SEBUAH tugas berat datang padanya pada 1966: membela Letnan Kolonel Untung bin Sjamsuri. Semua tahu, pada 30 September 1965 Untung memimpin gerakan yang menculik dan membunuh pucuk pimpinan Angkatan Darat (AD). Bagi para jenderal AD, yang kian berkuasa selepas G30S, Untung yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah penjahat besar yang harus dihukum berat.
Mr. Gumuljo Wreksoatmodjo (1912-1996), orang yang diminta membela Untung, menerima tugas berat yang tak menyenangkan itu meski posisi dan citranya menjadi sulit. Terlebih dia anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang satu kubu dengan PKI. Mr. Gumuljo tentu saja rawan dicap sebagai antek PKI.
Mr. Gumuljo, menurut Orang-orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, adalah ahli hukum lulusan Recht School (sekolah hukum) Batavia tahun 1939. Dia pernah menjadi wakil ketua Pengurus Besar Indonesia Muda di masa kolonial. Pria kelahiran Solo, 27 Februari 1912 ini pada 1940 hingga 1942 menjadi pegawai negeri di Surabaya dan pada zaman Jepang dia ditempatkan di Surabaya juga. Pada 1956, menurut koran Merdeka tanggal 7 April 1956, Mr. Gumuljo menjabat sebagai direktur NV Bank Timur di Semarang.
Baca juga: Mayor Untung Sjamsuri di Palagan Irian Barat
Pengalamannya tentu membuat Mr. Gumuljo tak ciut nyali dalam membela Untung di Mahkamah MIliter Luar Biasa (Mahmillub) yang diadakan di Gedung Bappenas, Jakarta. Mr. Gumuljo satu kata dengan Untung bahwa Gerakan 30 September 1965 yang dipimpinnya adalah untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari kup Dewan Jenderal. Seperti pengacara lain di persidangan, Mr. Gumuljo juga meminta agar Untung dibebaskan dari tuduhan melakukan permufakatan jahat.
“Terdakwa Untung telah terpelanting ke dalam kawah Candradimuka (suatu kawah dalam cerita wayang tempat menggodok para ksatria) dan saya (Pembela) berusaha menemukan Wijayakesuma (dalam cerita wayang bunga untuk memberi hidup panjang) untuk memimpin Untung kembali,” kata Mr. Gumuljo dalam eksepsinya, seperti dikabarkan koran Angkatan Bersenjata tanggal 24 Februari 1966.
Tentu saja eksepsi itu ditertawakan sebagian pengunjung sidang. Kala itu, Mahmillub bekerja cepat untuk menghukum para pelaku G30S dan orang-orang yang dicap tokoh PKI, yang di antaranya digiring ke vonis mati.
Baca juga: Perjuangan Untung Sjamsuri Membela RI
Mr. Gumuljo, yang ahli hukum dan dulunya terkait dengan pergerakan nasional, melihat Mahmillub cenderung bertentangan dengan Presiden Sukarno.
“Apakah Mahmillub tunduk pada Bung Karno ataukah tunduk pada golongan yang menjegal Presiden?” tanya Mr. Gumuljo, yang tentu harus menahan perasaan ditertawakan banyak orang di pengadilan.
Bukan hanya ditertawakan, koran Angkatan Bersenjata tanggal 5 Maret 1966 juga menyindir Mr. Gumuljo dengan menyebut dia hendak mendongkel Mahmillub.
Ketika Mr. Gumuljo bilang tidak mempunyai gambaran jelas tentang prolog G30S, ada peserta sidang menyindir, “lha, kalo gitu kenapa jadi pembela?”
Baca juga: Sekamar dengan Letkol Untung Sjamsuri
Mr. Gumuljo termasuk orang yang keberatan jika Letkol Untung disidangkan di Mahmillub. Sikapnya itu lagi-lagi mendapat balasan tertawaan dari para peserta sidang.
Mr. Gumuljo hanya bisa berusaha, sementara Mahmillub punya kehendak lewat vonisnya kepada Untung. Vonis untuk Untung tentu bisa ditebak dari awal: mati. Setelah vonis dan banding yang diajukan Mr. Gumuljo ditolak, maka tugas tak menyenangkan itu pun telah ditunaikannya.
Amnesty International Newsletter Vol. III No. 4 April 1973 menyebut Mr. Gumuljo kemudian ditangkap pada 1966 karena menjadi tokoh HSI yang dekat dengan PKI. Faktanya, semasa menjadi tokoh HSI dia juga anggota Partai Nahdlatul Ulama yang berseberangan dengan PKI.*
Baca juga: Rekaman Sidang Letkol Untung Sjamsuri di Mahmillub