PASCA-pemberontakan yang gagal di Madiun, sejumlah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) diringkus tentara. Beberapa di antara mereka dieksekusi mati. Musso sang pemimpin pemberontakan ditembak langsung dalam suatu operasi pengejaran. Sementara itu, Amir Sjarifuddin bersama 10 petinggi PKI lainnya dieksekusi mati pada akhir 1948.
“Muso tewas dalam pertempuran dengan pasukan Mobrig, yang dipimpin Jenderal Jasin. Sebelumnya, 29 Oktober, Djokosujono dan Maruto Darusman tertangkap, dan tanggal 31 Oktober itu, Amir Sjarifuddin serta Soeripno ditangkap juga. Mereka dihukum mati,” catat Abu Hanifah dalam kumpulan tulisan di jurnal Prisma, Agustus 1977.
Alimin Prawirodihardjo, salah satu tokoh senior PKI, juga berkali-kali diberitakan termasuk yang ikut dieksekusi. Berita Indonesia, 4 November 1948, mengutip dari Antara menyebut Alimin telah ditembak mati pada 2 November 1948. Berita itu dikutip dan dimuat dalam berbagai suratkabar.
Baca juga: Jenderal Nasution: PKI Bukan Musuh Kita Lagi
Berita kematian Alimin sempat mendatangkan protes dari luar negeri. Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Pemberontakan PKI mencatat, kabar kematian Alimin menimbulkan kegusaran di kalangan kaum komunis di luar negeri, seperti dari Partai Komunis Belanda maupun kelompok pro komunis di Inggris terhadap pemerintah Republik dan Sukarno-Hatta. Belakangan, kabar yang mengatakan Alimin ditembak mati justru diragukan kesahihannya. Suratkabar pun memuat berita sanggahan seputar kematian Alimin.
Menurut Warta Indonesia, 9 November 1948, Alimin dibawa dari Yogyakarta ke Solo. Pemindahan Alimin sehubungan dengan Pengadilan Daerah Solo yang ingin memeriksa dan menuntut perkara Alimin. Dengan itu, maka dipastikan Alimin belum mati.
“Alimin belum mati? Kabar-kabar yang kita terima mengatakan bahwa pemimpin partai komunis Alimin yang baru-baru ini telah digantung mati, rupanya pada waktu ini masih hidup dan berada di Solo,” sebut Warta Indonesia.
Baca juga: D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Tertutup
Harian asal Medan, Waspada, juga turut mengklarifikasi kabar tentang kematian Alimin yang telah mereka beritakan. Mengutip keterangan jurubicara Kementerian Pertahanan, Waspada menyebutkan Alimin dihadapkan ke pengadilan militer di Wonogiri. “Maka untuk menghindarkan salah faham, diterangkan bahwa ini tidak berarti Alimin sudah dijatuhkan hukuman,” lansir Waspada, 10 November 1948.
“Berita tentang kematian Alimin sengaja kita tak turut menyiarkannya karena kesangsian kita pada kebenarannya. Ringkasnya, yang disiarkan oleh Waspada beberapa hari yang lalu cuma tentang ia diadili secara kemiliteran, sebab hal yang sebetulnya pun tidak lebih dari itu,” demikian keterangan tambahan redaksi Waspada.
Francisca Fanggidaej, aktivis Keputrian Pesindo yang dicurigai berafiliasi dengan PKI, dalam memoarnya menyebut dirinya bersama Alimin turut ditahan setelah Peristiwa Madiun. Mereka ditahan dalam rumah penjara tua di Gladak, Yogyakarta. Francisca sendiri saat itu dalam keadaan mengandung. Meskipun dalam keadaan diborgol, Francisca yakin dirinya dan Alimin tidak termasuk dalam kelompok yang akan ditembak mati. Namun, untuk alasan keamanan, mereka perlu dipindahkan keluar Yogyakarta ke tempat lain yang tidak diduduki Belanda.
Baca juga: Francisca Fanggidaej, Perempuan Pejuang yang Terbuang
“Aku sebenarnya hanya percaya pada firasatku sendiri, bahwa aku dan Pak Alimin tidak mungkin akan dibunuh. Pak Alimin sudah tua, dan aku tawanan perempuan yang dalam keadaan hamil. Kami dibebaskan oleh Bung Fatkur bersama beberapa pemuda Pesindo dan kawan-kawannya,” kenang Francisa dalam Memoar Perempuan Revolusioner.
Sementara itu, sejarawan Harry Poeze dalam penelitiannya menyebutkan Alimin diselamatkan oleh komandan Polisi Militer yang datang untuk meminjam Alimin untuk diperiksa di Solo. “Tindakannya itu dilakukan atas perintah tegas Hatta, yang hendak mengajukan Alimin ke pengadilan. Ia ingin menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa Republik adalah negara hukum,” catat Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.
Alimin kemudian, seperti ditulis Poeze, ikut bergerak dalam menghadapi Belanda di Wonogiri, kemudian Solo. Sebagai tokoh partai berpengalaman dalam organisasi massa, Alimin menyelenggarakan kursus kader desa dengan membentuk Gerakan Rakyat Anti Penjajahan (GRAP). Dari kegiatan ini, di tiap-tiap kampung terdapat satu kelompok sel PKI.
Baca juga: Ketika PKI Lawan Agresi Belanda
Dalam masa peralihan menuju pengakuan kedaulatan, Alimin cukup berperan membangun kembali citra PKI yang sempat rusak setelah bikin geger di Madiun. Siswoyo, tokoh PKI Solo, dalam memoarnya Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri mencatat bagaimana Alimin tampil mewakili CC PKI bernegosiasi dengan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk memulihkan PKI berikut kader-kadernya dalam parlemen. Lobi-lobi antara Alimin dan Sri Sultan berlangsung hangat dan akrab. Alimin bahkan memberikan buku Das Capital karya Karl Marx yang diminta oleh Sri Sultan.
Setelah adanya jaminan pemerintah, Alimin tak menyia-nyiakan kesempatan. Publikasi tentang sepak terjang Alimin menghidupkan PKI setelah sempat dirumorkan telah dieksekusi mati datang dari koran Sin Po. “Berkali-kali dikabarkan meninggal, Si jago tua PKI muncul,” lansir Sin Po, 16 September 1949, merujuk pada sosok Alimin.
Pada 1950-an, ketokohan Alimin terpinggirkan menyusul tampilnya triumvirat Aidit, Lukman, dan Njoto sebagai pimpinan baru PKI. Memasuki paruh kedua 1950, Alimin karena alasan kesehatan dan usia menyatakan mundur dari PKI. Si jago tua PKI itu akhirnya wafat pada 26 Juni 1964 dalam usia 75 tahun. Alimin menjadi satu-satunya orang komunis yang dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Baca juga: Membongkar Sejarah Makam Kalibata