Usai transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, salah satu hal mendesak yang mesti dilaksanakan pemerintah adalah pemilihan umum (pemilu). Mulanya pemilu hendak diadakan pada Juli 1968, seperti telah direncakan MPR. Namun, Pejabat Presiden Soeharto merasa tahun itu bukan waktu yang baik untuk mengadakan pemilu.
“Yang dilakukan Soeharto adalah mengundur pemilu itu,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi buku Ken Ward berjudul NU, PNI dan Kekerasan Pemilu 1971 di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, 2 April 2024.
Maka kemudian diputuskan pemilu diadakan pada Juli 1971. Dengan tiga tahun penundaan itu, ada waktu bagi pendukung Soeharto untuk memenangkan pemilu. Klik Soeharto pun memperkuat kendaraan politik mereka, Golongan Karya (Golkar) —yang bermula dari Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar). Organisasi ini menghimpun Koperasi Usaha Gotong Royong (KOSGORO), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan lain-lain. Golkar juga menjadi salah satu kontestan pemilu meski bukan partai.
Dalam Pemilu 1971, hanya tersisa dua partai terbesar pemilu 1955 yang ikut serta, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dan NU. Dua partai terbesar lain tak ikut lantaran sudah “mati”. Masyumi sudah bubar pada 1960 sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan pada 12 Maret 1966.
Setelah 1966, PKI menjadi partai terlarang. Banyak anggota PKI dan pendukungnya terbunuh dan ditahan. Namun orang-orang yang memilih PKI dalam Pemilu 1955, di mata penguasa tak bisa disia-siakan begitu saja. Golkar diuntungkan oleh mantan pemilih PKI tersebut. Ini terjadi di Jawa Timur.
“Fakta bahwa perolehan suara Golkar cukup banyak berasal dari daerah kantong PKI dan dari pendukung PNI tak dapat dipungkiri,” catat Ken Ward dalam NU, PNI dan Kekerasan Pemilu 1971.
PNI memang bukan partai terlarang. Namun setelah 1965, perpecahan terjadi di dalamnya. Perpecahan itu juga ada campur tangan penguasa. alhasil suara juara 1 Pemilu 1955 ini merosot parah pada Pemilu 1971.
Sementara, pewarisan suara PKI ke Golkar terjadi Blitar dan Tulungagung. Bekas pendukung PKI umumnya tidak sreg dengan partai-partai Islam. Permusuhan terang-terangan di antara mereka sebelum 1965 terus berlanjut setelah 1965 kendati berubah menjadi terselubung. Bekas pemilih PKI lebih nyaman mendukung partai sekuler.
“Masuknya eks komunis ke Golkar menimbulkan bentrokan kecil dengan umat Islam selama kampanye pemilu,” sambung Ken Ward.
Di kecamatan Rejotangan, Tulungagung, sebuah masjid dinodai oleh pengikut Golkar yang berisikan pula bekas pendukung PKI. Bekas pendukung PKI itu direkrut oleh Golkar guna mempercepat pengembangan Golkar. Bahkan jika para perangkat desa dinilai lamban dalam mengembangkan Golkar di desa-desa mereka, maka eks pendukung PKI itu diberdayakan.
Selain menodai sebuah masjid, mereka membubarkan rapat yang diadakan Partai Muslimin Indonesia (Permusi). Permusi merupakan penerus Masyumi (juara 3 Pemilu 1955). Pendukung Golkar itu bahkan berlaku sangat keras kepada kelompok Islam, termasuk NU.
“Biyen sembeleh sapi, saiki sembeleh kerbo. Biyen sembeleh PKI, saiki sembeleh NU,” begitu slogan pendukung Golkar dalam bahasa Jawa, yang artiny “Dulu menyembelih (membunuh) sapi, sekarang menyembelih kerbau. Dulu menyembelih PKI, sekarang menyembelih NU.”
Namun, alasan para mantan pemilih PKI beralih ke Golkar bukan soal idealisme semata. Faktor keamanan memainkan peran amat penting di sana.
“Orang-orang PKI, begitu saya gambarkan, masuk Golkar karena takut diburu lagi,” catat Ken Ward.
Pemerintahan Orde Baru tak cukup lahan dan sumber daya untuk menangkap lebih banyak lagi pendukung PKI. Selain mengambil orang bekas pendukung PKI, Golkar tentu saja merekruti orang-orang NU. Jawa Timur adalah basis NU. Berkat sebagian orang NU dan bekas pendukung PKI, Golkar akhirnya terangkat suaranya di Jawa Timur. Kemenangan Golkar adalah kemenangan Soeharto yang setelah 1970-an makin otoriter.
“Memang pada 1971 adalah konsolidasi kekuasaan, yang bisa kita sebut sebagai awal dari kekuasaan otorianisme,” sebut peneliti Sarah Siregar dalam diskusi yang sama.