DARI Belanda, Jacobus Hubertus Menten (1832-1920) datang ke Hindia Belanda mencari cuan. Itu dilakukannya sekeluarnya dari Politeknik Delft, Belanda, sekitar 1860.
Menten, yang beristri Mathilde Louise Charlotte de Wal, bekerja di Bangka yang kaya timah. Waktu di Muntok, putrinya lahir dan dinamai Mathilde Louise Charlotte Menten.
Setelah di Bangka, Menten lalu ikut menggali batubara di wilayah Kutai. Setelah pensiun pada 1882, dia tertarik mencari minyak bumi di wilayah Kutai. Pada 1895, seperti diberitakan De Locomotief tanggal 24 Mei 1895, Menten menandatangani perjanjian konsesi dengan sultan Kutai untuk ekstraksi minyak bumi.
Menten lalu menemukan minyak di Balikpapan dan Sanga-sanga. Kedua sumur itu dinamai dengan nama istri dan putrinya. Sumur Balikpapan yang ditemukan pada 1895 dinamai Mathilde dan di Sanga-sanga yang ditemukan setahun berikutnya, dinamainya Louise.
Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
“Minyak telah diproduksi secara komersial di Kutei sejak Miosen bawah sejak tahun 1906, terutama di sepanjang antiklin Sanga Sanga pada apa yang disebut Kubah Sanga Sanga di Konsesi Louise; di kubah yang tidak disebutkan namanya di hulu Delta Mahakam di Konsesi Muara; dan di Kubah Semboja di Konsesi Nonny yang berbatasan dengan Konsesi Louise di barat daya. Sedikit minyak telah diperoleh dari konsesi lain di sepanjang Sungai Mahakam dan di sekitar Teluk Balikpapan,” tulis United States Federal Oil Conservation Board dalam Report of the Federal Oil Conservation Board to the President of the United States Part 2-3.
Di Sanga-sanga, Louise tak hanya menjadi nama sumur, tapi juga menjadi nama perumahan. Nama Louise bagi orang Belanda belakangan bahkan tak hanya merujuk pada nama sumur, tapi juga untuk menyebut daerah tambang minyak Sanga-sanga.
Tak lama setelah penemuannya, jalur rel antara sungai dengan sumur dibangun. Koran Het Vaderland tanggal 26 November 1897 menyebut selama beberapa bulan mereka memasang jalur rel kereta sepanjang beberapa kilometer.
Baca juga: Merawat Ingatan tentang Pangkalan Brandan
Awalnya, putra Menten adalah satu-satunya orang Eropa di sana. Kemudian, ada 26 teknisi Inggris yang datang bekerja di sana. Koran Dagblad van Zuid-Holland Den Haag tanggal 14 April 1899 memberitakan, sekitar tahun 1899 minyak dari Sanga-Sanga telah diekspor ke Hongkong dan India. Minyak itu awalnya hanya bisa digunakan untuk bahan bakar ketel uap. Kala itu perusahaan Menten mulai membangun kilang di dekat laut di Teluk Balikpapan, sekitar 75 km dari Sanga-Sanga.
Minyak di Sanga-Sanga awalnya diusahakan oleh perusahaan Samuel & Co. Kemudian setelah Shell Transport and Trading Company –perusahaan yang didirikan orang Inggris Marcus Samuel untuk perdagangan kerang dan rempah-rempah lalu transportasi dan pengeboran minyak– bergabung dengan Royal Dutch Petroleum Company pada 1907, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) selaku anak perusahaan Royal Dutch Shell ditunjuk menjadi pemegang pertambangan minyak di Sanga-sanga ini.
Baca juga: Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan
Berkat minyak, Menten dan keluarganya jadi kaya-raya. Tak hanya itu, instalasi tambang, dermaga, kantor, juga hunian bermunculan setelah pertambangan berjalan dan menghasilkan minyak. Selain rumah-rumah orang Belanda, perkampuangan para pekerja tambang juga bermunculan. Di Sanga-sanga, hingga saat ini ada kawasan yang disebut Kampung Jawa.
Kuli-kuli dari Jawa berdatangan mencari penghidupan di sini sejak lama. Selain mereka, kuli dari Tiongkok pun banyak datang ke daerah ini. Bahkan, seperti diberitakan Koran De Locomotief tanggal 26 Mei 1928, ada beberapa anggota partai nasionalis China pimpinan Sun Yat Sen, Kuo Min Tang, yang bekerja di BPM antara 1926 hingga 1927. Namun mereka dideportasi dari Hindia Belanda karena kerusuhan 3 Mei di Sanga-sanga pasca-dilarang berparade dalam Hari Buruh di Balikpapan, 1 Mei 1927.
Baca juga: Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belandad
Berkembangnya kota kecil Sanga-sanga, yang diikuti bertambahnya jumlah orang Eropa, maka sekolah modern pun didirikan di kota ini. Pertengahan tahun 1928, seperti diberitakan De Locomotief edisi 6 Desember 1927, direktur Pendidikan dan Pelayanan Keagamaan memutuskan akan membuka sekolah dasar untuk anak Eropa (Europe Lager School/ELS) di Louise (Sanga-Sanga Dalem). Pendiriannya bersamaan dengan pembukaan SD serupa di Tarakan dan Majalengka.
Namun sewaktu Perang Dunia II pecah, instalasi minyak di Sanga-sanga rusak karena sengaja dirusak Belanda.
“Salah satu target utama invasi Jepang ke Asia Tenggara dalam Perang Dunia II adalah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, khususnya minyak bumi yang dibutuhkan Jepang untuk menggerakkan mesin-mesin perangnya. Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa mereka tidak akan mampu mempertahankan koloni mereka dari Jepang, dan akibatnya berusaha untuk mencegah mereka mendapatkan fasilitas minyak dengan mengikuti kebijakan bumi hangus. Kilang minyak dibakar, sumur-sumur ditutup dengan semen, dan jaringan pipa diledakkan, tetapi karena sifat pekerjaan yang terburu-buru dan cepatnya invasi Jepang, beberapa fasilitas dibiarkan tidak tersentuh,” tulis Ooi Jin Bee dalam The Petroleum Resources of Indonesia.