Masuk Daftar
My Getplus

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat

Delapan akademisi mencurahkan harapan dan usulan rekomendasi untuk keadilan Pemilu. Mengingatkan spirit para pendiri bangsa dan perjuangan Reformasi 1998.

Oleh: Randy Wirayudha | 19 Apr 2024
Para hakim MK dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2024 (X @officialMKRI)

MENYONGSONG keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa proses dan hasil pemilu, khususnya pemilihan presiden (Pilpres) 2024, sembilan akademisi angkat bicara. Mereka menyuarakan segudang kekhawatiran hingga harapan dalam forum Mahkamah Rakyat: Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu.

Kesempatan itu dihelat Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah dan Public Virtue Research Institute secara hybrid. Baik itu secara daring via kanal Youtube LHKP PP Muhammadiyah maupun secara luring di kantor PP Muhammadiyah Jakarta dan Yogyakarta, Jumat (19/4/2024) atau sehari sebelum jadwal putusan MK.

Mahkamah Rakyat tersebut dihadiri delapan tokoh akademisi yang selama ini memiliki keprihatinan akan dugaan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam Pilpres 2024: Dr. Busyro Muqoddas (pengajar hukum dan HAM PP Muhammadiyah), Prof. Zainal Arifin Mochtar (guru besar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada), Prof. Fathul Wahid (Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), Prof. Sulistyowati Irianto (guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia), Prof. Siti Zuhro (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Dr. Sukidi (pemikir kebhinekaan PP Muhammadiyah), Bambang Eka Cahya Widodo (akademisi politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta/UMY), dan Prof. Ramlan Surbakti (guru besar Universitas Airlangga). Mereka bertindak sebagai juri sidang.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan

Nama terakhir merangkap sebagai ketua sidang mengingat pengalamannya yang pernah terlibat sebagai juri independen asing dalam forum serupa, People’s Tribunal terkait dugaan kecurangan di Pemilu Malaysia 2013. Ia pun menawarkan konsep Delapan Parameter Demokrasi sebagai “oleh-olehnya” dari negeri Jiran guna melihat lebih dalam dan menilai Pilpres 2024 di Indonesia. Ke-delapan parameter itu: jaminan kesetaraan warga dalam daftar pemilih, kepastian hukum, persaingan antara pasangan calon yang bebas dan adil, partisipasi masyarakat, penyelenggara pemilu yang independen dan profesional, proses pemungutan hingga penghitungan suara yang tranparan dan akuntabel, penyelesaian sengketa pemilu secara korektif, serta penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu.

“Saya ingat waktu di Pemilu Malaysia (2013), terjadi manipulasi pilihan, hukum pemilu, dan hasil pemilu. Kalau melihat buku Electoral Malpractice (Sarah Birch, 2011), saya menyarankan agar menilai Pemilu 2024 apakah ada manipulasi pilihan dan hasil pemilu untuk mempengaruhi pilihan pemilih, bahkan menjanjikan uang atau materi (sembako/bansos) dan menggunakan aparat untuk melakukan ancaman sehingga pemilih tidak bisa memilih menuruti hatinya. Jadi melihat Pemilu 2024 bukan sekadar hasilnya saja. Itu (usulan) rekomendasi saya,” papar eks-ketua Komisi Pemilihan Umum periode 2004-2007 tersebut.

Ramlan Surbakti (kiri) & M. Busyro Muqoddas (Tangkapan Layar Youtube LHKP PP Muhammadiyah)

Sementara, Busyro Muqoddas menyuarakan harapan dan rekomendasinya dengan menitikberatkan perihal dimensi keadaban politik dan keadaban hukum. Eks-ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2010-2011 itu berharap para hakim MK bisa memperhatikan etika kenegaraan dalam putusannya. Busyro juga berharap para hakim MK mengingat semangat –kemerdekaan maupun spirit asas kemanusiaan dan keadilan– para founding fathers yang tercermin dalam preambul Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“UU Parpol, pilkada, dan KPU merupakan sumber hulu politik sebagai alat politik penjajahan etika politik, HAM, Sipol-Ekosob (hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya, red.) dan demokrasi. Keruntuhan kepercayaan politik terhadap KI akibat ‘perkawinan politik’ eks-ketua MK dalam Putusan No. 90 tahun 2023 yang jadi bukti penghambaan MK untuk Gibran (Rakabuming Raka) demi calon wapres. Prinsip kompetensi, kapasitas, integritas, dan profesionalitas kelaikan memimpin secara telanjang dinistakan dalam putusan MK tersebut demi penghambaan berhala politik bernama Dinasti Nepotisme Politik Keluarga Presiden. Praktik, proses, dan pelaksanaan Pemilu 2024 yang penuh kekumuhan, kecurangan, keculasan, brutalita, dan rasa malu yang ludes dampak langsung politik ‘cawe-cawe’ Presiden RI,” imbuh Busyro.

