LANGIT Hollywood dan perfilman Indonesia sama-sama berkalang kabut duka. Saat Hollywood berbelasungkawa untuk kematian aktor Val Kilmer pada Selasa (1/4/2025), di hari yang sama belantika sinema Indonesia juga kehilangan satu aktor kawakannya, Ray Sahetapy.
Kabar duka itu datang via akun Instagram putra mendiang, Surya Sahetapy. Almarhum Ray Sahetapy menghembuskan nafas terakhir di Jakarta pada usia 68 tahun. Mendiang punya riwayat penyakit diabetes dan stroke. Untuk sementara, almarhum dimakamkan secara Islam di TPU Tanah Kusir, Jakarta pada Jumat (4/4/2025) hari ini terlepas dari wasiat mendiang yang ingin dimakamkan dekat kampung halamannya di Sulawesi Tengah.
“Sebenarnya permintaan ayah ingin dimakamkan di kuburan keluarga di Palu, Sibowi tepatnya. Jadi mungkin dalam 1 hingga 2 tahun akan dipindahkan ke makam di Palu, ujar anak almarhum, Raya Sahetapy, dilansir Kumparan, Kamis (3/4/2025).
Sejak pertama kali terjun ke layar perak pada 1980, sudah lebih dari 100 judul film ia bintangi, belum termasuk sekitar 12 serial televisi dan 5 serial web. Akting terakhirnya terdapat dalam film Lokananta (2024) dan serial web Kisah 3 Pembunuh yang jadwal tayangnya masih belum ditentukan.
Baca juga: Berpulangnya Yayu Unru, Aktor Watak yang Bersahaja
Sebagaimana banyak aktor legendaris Indonesia, Ray Sahetapy termasuk aktor watak yang berangkat dari panggung teater. Ia kemudian malang-melintang di berbagai genre, mulai dari drama, komedi, hingga action.
Walau tak satupun Piala Citra mampir ke pelukannya, Ray tercatat pernah menerima delapan kali nominasi untuk pemeran utama pria terbaik di tujuh ajang Festival Film Indonesia atau Piala Citra. Di antaranya untuk film Ponirah Terpidana (1984), Kerikil-Kerikil Tajam (1984), Opera Jakarta (1986), Noesa Penida (1988), dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (1990).
Satu penghargaan prestisius yang pernah dipetiknya adalah Indonesian Movie Actors Awards 2013 untuk nominasi pemeran pendukung pria terbaik lewat film laga The Raid (2011). Film yang juga turut membawanya ke Hollywood lalu membuatnya terlibat sebagai figuran di sebuah adegan di film pahlawan super dalam waralaba Marvel Cinematic Universe, Captain America: Civil War (2016).
Anak Sulawesi di Gelanggang Seni
Sang aktor lahir dengan nama Ferenc Raymond Sahetapy di kota pelabuhan Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun baru 1957. Dalam Majalah Femina edisi Agustus 1991, anak keempat dari sembilan bersaudara itu mengungkapkan nama depannya Ferenc dan nama tengah Raymond merupakan perpaduan dari dua nama bintang sepakbola legendaris dunia era 1950-an, Ferenc Puskás asal Hongaria dan Raymond Kopa dari Prancis.
“Karena ayah pecandu berat sepakbola, maka dua nama depan saya adalah gabungan dari dua nama pemain bola kesayangannya itu. Mungkin karena itu pula sejak kecil saya suka main bola. Waktu kecil kerja saya cuma main saja. Saya paling suka kumpul bersama teman-teman. Kadang-kadang balapan lari sampai naik ke pohon kersen. Setiap sore kami pasti main bola di lapangan milik sekolah yang letaknya cuma lima rumah dari rumah saya,” kata Ray.
Meski terkadang ikut mewakili sekolahnya di pertandingan antarsekolah, jalan hidup Ray Sahetapy bukan di lapangan hijau. Beranjak remaja, Ray sudah bercita-cita jadi aktor yang mengantarkannya merantau ke Jakarta.
Baca juga: Wawan Wanisar dalam Kenangan
Menurut buku Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, Ray belajar seni peran dan teater di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta/IKJ) kurun 1977-1980. Ia seangkatan dengan aktor-aktor kawakan macam Didik Ninik Thowok, Didi Petet, ataupun Deddy Mizwar yang kemudian beberapa kali beradu akting dengan Ray di layar lebar.
