Ketika Timnas Primavera Puasa di Italia
Suka-duka para pemain timnas mengarungi pentas Primavera saat berpuasa.
MENYUSUL Bundesliga Jerman, tiga liga top Eropa lain bakal menggelar kick off lagi terlepas belum sirnanya pandemi virus corona. Di sisi lain, perkara klasik bagi para pemain Muslim kembali muncul, yakni pilihan antara mempertahankan puasa atau memilih profesionalitas.
Pengalaman seperti itu pernah dialami Yeyen Tumena, eks bek timnas, PSM Makassar, Persebaya, dan Persma Manado. “Saya mengalaminya langsung mulai dari Primavera ya. Sebagian besar anak-anak (Timnas Primavera) merasa ya akidah tetap akidah. Agama tetap agama, dan sepakbola adalah sepakbola,” kata Yeyen dalam obrolan live “Bolatoria: Puasa dan Sepakbola” di Youtube maupun Facebook yang dihelat Historia dan Bolalob.com pada Jumat (15/5/2020).
Menurut Yeyen, titik persoalannya bukan hanya pengertian pihak klub atau pelatih, namun juga bagaimana si pemain menjaga disiplin diri seandainya memilih tetap berpuasa di tengah jadwal latihan dan pertandingan.
Tantangan itu datang ketika Yeyen berusia 18 tahun, saat menjadi bagian timnas Primavera. Sebagaimana pemuda Minang yang lazimnya kehidupannya kental nilai agama, Yeyen berusaha sekuat mungkin mempertahankan imannya di bulan Ramadan sekaligus menjawab kepercayaan padanya mengingat hanya 22 pemuda Indonesia yang terpilih masuk tim Primavera.
Baca juga: Sepakbola, Puasa, dan Corona
Mengutip biografi Azwar Anas, Ketua Umum PSSI kala itu, Teladan dari Ranah Minang, proyek Primavera yang memakan dana sekira Rp8 miliar digulirkan PSSI bersamaan dengan pendidikan calon pelatih ke Eropa. Bersama 22 pemain kelompok umur 17-21 tahun, tiga pelatih juga diberangkatkan: Danurwindo dari Semarang dan Suhatman dari Padang. Proyek tersebut dicetuskan berdasarkan rangkuman rekomendasi Franz Beckenbauer, tokoh sepakbola Jerman cum pelatih Bayern Munich, yang diundang Azwar Anas ke tanah air.
“Sesuai rekomendasi Beckenbauer, beberapa langkah yang diambil PSSI untuk meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia, pertama mendatangkan instruktur untuk para pelatih, pelatihan wasit-wasit, mendidik calon pelatih timnas di Eropa, serta membetuk kesebelasan Primavera dan Barreti (kelompok umur 15-17 tahun. Mereka dilatih di (akademi) klub Sampdoria,” ungkap Abrar Yusra si penulis biografi Azwar Anas.
Baca juga: Parma yang Bangkit dari Kubur
Timnas PSSI Primavera yang terdiri dari Yeyen cs. dikirim ke Genoa, basis akademi sepakbola Sampdoria, untuk diasuh pelatih asal Swedia Tord Grip. Tim itu disebut Timnas PSSI Primavera lantaran kemudian mereka diikutkan ke kompetisi Campionato Nazionale Primavera musim 1993-1994 guna memperebutkan Trofi Giacinto Facchetti. Kompetisi itu dioperasikan Lega Calcio dan berisi tim-tim asal akademi klub-klub Serie A.
“Kita hadir di sana istilahnya dengan tim-tim pelapis Serie A, sehingga pemain-pemain yang ada di Serie A adalah pemain yang lahir di kompetisi Primavera. Semua pemain Serie A pasti melewati fase bermain di Primavera. Alessandro Del Piero, misalnya. Setelah kita kalah lawan Juventus 3-0, di mana semua gol diciptakan dari dia, minggu depannya itu pertandingan terakhir dia untuk kemudian main di Serie A,” tutur Yeyen lagi.
“Juventus saat itu lagi kehilangan (Gianluca) Vialli, (Fabrizio) Ravanelli, dan Roberto Baggio. Jadi pemain Primavera yang terdekat yang naik. Debutnya lawan Reggiana sebagai pemain pengganti dan dia cetak gol. Setelah itu tak pernah lagi dia turun ke Primavera,” lanjutnya.
Kompetisi Primavera, imbuh Yeyen, juga lazim jadi ajang para pemain yang baru pulih cedera menjalani laga-laga percobaan sebelum comeback ke tim utama. Maka di kompetisi itu Yeyen tak hanya pernah bermain dan mengawal calon-calon bintang macam Alessandro Del Piero dan Francesco Totti, tetapi juga pemain-pemain kawakan macam Pietro Vierchowood hingga Ruud Gullit.
