Masuk Daftar
My Getplus

PPP Partai Islam Impian Orde Baru

Partai gabungan dari partai-partai Islam yang lahir zaman Orde Baru ini tak memakai "Islam" di namanya. Ada campur tangan penguasa.

Oleh: Petrik Matanasi | 21 Mar 2024
KH Masjkur, salah satu pentolan PPP yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru (Perpusnas RI)

Pemilu 2024 telah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan hasil rekapitulasi Pemilu 2024 kemarin, 20 Maret 2024.

Ada hal yang mengejutkan dari pengumuman kemarin. Salah satunya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal lolos ke Senayan. Partai berlambang Ka’bah itu hanya mendapat 3,8 persen suara. Padahal, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan 4 persen untuk bisa ke Senayan.  

Hasil tersebut tentu menjadi sejarah kelam bagi PPP. Sebagai salah satu partai tertua dalam Pemilu 2024, baru sekarang ini PPP merasakan tak masuk parlemen.

Advertising
Advertising

PPP merupakan partai politik (parpol) pertama yang berdiri di masa Orde Baru (Orba) yang masih bertahan hingga kini. Pembentukannya merupakan bagian dari kebijakan penyerderhanaan parpol yang dikeluarkan rezim tersebut usai Pemilu 1971.

Adalah Mayor Jenderal Ali Moertopo, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto bidang politik, yang dianggap sebagai biang kerok peleburan partai-partai menjadi hanya satu partai nasionalis dan satu pertai Islam plus satu golongan karya di Indonesia. Kendati begitu, sejatinya penyederhanaan partai merupakan impian Presiden Soeharto yang amat mendambakan kestabilan sebagai fondasi pembangunan ekonomi yang jadi prioritas pemerintahannya. Adanya banyak partai, dalam pandangan Soeharto hanya akan menimbulkan banyak perdebatan. Dengan sendirinya itu menghambat laju pembangunan nasional yang hendak dikebut. Oleh karenanya, partai mesti disederhanakan.

“Kemacetan yang biasa terjadi sebenarnya adalah disebabkan oleh pengaruh ideologi lain yang masih dianutnya. Yang kita alami misalnya pengelompokan partai-partai setelah pemilu tahun 1971 dan pembentukan fraksi-fraksi di DPR dan MPR hasil pemilu ’71. Walaupun penyederhanaan partai pada pemilu tahun ’71 belum berhasil, prinsip-prinsip penyederhanaan telah tercapai. Dengan demikian, maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai ditambah satu kelompok dari Golongan Karya,” aku Soeharto dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan KH, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Sebagai upaya pewujudan dari kebijakan fusi tersebut, partai-partai Islam yang ikut Pemilu 1971 berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Kelima partai itu ialah NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

Penamaan PPP terhadap partai hasil fusi lima partai Islam itu, kata sarjana Australia David Reeve, jelas merugikan. Tanpa embel-embel “Islam”, PPP jelas tidak menjual di kalangan muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia.

“Sebuah nama tanpa arti yang tidak menunjukan orientasi umum partai-partai ini, yakni Islam,” catat David Reeve dalam Golkar: Sejarah Yang Hilang.

Penamaan PPP jelas tak lepas dari peran Soeharto sebagai penentu semuanya di era Orba. Sebelum PPP terbentuk, ada sebuah pertemuan antara Soeharto dengan para wakil partai Islam di Istana Merdeka. Di situlah Soeharto mewanti-wanti soal penggunaan nama Islam di dalam partai baru mereka.

“Pihak Islam memang memilih yang spiritual-materiel. Tetapi toh juga saya tekankan, jangan menonjolkan agamanya, Islamnya. Dari sejak semula sudah saya peringatkan hal ini. Karena itu, namanya pun tidaklah menyebut-nyebut Islam, melainkan Partai Persatuan Pembangunan, dengan program spiritual-materiel,” aku Soeharto.   

Para politisi Islam itu pun menuruti Soeharto. Meski begitu, PPP memakai lambang Ka’bah. Awalnya PPP tidak seperti yang diharapkan lawan-lawannya. Di beberapa daerah yang basis Islamnya kuat, PPP sulit dikalahkan.

“PPP menang di beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Aceh, Kalimantan dan Madura. Ridwan Saidi berhasil menjadi anggota legislatif dari PPP pada tahun 1977,” catat Chamal Hamid dalam Biografi Politikus dan Budayawan Ridwan Saidi.

Kemenangan PPP di ibukota dianggap telah menakuti lawan politiknya yang kuat. Setelah 1977, Djaelani Naro menjadi ketua umum PPP periode 1978-1988.

“Setelah Djaelani Naro memegang tampuk kepemimpinan PPP pada tahun 1978, keadaan para politikus NU dalam partai ini memburuk. Memang hal inilah yang dikehendaki oleh Soeharto,” catat Greg Barton dalam Biografi Gus Dur.

Kursi PPP untuk orang-orang NU dikurangi di zaman Naro. Konon, Naro adalah “orangnya” Ali Moertopo. Akibatnya, dalam Pemilu 1982, PPP menjadi merosot perolehan suaranya.

Kendati naik-turun, perolehan suara PPP cenderung selalu turun persentasenya dari pemilu ke pemilu. Bila di tahun 1970-an perolehan suara PPP selalu di atas 25 persen, suara PPP tak pernah mencapai 20 persen lagi sejak 1980-an (kecuali di Pemilu 1997, dengan  22,43 persen akibat adanya Mega-Bintang) hingga Orba tumbang. Setelah Reformasi, yang dibuka dengan 10,7 persen suara di Pemilu 1999, perolehan suara PPP konsisten berada di bawah 10 persen. Puncaknya, di Pemilu 2024 ini PPP hanya meraup 3,8 persen suara, menjadikannya gagal masuk Senayan untuk pertama kali.

TAG

partai politik ppp orde-baru pemilu reformasi

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Gambar Partai Dilumuri Tahi Lika-liku Quick Count yang Krusial Serba-serbi Politik Gentong Babi