SUATU siang di Surabaya. Selain terik matahari yang menyengat kulit, dalam perjalanan menuju Stadion Gelora 10 November menggunakan sepeda motor mata “disuguhi” grafiti dengan kata Persebaya di berbagai sudut kota.
Grafiti-grafiti yang terdapat di pagar beton maupun tembok bangunan terbengkalai itu jadi penanda besarnya kecintaan arek-arek Suroboyo terhadap Persebaya Surabaya. Klub sepakbola yang sejak lahir hingga kini terus mengisi lembaran-lembaran sejarah persepakbolaan nasional itu lahir dari perjuangan tokoh-tokoh Bumiputera di masa sepakbola tengah berkembang pesat di berbagai kota di Hindia Belanda.
Persebaya memang bukan yang pertama di Surabaya. Setelah orang-orang Belanda punya Oost Java Voetbalbond (OOJV) sejak 1907 yang berganti nama menjadi Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) mulai 1914, golongan Tionghoa lebih dulu punya klub sepakbola setelah mendirikan Tiong Hwa Soerabaia pada 1914.
Persebaya, yang jadi wadah perjuangan Bumiputera lewat sepakbola, baru lahir 18 Juni 1927 dengan nama Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB). Para pendiri SIVB merupakan tokoh-tokoh masyarakat Bumiputera seperti M. Pamoedji dan Paidjo. Bersama bond-bond Bumiputera lain, SIVB membidani kelahiran PSSI tiga tahun kemudian.
Baca juga: Surabaya dan Sepakbolanya
“Mereka (masyarakat Bumiputera) ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Belanda saja yang bisa memainkan sepakbola, meski saat itu pengelompokan golongan masyarakat begitu kuat. SIVB dibentuk sebagai perlawanan kultural masyarakat Bumiputera untuk membuktikan bahwa mereka juga mampu memainkan sepakbola,” ujar pengamat olahraga cum dosen Universitas Negeri Surabaya Rojil Nugroho Bayu Aji kepada Historia.
SIVB lantas jadi wadah tersendiri bagi klub-klub minor di Surabaya untuk berkompetisi. Selain Selo, klub-klub itu antara lain Maroeto, Olivio, Tjahaja Laoet, Rego, Radio, dan PS Hizboel Wathan.
Di Balik Kelahiran SIVB
Sebelum SIVB yang kemudian bertransformasi menjadi Persebaya, nama SIVB pernah digunakan oleh sebuah klub sepakbola lain. De Indische Courant 13 Agustus 1925 memberitakan, perkumpulan sepakbola SIVB pernah juga dilahirkan Mr. Soeroto walau tak lama kemudian bubar karena ikatan organisasinya lemah. Nama SIVB kembali diusung M. Pamoedji cs. dua tahun berselang.
“Sebetulnya tidak hanya Pamoedji. Ada juga campur tangan Radjamin Nasution, anggota Volksraad bumiputera pertama di Surabaya. Tapi karena statusnya itu, dia tak mau terlalu berkecimpung. Makanya dia yang mendorong tokoh-tokoh lain (Pamoedji, Paidjo, Askaboel, R. Sanoesi) untuk mendirikan SIVB,” kata peneliti sejarah Persebaya Dhion Prasetya.
Paidjo, tokoh yang ikut mendirikan SIVB, diyakini oleh penulis buku Persebaya and Them itu bukan nama asli. Paidjo kemungkinan nama samaran Radjamin atau tokoh lain yang tak ingin namanya jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Sepakbola Surabaya Punya Cerita
“Kalau Paidjo itu masih misterius ya. Apakah memang nama asli atau nama pena. Orang-orang di zaman itu memang lazim pakai nama pena. Kalau Pamoedji kan sudah jelas orangnya. Dia tokoh dari Indonesische Studieclub (IS) dan kelak jadi residen kedua Surabaya setelah Residen Soedirman,” imbuhnya.
Sejak berdirinya, SIVB ber-home base di Lapangan Pasar Turi yang kini sudah berubah jadi Pusat Grosir Pasar Turi. Warna kebesaran hijau erat kaitannya dengan sejarah Kota Surabaya sejak era Majapahit. “Warna hijau itu representasi bendera Ujung Galuh di abad XIII. Ujung Galuh itu kota pelabuhan Majapahit yang sekarang jadi namanya Surabaya. Panji-panjinya berwarna hijau,” tambah Dhion.
Transformasi
Sejak berdiri, SIVB mengalami beberapakali pergantian nama. Dalam rapat pengurus 18 Mei 1938, ditetapkan SIVB berganti nama menjadi Persibaja (Persatoean Sepakraga Soerabaja). Menurut De Indische Courant edisi 20 Mei 1938, perubahan nama itu mengacu pada anjuran PSSI dalam kongres 1938 bahwa setiap bond di bawahnya untuk tak lagi memakai nama berbau Belanda.
Setelah era kemerdekaan, Persibaja berganti nama menjadi Persatoean Olah Raga Republik Indonesia Soerabaja (PORIS). Nama itu dipilih karena Persibaja bernaung di bawah PORI.
Belakangan, muncul beberapa klaim bahwa Persebaya saat ini bukanlah kelanjutan SIVB, melainkan SVB (klub kepunyaan Belanda yang lebih tua). Pasalnya, sejak Belanda merongrong republik pasca-Agresi I (1947), SVB-lah yang rutin ikut kompetisi reguler di bawah Voetbal Unie in de Verenigde Staten van Indonesië (VUVSI), badan sepakbola pengganti Nederlandsch Indische Voetbalbond yang bubar karena pendudukan Jepang. SVB lantas berganti nama menjadi Persatoean Sepakraga Soerabaja (PSS).
Klaim bahwa Persebaya bukan SIVB diperkuat oleh pemberitaan Suratkabar Nieuwe Courant, 31 Desember 1947, yang memberitakan bahwa PORIS justru ikut Competitieprogramma (kompetisi internal) SVB/PSS. Kompetisi ini bergulir hanya sampai 1949.
Setelah Kongres PSSI 1950 di Semarang, semua klub-klub Bumiputera dipulihkan untuk kemudian digulirkan lagi kompetisi Perserikatan 1951. Tim PORIS kembali memakai nama Persibaja dan sejak 1960-an menjadi Persebaya untuk seterusnya, mengikuti EYD (Ejaan yang Disempurnakan).
Rapat Anggota Pengurus Persibaja, ditetapkan AD/ART 15 September 1952, memutuskan SVB/PSS dilebur ke dalam Persibaja. Stadion Tambaksari (kini Stadion Gelora 10 November), bekas markas SVB, ditetapkan sebagai markas Persibaja.
“Jika memang Persebaya diakui sebagai dua entitas yang saling berkaitan antara SVB dan SIVB, maka usia Persebaya sudah lebih dari satu abad,” ungkap Rojil dalam bukunya, Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia.
Prestasi dan Reputasi
Sejak berdirinya PSSI, SIVB berlaga di kompetisi Perserikatan. Rutinitas itu terhenti ketika pendudukan Jepang, di mana kompetisi sepakbola di seantero negeri mati suri. Baru dua tahun pasca-proklamasi Persibaja, dengan nama PORIS, kembali aktif.
Ketika kompetisi Perserikatan kembali bergulir, Persebaya jadi langganan juara. Tak heran bila tim-tim asing sering melirik Persebaya untuk beradu di lapangan. “Tim asing pertama tercatat yang melawan Persebaya, itu South China AA pada 1928 waktu namanya masih SIVB. Catatan dan riset saya sendiri, sudah 84 kali Persebaya melawan tim luar negeri. Beberapa di antaranya Stade de Reims (1956) dengan Raymond Kopa-nya, Ajax Amsterdam (Juni 1975), Feyenoord Rotterdam (1978), Santos (1972) dengan Pelé-nya, Rosario Central (1975) dengan Mario Kempes-nya,” sambung Dhion.
Namun, ketika kompetisi berganti jadi Liga Indonesia, prestasi Persebaya tak semoncer sebelumnya. Persebaya baru dua kali juara, musim 1996/1997 dan 2004.
Baca Juga: Tamu Istimewa Jagoan Eropa
Dalam perjalanannya, Persebaya pernah terbelah akibat dari dualisme persepakbolaan nasional. Akibatnya, pada musim 2009/2010 ada dua tim Bajul Ijo.
“Menurut saya, itu karena awalnya Persebaya didzalimi federasi (PSSI). Jadi saat harus bertanding lawan Persik Kediri, Persebaya-nya sudah siap tapi Persik-nya tidak. Harusnya kan itu di-WO (Walk Out). Tapi tiba-tiba WO-nya dicabut dan Persebaya harus tanding lagi. Tapi tiga kali penjadwalan ulang, Persebaya tidak hadir. Jadi malah Persebaya yang di-WO,” tambah Dhion.
Alhasil, Persebaya didegradasi ke Divisi Utama. Manajemen Persebaya di bawah PT Persebaya Indonesia (sejak 2009) tak terima dan membelot ke Liga Primer Indonesia (LPI), kompetisi tandingan Indonesian Super League (ISL) bikinan pengusaha Arifin Panigoro. Persebaya pun diganjar sanksi PSSI.
“Celah” itu dimanfaatkan politikus Wisnu Wardhana untuk mendirikan Persebaya tandingan, di bawah PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB). Akibatnya, Persebaya-nya PT Persebaya Indonesia mesti menggunakan nama Persebaya 1927. Namun, PT Persebaya Indonesia berhasil memenangkan legalitas nama Persebaya pada 2015 sehingga berhak memakai nama Persebaya.
Persebaya versi PT MMIB pun terpaksa mengganti nama menjadi Bonek FC, lalu Surabaya United (SU). Setelah merger dengan PS Polri pada 2016, SU berubah menjadi Bhayangkara FC hingga kini. Atas perjuangan manajemen dan sokongan Bonek, pendukung setia Persebaya, Persebaya kembali diakui PSSI dan mentas lagi di Liga Indonesia sejak 2017.
Baca juga:
Kiprah Tionghoa dalam Olahraga
Belajar dari Sepakbola Tionghoa
Persija dari Masa ke Masa
Gaung Maung di Pentas Sejarah