Baca juga: Antek-Antek Presiden Amerika Mengintip Jeroan Lawan Politik

Perihal ‘cawe-cawe’ presiden juga disuarakan Prof. Siti Zuhro. Menurutnya,  intervensi penguasa sudah sampai memengaruhi semua stakeholder pemilu. Semuanya atas nama dinasti nepotisme yang notabene jadi salah satu “musuh” gerakan Reformasi 1998.

“Pengalaman enam kali (pemilu) pasca-Reformasi sejak 1999 sampai Pemilu 2024 menunjukkan suatu kecenderungan ke arah yang mengkhawatirkan. Cawe-cawenya jauh luar biasa dibanding ketika penguasa jadi incumbent karena dalam konteks ini nepotisme memberikan peran yang luar biasa kepada penguasa untuk memenangkan anaknya sendiri. Kata kuncinya jelas, maintaining power atas nama keberlanjutan. Ambisi ini membuat pemilu berjalan distortif karena politisasi terjadi di hampir semua (aspek), termasuk bansos,” timpal Siti.

R. Siti Zuhro (kiri) & Zainal Arifin Mochtar (Tangkapan Layar Youtube LHKP PP Muhammadiyah)

Oleh karenanya, Siti menitipkan harapan agar para hakim MK mempertimbangkan semua fakta hukum dengan sangat serius agar bisa memberikan ketetapan hukum demi kembalinya kedamaian dan jalannya demokrasi sesuai yang disepakati (gerakan Reformasi) 1998. Pasalnya, dampak negatif pemilu yang distortif itu akan mengusik akal sehat bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 dengan bonus demografinya.

Kendati tak sama, hal serupa juga diungkit Prof. Fathul Wahid. Ia juga mengusulkan rekomendasi dan mengharapkan sidang MK bisa jadi momentum titik balik mengembalikan kepercayaan publik dengan putusan yang mempertimbangkan konstitusi dan rasa keadilan demi demokrasi yang substantif.

“Yang sering sampai di telinga kita saat ini bukan demokrasi yang substantif. Etika menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok tertentu untuk jangka pendek, yakni kepentingan elektoral membuat saat ini seperti democracy of feeling kalau kata Prof. William Davis dari University of London. Demokrasi perasaan sangat mendominasi keputusan dan kita khawatir perasaan publik sudah dimanipulasi dengan beragam cara, termasuk memutarbalikkan fakta di lapangan dengan munculnya otokrat-otokrat informasi yang jadi penjaga gerbang untuk kepentingan kelompok tertentu yang menggadaikan kepentingan bangsa jangka panjang,” urai Fathul.

Baca juga: Serba-serbi Politik Gentong Babi

Berkelindan dengan itu, Uceng –sapaan akrab Prof. Zainal Arifin Mochtar–  menyuarakan bahwa substansi demokrasi bisa jadi salah satu patokan MK. MK mestinya tidak sekadar jadi penghitung atau penentu angka perselisihan hasil pilpres tapi juga melihat substansinya dengan mengeluarkan terobosan dan lompatan hukum.

“Ketika demokrasi sedang terancam, mau tidak mau harus ada lompatan cara berpikir. Musuh ikrar kita ketika Reformasi 1998 yang dituangkan dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan TAP MPR dan itu tidak bisa kita biarkan. Apa yang mau kita titipkan dan sampaikan kepada anak cucu? Apakah kita akan sampaikan bahwa, ‘silakan Anda curang securang-curangnya’ karena akan memenangkan kekuasaan, atau mau kita sampaikan bahwa harus ada keadilan walau ada ancaman-ancaman,” sambung Uceng.

