Persija dari Masa ke Masa
Ikut merintis pergerakan nasional lewat sepakbola sejak zaman Belanda dan mendirikan PSSI serta menjadi salah satu klub pencetak pilar timnas, prestasi Persija gagal menonjol pasca-Perserikatan.
EUFORIA menghinggapi Persija Jakarta. Setelah 17 tahun puasa gelar juara, "Macan Kemayoran" menjadi juara Piala Presiden, Sabtu (17/2/2018) lalu. Tiga gol pemain Persija di partai final menyudahi perlawanan Bali United.
“Macam Kemayoran” kembali menunjukkan raungannya. Sejak berdiri sembilan dekade silam, Persija sudah menahbiskan diri sebagai salahsatu klub terbesar di negeri yang dulu bernama Hindia Belanda. Persija bahkan merupakan satu dari sedikit klub yang ikut mendirikan PSSI.
Berdiri pada 28 November 1928, klub awalnya bernama Voetbalbond Boemipoetera (VBB). Pertikaian sejumlah pengurusnya kemudian membuat klub itu “cerai” dari Voetbalbond Batavia en Omstraken yang didukung pemerintah Hindia Belanda dan berganti nama jadi Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ) pada 30 Juni 1929. Menurut Suratkabar Pemandangan, 20 September 1938, VIJ didirikan dua tokoh sepakbola dari klub-klub lokal Jakarta yang sudah eksis lebih dulu, yakni Soeri (klub Setiaki) dan A. Alie Subrata (klub Setia Tuhu Enggone Rukun/STER).
VIJ bermarkas di Petojo. “VIJ memiliki lapangan sepakbola di Petojo, belakang bioskop Roxy, Jakarta Pusat. M Husni Thamrin turut berperan dan banyak mengeluarkan uang untuk membangun lapangan ini,” ungkap Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang. Thamrin, tokoh pergerakan dan anggota Gementeraad serta Volksraad, membantu 2000 gulden untuk membeli lahan yang dijadikan lapangan Laan Trivelli, Pulo Piun, Petojo itu. Lapangan itu dinamai Lapangan Kebon Singkong sebelum bertransformasi menjadi Stadion VIJ.
Dengan Thamrin sebagai pelindungnya, VIJ tak hanya menggeliat di lapangan namun juga di lorong pergerakan nasional. Bersama Bandoengsche Indonesia Voetbalbond (BIVB, kini Persib Bandung), Vortenlandsche Voetbalbond Sala (VVB Sala, kini Persis Solo), Persatuan Sepakbola Mataram (kini PSIM Yogyakarta), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM, kini PPSM Magelang), Madioensche Voetbalbond (MVB, kini PSM Madiun) dan Soerabajasche Indonesia Voetbalbond (SIVB, kini Persebaya), VIJ membidani lahirnya PSSI pada 19 April 1930 dengan ketua umum pertamanya Ir. Soeratin.
“Fakta sejarah menempatkan Persija dalam barisan perserikatan penggagas berdirinya PSSI yang getol melakukan perlawanan terhadap Belanda dan (kemudian) Jepang,” tulis Ario Yosia dalam Gue Persija.
Di lapangan, VIJ menjadi kampiun pertama Perserikatan, kompetisi antarklub amatir daerah yang digulirkan PSSI, musim 1930. VIJ mempertahankannya di musim 1933, 1934, hingga 1938 sebelum invasi Jepang.
Pada Mei 1942, VIJ terpaksa mengganti nama untuk menghindari pemberangusan penguasa militer Jepang terhadap segala hal berbau Belanda. Persidja, nama baru VIJ itu diambil dari terjemahan VIJ dalam bahasa Indonesia dengan ejaan di masa itu: Persatoean Sepakraga Indonesia Djakarta.
Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Persija, pemerintah menghadiahi klub itu “rumah” baru di Medan Merdeka Timur: Stadion Ikada. Dalam pidatonya di milad ke-30 Persija, 28 November 1958, Presiden Sukarno mengatakan, “Jika mula-mula Saudara-Saudara harus puas dengan lapangan di Pulo Piun, maka sekarang Saudara-Saudara sudah mempunyai lapangan di Merdeka Timur. Maka pesanku sekarang, tiada lain, ialah supaya Saudara-Saudara lebih giat lagi berjuang, menyusun, dan menyempurnakan organisasi Saudara-Saudara, dengan pedoman: Segala usaha harus untuk kebesaran Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, yang Saudara-Saudara turut memproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu!”
Namun, pada 1960 Bung Karno kembali merelokasi kandang Persija akibat pembangunan Monas. Markas Persija pindah ke Stadion Viosveld, kemudian ganti nama jadi Stadion Menteng, di Jalan HOS Tjokroaminoto.
Puluhan tahun menghuni Stadion Menteng, Persija akhirnya pindah ke Stadion Lebak Bulus akibat muncul rencana pengalihfungsian Stadion Menteng (Stadion Persija) menjadi taman. Sialnya, Stadion Lebak Bulus pun kemudian dirobohkan untuk dijadikan Depo Mass Rapid Transit (MRT).
Alhasil, Persija harus “menggelandang” ketika menjalani laga kandang. Setelah Stadion Manahan di Solo dan Stadion Patriot di Bekasi, Stadion Gelora Bung Karno kini jadi kandang sementara Persija.
Jersey kebanggaan klub yang sejak awal berwarna merah, ikut berubah pada 1997 semasa pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Bang Yos mengganti warna jersey jadi oranye kemerahan sesuai logo Pemerintah Provinsi DKI. Perubahan warna kembali terjadi pada 1998, menjadi oranye terang.
Baca juga:
Stadion GBK Kebakaran
Di Balik Pembangunan Stadion GBK
Sengkarut Sengketa Stadion Andi Mattalatta
Sementara, terus bertambahnya pendukung setia Persija membuat klub merasa perlu membuat wadah untuk mengorganisir mereka. Manajer Persija Diza Rasyid Ali lalu membentuk The Jackmania alias The Jak pada 1997. “The Jakmania mulai berdiri pada 19 Desember 1997. Markas dan sekretariatnya di Stadion Menteng (kini di Stadion Soemantri Brodjonegoro). Muhammad Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong didaulat menjadi ketua pertamanya,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara.
Sejak itu, salam The Jak berupa acungan telunjuk dan jempol membentuh huruf “J” mulai tenar. Inspirasinya digagas Edi Supatmo, Humas Persija.
Namun, soal prestasi Persija kurang bersuara sejak Kompetisi Perserikatan bubar. Di Liga Indonesia, Persija baru bisa juara pada 2001. Prestasi Persija justru lebih baik di level internasional: juara Ho Chi minh City Cup 1973, Brunei Invitation Cup 2000 dan 2001, dan terakhir BoostSportFix Super Cup di Malaysia 2018.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar