ALIH-ALIH dapat hormat dari biduan, mandor satu ini malah bernasib malang. Kemalangannya justru terjadi pada hari Valentine 14 Februari 1928. Bukan dianiaya orang tak dikenal, melainkan dianiya orang dari keluarga yang cukup terkenal di tempat tinggalnya.
Mandor itu bernama Solman bin Haji Demang. Deli Courant (edisi 4 November 1930) dan Algeemene Handelsblad (23 Oktober 1930) mengabarkan, mandor itu tinggal di Tenggarong (kini Kabupaten Kutai Kartanegara) yang di zaman Hindia Belanda adalah bagian Kesultanan Kutai. Sultan Kutai kala itu adalah Sultan Aji Muhamad Parikesit. Solman dianiaya hingga kakinya patah. Konon, mandor ini bermusuhan dengan keluarga Sultan.
Kejadian itu menurut Mandor Solman bermula ketika dirinya sedang mencari kuli angkut perahu untuk majikannya malam itu. Kebetulan Solman punya kenalan di dekat rumah Raden Soedjono. Beberapa orang kemudian datang ke tempat Solman berada, termasuk sultan dan beberapa kepala desa. Mereka langsung mengeroyok dan memukuli Solman.
Soerabaijasch Handelsblad tanggal 18 Oktober 1930 menyebutkan, dalam kejadian pada 14 Februari 1928 itu Mandor Solman selain dianiaya dengan cara ditendang dan ditinju, dipukul pula dengan tongkat. Salah satu dari mereka bahkan ada yang ingin menambahkan pukulan dengan kayu tapi ditahan.
“Kamu akan mati malam ini. Jika aku bertemu denganmu kemarin, kamu pasti sudah terbunuh,” kata Bambang Djanidin, orang itu, pada malam kejadian.
Solman tak hanya terluka tapi juga tulang kering kaki kirinya patah. Akibatnya, dia tak bisa bekerja karena harus istirahat 4 bulan lamanya.
Beberapa orang, yang ternyata empat bangsawan Kutai, pun diperiksa terkait penganiayaan itu. Mereka adalah Aji Muhammad gelar Pangeran Soemantri, umur 47 tahun, saudara Sultan Kutei; Aji Adin Raden Joedopernoto, umur 24 tahun, putra sultan Kutei sebelum Sultan Pariksit yang menjadi semacam camat Kotta Bangoen; Adji Bambang Mohamad Saleh, 30 tahun, dan pedagang bernama Said Umar bin Jahaja, keduanya juga kerabat sultan Kutai.
Dalam pemeriksaannya, Pangeran Soemantri mengaku sedang pergi memancing pada malam kejadian perkara itu. Kemudian dia dapat kabar dari Raden Joedopernoto bahwa ada narapidana kabur dari penjara. Setelahnya Raden Joedopernoto mencari bala bantuan. Soemantri sempat mengaku bahwa dia mengejar ke bawah kolong sebuah rumah dan terlibat perkelahian dengan yang katanya kabur pada malam gelap itu di halaman rumah Raden Soedjono. Dalam peristiwa itu, Joedopernoto juga membawa mandau (parang khas Dayak). Namun belakangan, Pangeran Soemantri mengaku tidak memukul Solman, dia mengaku hanya menahan Solman.
Ada kesan para terperiksa itu seolah hendak cuci-tangan. Hingga di pengadilan kemudian Mr Kruseman memperingatkan Pangeran Soemantri untuk jujur. Ketika ditanya Jaksa Penuntut Umum soal apa yang dilakukan Solman di kolong rumah, itu pun tak bisa dijawab dengan jelas oleh para terperiksa.
Para tersangka yang bangsawan itu lalu dinyatakan bersalah. Pangeran Soemantri mulanya dituntut vonis tiga bulan kurungan penjara; Joedopernoto dan Aji Bambang Saleh dihukum 2 bulan penjara dan terberat adalah Said Oemar bin Jahja yang dapat hukuman 4 bulan penjara.
Hukuman pada mereka dijatuhkan di Raad van Justitie Surabaya pada hari Kamis, 6 November 1930. Koran De Sumtra Post tanggal 7 November 1930 menyebut Pangeran Soematri, Joedopernoto, dan Aji Bambang diganjar hukuman satu bulan penjara dan denda paling banyak 200 gulden. Sementara, Said Omar dibebaskan dari tuntutan dalam arti, hukuman lebiih ringan dari tuntutan.