MALIOBORO merupakan jalan dan kawasan yang terkenal dan menjadi ciri khas Yogyakarta. Mungkin ada saja yang menebak asal nama ini –karena penulisan dan pelafalannya mirip– dari Marlboro, merek rokok produksi Philip Morris International.
Namun, bila dikaitkan dengan sejarah, umumnya menyebut Malioboro berasal dari nama Marlborough yang diberikan oleh Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Ternyata, ada nama lain yang lebih mungkin.
Baca juga: Hasrat Naturalis Raffles
Menurut sejarawan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, Raffles pertama kali berkunjung ke Yogyakarta pada 27–29 Desember 1811 untuk berunding dengan Sultan Hamengkubuwono II. Sultan meminta Raffles tidak membawa pasukan pengawal yang besar karena akan menimbulkan ketegangan.
Jika Raffles bersikeras membawa pasukan pengawal yang besar, maka akan menimbulkan perlawanan bersenjata dari kesultanan. Sementara Raffles meminta disambut dengan istimewa dan upacara penuh. Raffles membawa 400 serdadu (100 kavaleri dan 300 infanteri) ketika tiba di Yogyakarta pada 27 Desember 1811.
Peter Carey menyebut Raffles memasuki Kota Yogya lewat jalan raya utama (kelak jadi Jalan Malioboro) dengan pasukan Sultan sebanyak 10.000 memenuhi kedua sisi jalan lengkap dengan tombak dan bedil siap tembak.
Baca juga: Ketika Inggris Membumihanguskan Keraton Yogya
Kunjungan Raffles itu nyaris menjadi malapetaka. Dalam pertemuan di kamar singgasana Wisma Residen, Sultan menolak duduk di kursi yang disediakan untuknya, tetapi duduk di singgasana perak miliknya yang di bawahnya ditaruh dingklik sehingga bisa duduk lebih tinggi dari Raffles.
Ketika ajudan Raffles menyingkirkan dingklik itu dengan kakinya, beberapa pengawal Sultan menghunus keris. Para perwira Inggris pun masuk ke ruangan. Ketegangan itu berhasil dilerai oleh putra mahkota yang didukung Raffles.
Sultan Hamengkubuwono II menolak tunduk dan diatur oleh Raffles. Sultan menginginkan Mangkudiningrat sebagai penggantinya. Namun, Raffles menolak dan memilih Raden Mas Surojo yang naik takhta karena lebih ramah dan penurut dibanding ayahnya.
Baca juga: Pembunuhan Keji Panglima Keraton Yogyakarta
Intervensi Raffles berujung penyerangan dan penjarahan Keraton Yogyakarta yang dikenal dengan Geger Sepehi pada 20 Juni 1812. Sultan diasingkan ke Pulau Pinang (Malaysia). Putra sulungnya, Raden Mas Surojo diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono III yang bertakhta dua tahun.
Tim Hannigan dalam Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa menyebut bahwa di Yogyakarta, bukan ingatan pahit akan penjarahan dan penghinaan yang menjadi kenangan dari masa pemerintahan Inggris di Jawa, tetapi kisah populer tentang nama jalan yang ternyata tidak benar.
“Tanyalah kepada salah satu pemilik kios...di sepanjang trotoar Jalan Malioboro... dan mereka mungkin akan memberi tahu kita jalan tersebut diberi nama oleh orang Inggris –mungkin diambil dari nama merek rokok Amerika– pada suatu waktu terdahulu,” tulis Tim Hannigan.
Baca juga: Empat Jenis Jarahan Inggris dari Keraton Yogyakarta
Namun, menurut Tim Hannigan, tidak ada catatan dalam sumber orang Inggris pada zaman itu mengenai pergantian nama jalan yang menuju Keraton Yogyakarta, dan pada dasawarsa kedua abad ke-19, Duke of Marlborough kecil kemungkinannya menjadi inspirasi untuk nama jalan kolonial.
“Malioboro tampaknya paling mungkin berasal dari malyabhara, istilah Sanskerta yang berarti ‘dihiasi dengan karangan bunga’ yang merujuk kepada para pelayan penyebar bunga yang menyambut Sultan ketika dia lewat jalan itu,” tulis Tim Hannigan.
Peter Carey dalam tulisannya tentang “Jalan Maliabara” di jurnal Archipel 27, 1984, menjelaskan bahwa pada masa lalu jalan Malyabhara (yang “berhiaskan karangan bunga”) adalah jalan di mana warga atau masyarakat Yogyakarta dapat menyambut atau melihat “tontonan” bilamana ada rombongan tamu asing yang akan berkunjung ke keraton Sultan Hamengkubuwono. Di beberapa tempat di kanan dan kiri jalan tersebut ditempatkan hiasan dari daun kelapa, musik gamelan, dan barisan pengawal keraton dengan tombak terhunus.
Namun, ada pula sumber yang menyebut bahwa Malioboro, ruas jalan sepanjang kurang lebih 900 meter, berasal dari bahasa Jawa, maliyo atau "perubahan menjadi wali" dan bara dari ngumbara artinya "perjalanan atau pengembaraan".*
Tulisan ini diperbarui pada 8 Mei 2024