“Jadi kalau bicara masa itu, waktu kita lawan Sampdoria, di skuad Primavera-nya mereka ada (Pietro) Vierchowod, (Ruud) Gullit, (Roberto) Mancini. Kurniawan (Dwi Yulianto) saat itu memang bisa bikin gol. Tetapi yang masuk koran bukan Kurniawannya. Justru saya karena saya jaga Ruud Gullit saat itu,” kata Yeyen mengenang.
Puasa dan Lebaran di Negeri Pizza
Pada awal di Italia, Yeyen cs. mengalami masalah dengan makanan. “Awal-awal kita kesulitan adaptasi dengan makanan di sana: pasta dan pizza,” ujarnya. Beruntung, manajemen mau mendatangkan koki dari tanah air. Maka sejak musim panas 1993, di masa awal kompetisi Primavera, mereka masih dimanjakan masakan-masakan Indonesia.
“Tetapi diatur, pagi dan siang makanannya masih ala Italia, malamnya baru makan nasi, ayam goreng dll,” papar Yeyen.
Dari adaptasi itu Yeyen mendapati perbedaan asupan karbohidrat, yang punya pengaruh berbeda bagi tubuh, antara dari nasi dan jenis-jenis pasta. Nasi karena mengandung gula, lebih cepat terbakar dalam pencernaan. Sementara, pasta terbilang lebih awet sebagai bahan bakar energi. Pelajaran sederhana ini ternyata berguna bagi para punggawa PSSI Primavera yang berusaha tetap berpuasa di tahun 1994, yang bulan Ramadhan-nya dimulai pada pertengahan Februari.
“Memang ketika kita berpuasa, sangat berdampak pada penampilan di lapangan. Seperti kita lawan Fiorentina yang jam tandingnya siang, kita sampai kalah 6-0. Manajemen dan tim pelatih sampai memberi wejangan supaya anak-anak jangan puasa dulu kalau memang tidak mampu mengatur kondisi. Sampai didatangkan psikolog top dari Indonesia, Pak Jo Rumeser,” kata Yeyen.
Rumeser datang untuk memberi gambaran, tetapi bukan dalam konteks memberi tekanan pemain untuk tidak berpuasa.
“Kita juga sampai didatangkan ustadz dari KBRI di Roma. Artinya saat kita punya pekerjaan yang cukup berat dan berada di negara orang, kemudian ada target yang mungkin sudah disiapkan, tentu tergantung pada keimanan. Lalu juga bagaimana memenuhi nutrisi yang dibutuhkan karena kita main siang,” tambahnya.
Setelah diberi pengertian, beberapa punggawa akhirnya memilih untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Pasalnya, menurut Yeyen, sangat tidak mudah menyesuaikan rutinitas fisik agar tak kekurangan nutrisi untuk tubuh yang harus digenjot jadwal latihan dan pertandingan di tengah ibadah puasa.
“Kalau main siang, artinya nutrisi yang dikumpulkan dari malam harus diatur, apa yang dimakan saat berbuka puasa. Kemudian sahur kan harus bangun sebelum Subuh, kemudian tidurnya jadi agak telat. Dari bimbingan mereka, kita mencoba mengambil dua garis besar. Ketika berniat puasa, kita harus disiplin dengan apa yang dibutuhkan,” ujar Yeyen.
“Misal, saya butuh 3.500 kalori untuk bertanding. Kemudian saya butuh tiga liter air. Kebutuhan itu apakah sudah kita penuhi ketika berbuka dan sahur? Kalau tak bisa terpenuhi, kita harus berpikir, saya memaksakan main dengan kondisi tidak fit atau saya berhutang puasa. Jadi dua hal itu yang pribadi kita (tentukan, red.), antara mau puasa atau tidak,” tuturnya.
Ketika bulan Ramadan usai, para anggota timnas Primavera yang Muslim mesti shalat ied (Hari Raya Idul Fitri). Seingat Yeyen, saat itu kompetisi tak diliburkan.
“Di Italia itu kompetisi tetap jalan, termasuk ketika Idul Fitri. Masjidnya di Genoa itu butuh perjalanan darat tiga jam. Sementara di tim kan tidak semuanya Muslim, dan kita tetap ada jadwal latihan pas Lebaran itu. Sehingga tim pelatih mencoba penyesuaian jadwal di-mix and match,” ujar Yeyen.
“Jadi (pemain-pemain) yang Muslim diantar dulu ke masjid, tapi yang non-Muslim tetap di hotel dan apartemen. Ketika yang Muslim sudah selesai (shalat ied) dan langsung berangkat lagi ke lapangan, teman-teman yang non-Muslim bergerak juga ke lapangan, jadi ketemu di lapangan. Karena kalau yang Muslim ke hotel/apartemen lagi, enggak efisien waktunya.”
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
Tambahkan komentar
Belum ada komentar