SETELAH mencabut TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1966 yang memberhentikan Sukarno dari jabatannya sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali mencabut TAP MPR terkait pengakhiran kekuasaan eksekutif dua presiden lain, yakni Soeharto dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Hal itu diungkapkan Ketua MPR Bambang Soesatyo.
“Menegaskan Ketetapan MPR Nomor II/MPR 2001, tentang pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi,” kata Bambang, dikutip kompas.com, 25 September 2024.
Gus Dur sendiri merupakan presiden pertama hasil pemilihan setelah Reformasi. Adapun presiden sebelumnya, BJ Habibie, naik menjadi presiden saat menjabat sebagai wakil presiden. Habibi menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri di tengah jalan.
Dari hasil Pemilihan Umum 1999 yang –pertama setelah Orde Baru tumbang– diadakan Presiden BJ Habibie, terpilihlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR yang diketuai Amin Rais pada 20 Oktober 1999 memilih presiden dan wakil presiden baru. Gus Dur yang memperoleh 373 suara pun menjadi presiden RI ke-4 sedangkan Megawati Soekarnoputri yang mendapat 313 suara menjadi menjadi wakil presiden.
Gus Dur dengan berani menyusun kabinetnya yang menteri-menterinya orang non-partisan dan tidak anggota Golongan Karya (Golkar). Banyak anggota kabinetnya itu membuat gebrakan. Salah satunya Jaksa Agung Baharuddin Lopa, yang memeriksa beberapa politisi di DPR yang dianggap terlibat kasus korupsi seperti Akbar Tandjung atau Arifin Panigoro. Upaya tersebut tentu membuat DPR meradang kepada presiden.
“Komisi II DPR, bahkan memanggil Jaksa Agung untuk menjelaskan tindakan tersebut dalam forum raker,” tulis Virdika Rizky Utama dalam Menjerat Gus Dur Mengungkap Rencana Penggulingan Gus Dur.
Hubungan Gus Dur dengan MPR/DPR yang tidak akur terus berkepanjangan. Saling serang terjadi.
“Gus Dur berani mengatakan bahwa anggota Dewan –yang gaduh itu– tak ubahnya kumpulan anak-anak Taman Kanak-kanak (TK),” kata Andi Mappetahang Fatwa dalam Dari Cipinang ke Senayan: Catatan Gerakan Reformasi dan Aktivitas Legislatif hingga ST MPR 2002.
MPR/DPR membuat pemerintahan Gus Dur tidak stabil. MPR/DPR kemudian berusaha mengadakan sidang istimewa MPR.
Gus Dur tak tinggal diam. Dia pernah minta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyatakan keadaan darurat. Namun permintaan itu ditolak SBY hingga Gus Dur memecatnya pada 1 Juli 2001.
Menanggapi Ketua MPR Amien Rais yang berusaha memajukan sidang pada 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001. Isinya: pertama, membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tidakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dalam waktu 1 (satu) tahun; ketiga, menyelamatkan gerakan Reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu Keputusan Mahkamah Agung.
MPR/DPR yang tak berkerja dengan baik untuk perbaikan ekonomi tentu tak rela mengembalikan kedaulatannya ke tangan rakyat dan menganggap Dekrit Gus Dur tidak sesuai konstitusi. Pembekuan Golkar yang dimaksudkan Gus Dur untuk penyelamatan Reformasi itu tak pernah terjadi. Mereka lalu menghelat Sidang Istimewa. Hasilnya adalah, Ketetapan MPR nomor I/MPR/2001 tentang sikap MPR RI terhadap maklumat Presdein RI 23 Juli 2001.
Selain Tap MPR tersebut, pada hari yang saya dibuat pula TAP MPR nomor II/MPR/2001. Jika yang nomor satu menolak dekrit atau maklumat Presiden Gus Dur, yang nomor dua adalah pukulan balik terhadap Gus Dur.
“Ketidakhadiran dan penolakan Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001, sungguh-sungguh melanggar haluan negara,” kata pasal 1 TAP MPR nomor II/MPR/2001. Lalu, pasal 2 menyatakan, “Memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia.”
Setelah itu, Gus Dur pun terguling dari kekuasaannya. Dia meninggalkan Istana Merdeka dengan hanya mengenakan singlet dan celana kolor. MPR/DPR menang.
Jauh setelah Gus Dur terjungkal, Virdika Rizky Utama menemukan arsip berisi skenario penggulangan Gus Dur yang dirancang Fuad Bawazier di kantor Golkar. Penggulingan Gus Dur rupanya direncakan para elite politik di tahun 1999 itu.
Kini, lebih 20 tahun sejak Gus Dur keluar dari istana, nama baik Gus Dur dipulihkan. TAP MPR nomor II/MPR/2001 yang menyudutkan Gus Dur telah dicabut.