Beberapa orang besar meninggal menjelang Pemilu 1971. Ada politisi sipil di samping seorang jenderal.
Dalam Pemilu 1971, Golongan Karya (Golkar) yang ditopang aparat Orde Baru muncul sebagai pemenang. Setelah Sukarno lengser, MPR sudah memutuskan Pemilu akan diadakan pada 1968, ketika Soeharto baru saja menjadi presiden penuh, namun gagal dilaksanakan.
“Yang dilakukan Soeharto adalah mengundur Pemilu itu, karena tidak cukup waktu untuk melaksanakannya, maka Pemilu itu diadakan pada 1971,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi buku Ken Ward berjudul NU, PNI dan Kekerasan Pemilu 1971 di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat pada 2 April 2024.
Periode 1968 hingga 1971 menjadi waktu bagi Soeharto untuk menguatkan fodasi kekuasaannya. Selama kurun waktu tersebut, menurut Asvi, Soeharto “mengamankan” para tapol –yang dikait-kaitkan dengan G30S– golongan B ke Pulau Buru. Mereka dijauhkan dari Pulau Jawa yang padat dan lumbung suara penting dalam Pemilu. Dengan begini, Soeharto “aman” dari orang-orang yang dikurung itu.
Namun, yang dilakukan Soeharto bukan hanya “pengamanan” terhadap para tapol. Sejumlah “pembunuhan” pun terjadi.
“Seputar tahun 1971 itu ada tiga ‘pembunuhan’ yang menurut saya ‘pembunuhan’ yang misterius,” sebut Asvi.
Setelah kematian mantan Presiden Sukarno pada 21 Juli 1970 setelah menjalani tahanan rumah, ada kematian-kematian lain yang menyusul. Pada 1971, Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Hadisoebeno meninggal dunia. Dua tahun kemudian, giliran tokoh NU bernama Subhan ZE meninggal dunia.
Mertua Suryadi PDI
Nama Hadisoebeno Sosrowedojo populer di Jawa Tengah. Selain pernah menjadi walikota Semarang pada 1951-1958, ia juga gubernur Jawa Tengah periode 1958-1960.
Sebelum Indonesia merdeka, dirinya pernah menjadi mantri polisi di Departemen Dalam Negeri kolonial. Dalam Pemilu 1955, Hadisoebeno terpilih menjadi anggota Konstituante dari PNI.
Selain pernah menjadi ketua PNI Jawa Tengah, Hadisoebeno “melegalkan” politik masuk dalam keluarganya. Putrinya, Sri Hartati Wulandari, ketika kuliah adalah anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organ mahasiswa PNI.
Setelah 1965, PNI terpecah ketika ada friksi antara kelompok A-SU (Ali Sastroamodjojo dan Surahman) dengan Kelompok Osa-Usep (Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja). PNI makin tergerogoti kekuatan politiknya. Dengan dukungan penguasa Orde Baru, Osa Maliki dan Hardi berhasil menjadi ketua umum PNI. Setelah kepemimpinan Hardi, Hadisoebeno terpilih menjadi Ketua Umum PNI.
PNI yang menjadi pemenang Pemlu 1955 telah lemah sewaktu dipimpin Hadisoebeno. Oleh karenanya, dia berusaha menyemanagati partainya yang terus merosot.
“Meskipun pemilihan Hadisoebeno dipaksakan di Semarang diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang sangat memuji pemerintah dan ABRI, Hadisoebeno adalah penentang Golkar yang bersemangat selama enam bulan sebelum kampanye resmi dimulai,” catat Ken Ward dalam NU, PNI dan Kekerasan Pemilu 1971.
Hadisoebeno menjadi ketua umum PNI sejak 12 April 1970. Hadisoebeno menjadi buah bibir sejak Desember 1970 lantaran menghadapi tokoh kelas berat Golkar sekaligus Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Hadisoebeno berseberangan dengan keinginan penguasa Orde Baru yang ingin memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971.
Toh, dengan dukungan pemerintah yang mengoptimalkan segala kelebihan yang dimilikinya, Golkar keluar sebagai pemenang Pemilu 1971 dengan perolehan suara di atas 60 persen. PNI sendiri hanya meraup suara tak sampai tujuh persen.
Namun, Hadisoebeno tak bisa melihat kekalahan PNI itu. Pria kelahiran Pacitan, 11 Februari 1912 itu meninggal sebelum Pemilu. Koran Sinar Harapan tanggal 24 April 1971 memberitakan Hadisoebeno meninggal dunia karena komplikasi pasca-operasi pada 24 April 1971 di Semarang.
Belakangan, Sri Hartati putri Hadisoebeno menjadi istri Suryadi yang pada 1986 menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Suryadi yang dijadikan harapan rezim Orde Baru memimpin partai nasionalis itu pada era 1990-an menghadapi kubu Megawati –belakangan menjadi PDIP.