat diwawancarai Historia.id.
Wafatnya Pak Tuba bertepatan dengan perayaan 100 tahun sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pram dan Pak Tuba pernah sama-sama dibuang di Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol). Pram termasuk penghuni awal, sementara Tuba masuk ke Buru tiga tahun terakhir menjelang pemulangan seluruh tapol. Semasa hidupnya, Pak Tuba berkisah juga tentang pertautannya dengan Pram selama di Buru.
Saksi Mata di Lubang Buaya
Kali pertama bertemu Pak Tuba pada pertengahan 2022, ketika saya mewawancarai di kediamannya di gang sempit Jl. Jembatan Tiga, Penjaringan, Jakarta Utara. Tiga ruas jemarinya cedera permanen akibat dianiaya tentara sewaktu diinterogasi di Kodim Jakarta Utara. Salah satu jari bahkan kadangkala masih mengeluarkan nanah yang mencuatkan bau busuk. Ketika diinterogasi, Tuba mengaku dirinya seorang pemain drumben sukarelawan Pemuda Rakyat. Mendengar itu, interogatornya mengambil stik drum, membelahnya jadi dua, lalu menggebuknya berkali-kali ke jemari tuba. Potongan buluh kayu itulah yang menusuk ke dalam sela kuku jari Tuba yang lukanya terus melekat sampai tua.
Tuba mengisahkan, dirinya menjadi anggota Pemuda Rakyat pada 1963. Usianya masih 19 tahun kala itu. Meski onderbouw pemuda dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Tuba mengaku dirinya bukan anggota partai. “Susah (jadi anggota PKI),” ungkapnya. “Harus melalui sumpah dan sebagainya.”
Baca juga: Kesaksian Tiga Eks Tapol 1965
Setahun berselang, Tuba tergabung dalam pasukan sukarelawan Dwikora dari garda Pemuda Rakyat. Sejak itu Tuba sering latihan sukarelawan. Para instrukturnya kebanyakan dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Meski statusnya anggota sukarelawan, Tuba mengalami latihan tempur dengan senjata berat, seperti senapan laras panjang jenis Garand hingga granat mortir. Sebagai anak muda yang semangatnya masih menyala-nyala, Tuba terpikat betul mendengar pidato “Ganyang Malaysia” Presiden Sukarno. Itulah alasannya bersedia jadi sukarelawan, bahkan jika harus diterjunkan ke perbatasan Malaysia.
Nyatanya Tuba tak kesampaian bela negara sampai ke perbatasan Malaysia. Kiprahnya sebagai sukarelawan tamat di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pada akhir September 1965, peleton Tuba tugas piket di Lubang Buaya yang menjadi lokasi latihan para sukarelawan. Dini hari 1 Oktober, saat sedang patroli, Tuba menyaksikan peristiwa yang kemudian jadi petaka dalam hidupnya.
“Malam itu saya mendapat tugas untuk ronda malam, hingga menjelang subuh saya mendengar suara mobil bergemuruh. Kemudian turunlah para pasukan Tjakrabirawa dan meletuskan peristiwa yang dikenal sebagai G30S itu. Saya sendiri sama sekali tidak tahu menahu gerakan ini karena saya di sana hanya disuruh jaga malam, bukan yang lain,” tuturnya.
Baca juga: Getirnya Perjalanan Tuba Menghapus Stigma 1965
Tuba masih ingat bagaimana salah satu jenderal, Mayor Jenderal Soeprapto, waktu itu menjabat Deputi II/Operasi Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dieksekusi di Lubang Buaya. Saat didudukkan di kursi interogasi, Jenderal Soeprapto menatap tajam, seolah ingin melawan. Tuba tak kuat lagi menatap perlakuan selanjutnya terhadap Jenderal Soeprapto. Dia memilih keluar dari rumah tempat para jenderal yang masih hidup diinterogasi untuk kemudian dieksekusi.
“Itu sangat mengerikan. Seumur hidup saya baru melihat peristiwa semacam itu. Jangan sampai terjadi lagi,” ucapnya
Peristiwa G30S menggegerkan sekaligus memicu kemarahan luar biasa, khususnya dari kalangan Angkatan Darat. Semua unsur yang terlibat di dalamnya, baik sipil maupun militer, diburu. Tuba yang tak sengaja berada di Lubang Buaya saat G30S, turut kena ciduk. Dia ditangkap saat pulang ke kampung halamannya di Brebes pada pertengahan November 1965.
Buku Lagu dan Pulau Buru
Sebelum dijebloskan ke penjara, Tuba mengalami kekerasan bertubi-tubi dari para tentara yang memeriksanya. Orang-orang seperti Tuba, tak sedikit yang meregang nyawa saat diinterogasi. Tuba pun menyaksikan banyak kawan-kawannya dianiaya sampai mati waktu diperiksa tentara. Hampir semuanya diperlukan secara sadis dan tak berkeperimanusiaan.
“Kalau nggak mati ya cacat,” ungkap Tuba.
Baca juga: Buku Lagu Para Tapol
Tapi, selama menjalani masa pesakitan itu tak melulu berisi kisah-kisah nelangsa. Waktu di Penjara Tangerang, misalnya, Tuba bersama kawan-kawan tapol mengarang beberapa lagu untuk saling menghibur diri. Lagu-lagu yang mereka ciptakan menuangkan isi hati masing-masing, tentang ratap nasib, persahabatan, hingga cinta, lengkap dengan lirik dan notasinya.
Seperti lagu “Melati di Tepi Cisadane” yang terinspirasi dari kisah asmara Tuba yang selalu bertemu dengan seorang gadis di tepi Sungai Cisadane untuk mencuci pakaian. Tuba sering juga ke sungai karena dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga komandan CPM Kodim Tangerang. Benih-benih cinta pun bersemi lantaran Tuba dan si gadis sering ketemu di sungai itu. Sayang, kisah kasih mereka tak berlanjut karena Tuba dipindahkan ke Penjara Salemba. Dari Salemba Tuba dipindah lagi ke Nusakambangan kemudian ke Buru.
Begitu pula saat rombongan Tuba diboyong ke Pulau Buru. Rasa pasrah terhadap nasib selanjutnya membuat mereka menjalani perjalanan pembuangan itu dengan hati gembira. Di atas kapal KRI Teluk Tomini 508, mereka menyanyikan lagu Koes Plus, “Kembali ke Jakarta” dengan alunan gitar yang digenjreng Tuba.
“Ke Jakarta aku... kan kembali...,” begitu sepenggal liriknya dinyanyikan Tuba.
Baca juga: Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus
Kalau dalam tahanan para tapol berjuang bertahan dari dera siksaan, maka di Pulau Buru mereka berjuang untuk bertahan hidup. Tuba mengisahkan, para tapol di Pulau Buru sering dipekerjakan yang dalam bahasa mereka disebut korve atau kerja paksa. Berbagai macam korve dilakoni oleh tapol, mulai dari membuka lahan, menebang kayu, bercocok tanam, menderas gula aren, hingga beternak. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan bahwa Pulau Buru dari yang semula tanah kosong bersemak-belukar kemudian menjadi gudang beras berkat para tapol.
Mengenai sosok Pram di antara para tapol Pulau Buru, menurut Tuba, termasuk tahanan kelas kakap. Gerakannya selalu dipantau oleh tentara penjaga tempat pemanfaaatan (tefaat) –sebuah kata halus untuk menyebut penjara– Pulau Buru. Karena itu pula, tak semua tapol bisa bebas bergaul dengan Pram.
Sekali waktu, Tuba bersama kelompoknya sedang korve membawa gabah ke markas komando (mako). Bertepatan dengan itu, rombongan tamu penting dari Jakarta, yaitu Jaksa Agung Ali Said, juga berkunjung menggunakan helikopter Angkatan Darat. Kabar yang beredar mengatakan Jaksa Agung Ali Said hendak bertemu dengan Pramoedya. Namun, pertemuan itu tertunda sebentar lantaran tiba-tiba perut Pram melilit yang menyebabkannya buang air besar terus.
Baca juga: Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda
“Rombongan tamu Jaksa Agung menunggu beberapa saat sampai yang ditunggu keluar. Itu cerita dari teman kita yang di mako. Akhirnya rombongan kita yang sedang korve angkut gabah tidak bertemu dengan Pak Pram,” tutur Tuba.
Menanti Rehabilitasi
Setelah bebas dari Pulau Buru, seperti lagu yang dinyanyikannya di atas kapal, Tuba kembali ke Jakarta. Dia menikahi Ngatemi, gadis asal Surabaya yang menjadi istrinya pada 1980. Tapi rundungan dari stigma eks Tapol tidak begitu saja lepas dari hidup Tuba. Hidupnya terus diawasi bahkan terkadang dipersulit. Di rumahnya sendiri, Tuba tidak diperbolehkan banyak orang berkumpul. Ketika anak keduanya, Eva Merdekawati, lahir, iak pernah kena gampar Ketua RT Sersan TNI Sumiran dan seterusnya dipersekusi di hadapan para tamu keluarga yang menghadiri syukuran. Begitulah orang-orang eks tapol selalu dicurigai hendak memobilisasi massa selama Orde Baru berkuasa.
Apa yang dialami Tuba semasa hidupnya itu sudah dilaporkan ke Komnas Hak Asasi Manusia (HAM). Dia hanya memperoleh Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH). Namun, penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM seperti dirinya masih terus dinantikan oleh Tuba.
Baca juga: Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Di masa tuanya, Tuba terus menyuarakan aspirasi mewakili penyintas tragedi 1965. Setiap hari Kamis, dia turut dalam “Aksi Kamisan” di depan Istana Negara. Tapi, makin sepuh usianya, raga nya pun tak kuat lagi. Hingga akhir hayatnya, harapan itu masih terus sebagai penantian yang tak tahu entah kapan bakal terjawab.
“Bapak sakit lambungnya sudah parah sampai sesak nafas,” kata Eva, putri Tuba, kepada Historia.id.
Pada pukul 03.00 pagi 6 Februari 2025, Tuba menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 80 tahun. Selain harapan dan kisah hidupnya, ia meninggalkan sejilid buku lagu para Tapol 65, yang barangkali jadi artefak kemanusiaan bagi pengungkapan sejarah di masa mendatang.
Selamat jalan Pak Tuba.
Baca juga: Kisah Tuba, Eks Tapol Tragedi 1965