Oleh karenanya, Uceng menyampaikan tiga usul rekomendasi. Pertama, MK harus membuka ruang membuat keputusan yang bahkan di luar dari apa yang ada karena yang dijunjung adalah keadilan. Kedua, hakim tidak boleh membiarkan ada aturan hukum yang digunakan secara tidak benar untuk memaksakan sesuatu yang semestinya tidak mungkin. Ketiga, hakim MK harus melihat ini sebagai kesempatan menyelamatkan demokrasi, wajah hukum, dan marwah konstitusi karena ini akan dibaca anak-cucu kita kelak dan menjadi contoh bagaimana demokrasi diperjuangkan.

Ki-ka: Sulistyowati Irianto, Bambang Eka Cahya Widodo & Sukidi Mulyadi (Tangkapan Layar Youtube LHKP PP Muhammadiyah)

Hal tersebut dilihat Prof. Sulistyowati juga jadi kesempatan menjaga demokrasi yang sedianya tidak hanya sudah diperjuangkan pada Reformasi 1998 tapi juga jauh sebelum itu. Khususnya demokrasi yang diperjuangkan para founding mothers atau para perintis demokrasi perempuan sejak masa kolonial Hindia Belanda.

“Pemilu itu kan inti dari demokrasi. Makanya perempuan juga yang termasuk memperjuangkan hak politiknya dalam demokrasi. Di Indonesia pada 1930 Perikatan (Perempuan) Istri Indonesia mengirim mosi pada pemerintah (kolonial) Belanda agar boleh ikut pemilihan Dewan Kota Batavia, di mana pada 1938 sudah ada perempuan yang duduk di Dewan Kota Batavia. Dan pemilu pertama Indonesia 1955, perempuan sudah boleh ikut dalam pemilu. Itu pasti bukan sesuatu yang datang dari langit tapi sudah diperjuangkan para founding mothers kita,” ujar Sulistyowati.

Karena pemilu itu inti dari demokrasi, oleh karenanya Sulistyowati menyuarakan harapannya kepada MK melalui tiga pilar. Pertama, pilar demokrasi di mana hukum dibuat secara clear dan bisa dimengerti masyarakat awam. Kedua, pilar konstitusi yang jadi landasan putusan MK. Ketiga, pilar mekanisme kontrol untuk terus memisahkan kekuasaan, di mana di situlah independensi MK akan diuji.

Baca juga: Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan

Hal serupa disampaikan pakar kebhinekaan Dr. Sukidi. Akademisi jebolan studi doktoral kajian Islam Universitas Harvard itu berharap agar para hakim MK juga menjiwai semangat kenegarawanan untuk menyelamatan konstitusi dan demokrasi dari kerusakan.

“Saya juga berharap para hakim MK menguraikan akar masalah pilpres, di mana seperti yang disuarakan putri proklamator, Megawati Soekarnoputri, bahwa akar masalahnya adalah nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan presiden. Juga agar (hakim MK) menyelamatkan demokrasi dari resesi, regresi, dan bahkan kepunahan,” tutur Sukidi.

Terakir, akademisi UMY Bambang Eka Cahya Widodo menyampaikan usulan rekomendasi bahwa dalam putusan MK tidak boleh ada yang diuntungkan. Pun juga tidak boleh ada yang dirugikan dari sebuah pelanggaran yang dilakukan pihak lain. Itu menjadi prinsip hukum yang penting untuk dihormati.

“Karena prosedur pemilu mengabaikan ketentuan hukum sehingga menimbulkan kerugian konstitusional yang fundamental. Prinsip keadilan pemilu juga berarti hak-haknya dilindungi dan ditegakkan karena semua orang berhak untuk berkompetisi dengan adil dan sehat tanpa intervensi ‘cawe-cawe’ presiden. Serta persoalan integritas pemilu kan mensyaratkan semua peserta diperlakukan sama. Kenyataannya ada peserta yang mendapatkan prioritas, keuntungan dari keberpihakan penyelenggaraan pemilu sehingga menyebabkan perlakuan yang tidak adil,” tandas Bambang.

Baca juga: Perempuan dalam Pemilu Pertama

TAG

pilpres pemilu

ARTIKEL TERKAIT

Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Lyndon LaRouche, Capres Abadi AS PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Gambar Partai Dilumuri Tahi Lika-liku Quick Count yang Krusial