“Ya kami ada kenangan sebagai teman diskusi menyenangkan. Kadang sepakat, kadang enggak. Sebagai teman diskusi ya menarik. Saya main banyak film dengan dia. Ada film bagus, ada juga ecek-ecek. Banyak film komedi maupun serius seperti Opera Jakarta. Kemudian juga kenal di teater, ya kalau Ray ini perjalanan kariernya panjang,” kenang Deddy, disitat Kumparan, Kamis (3/4/2025).
Kesempatan Ray terjun ke layar perak didapatkan dalam film drama Gadis (1980) garapan sutradara Nyak Abbas Akup. Di film perdananya ini pula Ray bersua dan kepincut Dewi Yull, lawan mainnya yang kemudian dinikahinya setahun berselang.
Baca juga: Mementaskan Pantomim di Hadapan Jenderal hingga Pemabuk
Era 1980-an jadi era keemasan Ray Sahetapy. Selain beken atas penampilannya di film-film beken hingga mendatangkan sejumlah nominasi, Ray juga masih giat melakukan pendalaman seninya bersama kelompok teater Studio Oncor. Bahkan menurut Tempo edisi 10 Agustus 1991, Ray Sahetapy bersama Studio Oncor tercatat jadi kelompok teater pertama yang masuk rumah tahanan, sebagai penghibur para tahanan di Rutan Salemba. Aktifnya Ray di panggung teater juga jadi alternatif baginya di tengah perfilman Indonesia era 1990-an yang lesu hingga nyaris mati.
“Ray betul-betul orang teater. Uang dan materi yang didapatkan melalui film, akhirnya mengalir lagi ke teater,” kenang Dewi Yull dalam buku Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3.
Ketika Ray mulai kembali menghiasi layar perak di awal 2000-an, kehidupan rumah tangganya dengan Dewi Yull retak. Ray dan Dewi yang sudah dikaruniai empat anak, akhirnya berpisah setelah perceraian mereka disahkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 2004. Di tahun yang sama, Ray menikahi Sri Respatini Kusumastuti.
“Ketidakrelaan Dewi untuk dimadu menjadi alasan kuat untuk bercerai. Demi melanggengkan jalan Ray Sahetapy untuk menikah lagi, maka Dewi memilih bercerai daripada dimadu. Permintaan Dewi untuk bercerai itu dengan mudah dikabulkan Ray dengan argumentasi, bahwa Ray tidak bisa hidup dengan orang yang tidak tabah menghadapi dirinya,” ungkap Sulistyowati Irianto dalam Perempuan & Hukum.
Baca juga: Musim-Musim Rina Hassim
Terlepas dari gonjang-ganjing kehidupan pribadi, kiprah Ray di perfilman Indonesia yang perlahan bangkit terus berkibar. Film laga The Raid garapan sineas Gareth Evans jadi salah satu highlight dalam usia senjanya. Ia memerankan tokoh antagonis Tama Riyadi sang gembong narkoba.
Sebagaimana dikutip buku Kiprah Pemain Film Indonesia di Film Luar Negeri, Jilid II, Evans sang sutradara The Raid itulah yang kemudian juga merekomendasikan nama Ray Sahetapy ke duet sineas bersaudara, Joe dan Anthony Russo, yang menggarap Captain America: Civil War. Ray pun diikutsertakan tanpa proses casting meski kemudian adegan-adegannya tak melibatkan adu akting dengan para aktor ujung tombak Marvel seperti Chris Evans yang memerankan Steve Rogers/Captain America dan Robert Downey Jr. Yang memerankan Tony Stark/Iron Man.
“Saya ada di scene pembuka. Jadi tidak disatukan dengan aktor-aktor tersebut,” kata Ray.
Sejatinya duet Russo bersaudara memberi Ray peran sebagai seorang juru lelang dalam sebuah pelelangan artefak dan senjata organisasi teroris HYDRA. Namun, kemudian adegan yang dimainkan Ray itu disunting dan dihapus sehingga hilang dalam rilis resmi filmnya. Alasannya, Russo bersaudara kemudian mengambil pendekatan berbeda dalam scene awal filmnya, dari adegan juru lelang ke adegan kisah orisinal karakter antagonis lainnya, Baron Zemo yang diperankan aktor Jerman-Spanyol, Daniel Brühl.
Meski begitu, adegan yang memperlihatkan karakter Ray Sahetapy tetap dimunculkan dalam versi The Infinity Saga, box set yang berisi adegan-adegan dan cuplikan-cuplikan yang terhapus di balik layar Marvel Cinematic Universe. Toh ia tetap diakui sebagai satu dari sedikit aktor Indonesia yang akhirnya diakui secara internasional dan mampu menembus Hollywood.
Selamat Jalan, Ferenc Raymond Sahetapy!