MALAM 19 Agustus 1927, Kopral Kasmin dapat giliran jaga malam di tangsinya di Keresidenan Semarang. Ketika berjaga itu, Kasmin tiba-tiba didatangi seorang sipil. Orang ini mengaku katanya ingin jadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandch Indische Leger (KNIL), seperti Kasmin, namun tak punya surat atau dokumen penting lain seperti surat pengantar dari kepala desa, yang biasa dipakai untuk teekensoldij masuk tentara. Orang tersebut sangat berharap kepada Kasmin agar mau membantunya. Dia menyodorkan uang kertas 20 gulden.
“Apakah ini baik-baik saja?” kata orang itu kepada Kopral Kasmin tulis Raden Soeprono dalam R Soeprono: Selangkah Tapak Tiga Zaman.
Uang “terimakasih” itu tidaklah kecil jumlahnya. Antara 1930 hingga 1942, harga satu gram emas sekitar 1,5 hingga 2 gulden. Jika harga emas pada 1927 masih 1,5 gulden, dengan uang 20 gulden itu Kasmin bisa membeli 13 gram emas.
Namun, 20 gulden itu tak menyilaukan Kopral Kasmin. Kasmin justru agak kesal disodori uang hingga kemudian dia mencengkram kerah baju si tamu yang hendak menyuap itu. Kasmin lalu mengikat orang itu lalu membawanya ke penjaga lain.
Koran De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 22 Agustus 1927 memberitakan, orang itu membawa uang sebesar 650 gulden. Setelah diselidiki, orang tersebut ternyata adalah Doelmanan.
Doelmanan yang ditangkap Kasmin itu adalah Doelmanan yang dicap sebagai biang onar di tahun 1927 itu. De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 7 Februari 1927 menyebut bahwa pada awal 1927 Doelmanan bersekutu dengan Tasmoen asal Nganjuk dalam membuat onar. Tiap kepala keduanya sampai dihargai 800 gulden oleh penguasa kolonial setelah Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 pecah.
Usai pemberontakan gagal itu, banyak anggota PKI yang terlibat ditangkapi. Mereka lalu dibuang ke Boven Digoel, Papua. Namun Doelmanan berhasil menghindari penangkapan sehingga masih bisa bergerak selama berbulan-bulan.
Rupanya, Doelmanan berjejaring dengan orang militer juga, tak hanya dengan orang-orang sipil yang kebanyakan simpatisan PKI. Deli Courant tanggal 9 September 1927 memberitakan bahwa Doelmann sempat bertemu dengan Tombeng dan Woentoe pada 14 Juli 1927. Keduanya adalah anggota Batalyon Infanteri ke-15 KNIL di Bandung.
Wontoe merupakan serdadu petualang. Pada 15 Juli, dia sudah pindah ke Solo. Namun pada malam 17 Juli sudah di Bandung lagi dan mengadakan gerakan bersama serdadu-serdadu KNIL Manado namun gagal. Mereka pun jadi bahan kejaran aparat hukum. Woentoe tertangkap dalam keadaan terluka. Kelompok Woentoe tampaknya ingin mengobarkan perlawanan di Jawa, namun gagal.
Woentoe yang gagal menghasut anggota militer untuk berontak kemudian diberi vonis mati, namun vonis itu dibatalkan dan diganti hukuman 10 tahun penjara.
Kegagalan mereka membuat Doelmanan harus mencari tempat berlindung. Doelmanan menganggap KNIL sembagai institusi adalah tempat bagus untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Bila berhasil bergabung, dia bisa memakai nama alias untuk menghilangkan jejak. Namun lantaran tak bisa punya surat resmi untuk syarat masuk, Doelmanan mencoba jalur belakang dengan menyogok. Nahas, dia salah menyogok orang.
Doelmanan lalu menjadi tahanan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Di sana, mereka akan lebih sulit membuat keonaran seperti di Jawa dan terpenjara oleh sepinya hutan Papua yang di era 1920-an itu masih lebat dan mengerikan.
Sementara, setelah menolak sogokan 20 gulden, Kopral Kasmin menyeret penyuapnya ke aparat keamanan. Kasmin kemudian diberi hadiah uang cukup besar, yang mana jika dia mau bisa untuk membeli emas lebih dari 60 gram.
“Kopral Kasmin hari ini diberi hadiah berupa premi f100,-,” demikian Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 20 Agustus 1927 memberitakan.