Masuk Daftar
My Getplus

Setelah Rohayan Menembak Soeprapto

Dia terlibat G30S dan kemudian dihukum mati. Di masa penantiannya Tjakra muda ini kena diabetes.

Oleh: Petrik Matanasi | 23 Okt 2023
Adegan Jenderal Soeprapto menghadapi pasukan yang akan menculiknya di kediamannya dalam film "Pengkhianatan G30S/PKI" (Tangkapan layar "Pengkhianatan G30S/PKI")

Tanpa disangka-sangka banyak tahanan di Penjara Cipinang, pada 15 Februari 1990, Yohannes Surono, Paulus Satar Suryanto, Simon Petrus Solaiman, dan Norbertus Rohayan diambil dari sel mereka. Mereka dibawa ke tempat lain untuk dieksekusi.

Mereka semua merupakan tahanan politik (tapol) 1965 eks prajurit Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno, yang terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Peran mereka hampir sama, menculik jenderal-jenderal Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) untuk dihadapkan ke presiden lantaran para jenderal itu diduga menjadi anggota Dewan Jenderal yang akan mengkudeta Presiden Sukarno.   

Dari keempat tahanan eks Tjakra yang diambil itu, Rohayan menjadi satu-satunya yang sudah bertemu dengan keluarga. Dia sempat bertemu pamannya yang menjenguknya di Penjara Cipinang.

Advertising
Advertising

Rohayan masih muda usianya ketika menculik para jenderal sebab dia lahir sekitar tahun 1940. Pangkatnya masih Prajurit Satu. Namanya kadang ditulis sebagai Nur Rahayan, Norhayan, Nurchajan, ataupun Noor Rachoyan. Terkahir, setelah mendekam di Cipinang, ia bernama Norbertus Rohayan.

Tidak banyak informasi mengenai dirinya dan tamtama pada umumnya. Pun bagaimana peran pentingnya dalam upaya penculikan para jenderal pada dinihari 1 Oktober 1965. Dia lebih sering disebut-sebut sebagai penembak Deputi II Men/Pangad Mayor Jenderal Raden Soeprapto.

“Soeprapto ditembak bagian punggung oleh Prajurit Satu Nurchajan (Rohayan) saat berdiri di tepi sumur,” catat Ruth McVey dan Ben Anderson dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal.

Nasib Rohayan seketika berbalik 180 derajat usai peristiwa penculikan itu meski dia sebetulnya hanya menjalankan perintah atasan. Sempat menjadi buruan aparat anti G30S, dia ditangkap tak lama setelah kejadian. Laporan Amnesty International Juli 1987 menyebut. Rohayan tertangkap pada 5 Oktober 1965. Empat tahun kemudian,  8 Oktober 1969, Rohayan dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer Jakarta.

Selama menunggu eksekusi, Rohayan ditahan di Cipinang. Sebagai pelaku G30S tentu dia termasuk yang tegang tiap menjelang September.

“Biasanya menjelang 30 September, karena kebiasaan dulu, Soeharto eksekusi,” ujar  Fauzi Isman, seorang tahanan politik Talangsari.  

Selain ketegangan akan eksekusi mati, Rohayan yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di dalam penjara itu juga digerogoti penyakit. Menurut Laporan Amnesty International, ketika di Penjara Cipinang itu dia menderita diabetes.

Toh “nasi sudah menjadi bubur”. Rohayan bersama eks Serma Satar, Buang, Surono, Bungkus, dan Soleman pada bulan-bulan menegangkan itu hanya bisa berusaha tenang menghadapi keadaan yang menimpa. Mendekatkan diri kepada Tuhan tentu menjadi pilihan paling tepat di dalam Penjara Cipinang.

Lantaran rohaniawan Kristen jauh lebih memperhatikan mereka ketimbang kelompok Islam, yang menurut tahanan politik kasus 27 Juli 1996 umumnya hanya bisa menghujat, banyak pelaku G30S itu kemudian memilih pindah agama jadi Kristen dari yang semula Islam. Termasuk Rohayan, eks Serma Satar, Buang, Surono, Bungkus, dan Soleman pada tahun 1990. Masing-masing punya nama baptis. Rohayan sendiri punya nama depan (baptis) Norbertus.

Di dalam penjara, menurut Wilson dan Fauzi, umumnya tahanan politik bisa hidup berdampingan kendati berbeda-beda latar belakang aliran politik. Mereka saling tolong-menolong di dalam penjara. Mereka semua akhirnya merasa dalam posisi sebagai musuh bersama daripada Soeharto.

Beberapa hari menjelang pertengahan Februari 1990, Rohayan mendapat “hadiah”. Salah seorang pamannya menjenguknya di Cipinang. Buat tapol ’65 seperti dirinya, kunjungan keluarga merupakan salah satu “obat” paling berharga.

Namun kunjungan itu menjadi perpisahan Rohayan dengan sang paman. Sebab, pada 15 Februari 1990, Rohayan dan tiga tapol ’65 lain diambil dari sel mereka untuk dihadapkan ke regu tembak. Mereka bakal menyusul rekan mereka, bekas Prajurit Athanasius Buang, yang sudah meninggal dunia secara misterius sekitar September 1989.

Ketika keempat bekas Tjakra itu dieksekusi, pemerintah Orde Baru sudah diawasi dunia internasional lantaran sikap rezim Soeharto itu kepada para tapol. Kematian Rohayan dkk. pun membuat gusar dunia internasional. Akhirnya eks Serma Boengkoes, komandan peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan Tjakrabirawa yang bertugas memimpin penculikan Mayjen MT Haryono, menjadi bekas Tjakra yang tersisa di Penjara Cipinang.

TAG

g30s tjakrabirawa r soeprapto orde-baru lubang buaya

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah PPP Partai Islam Impian Orde Baru Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Waktu Junta Suardi Diperiksa Mukidjan Bukan Tjakra Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno* Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S