Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Seorang pensiunan dinas pertambangan menemukan sumber minyak. Mengubah banyak hal di Kalimantan Timur.
Jacobus Hubertus Menten seorang pensiunan Dinas Pertambangan Belanda. Dia pernah bekerja di Kalimantan Timur, Buitenzorg (sekarang Bogor), dan Sumatra (1860—1882). Dia bisa saja kembali ke negerinya menikmati masa pensiun, tetapi minyak Kalimantan Timur membuatnya penasaran sehingga harus tinggal lebih lama di koloni.
Menten menemukan minyak ketika dia bertugas sebagai manajer tambang batubara milik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Palaran, Kalimantan Timur, pada 1863. Minyak itu tersimpan di dekat Sanga-Sanga, muara sungai Mahakam, tak jauh dari tambang batubara (sekarang wilayah ini menjadi bagian dari Kabupaten Kutai Kartanegara).
Menten belum bisa mengeksplorasi simpanan minyak lebih dalam. Dia terikat dengan kerja utamanya: mengeksplorasi dan mengeksploitasi batubara. Tapi dari batubara, dia bisa mengenal penguasa Kutai, Sultan Aji Sulaiman.
“Ia mempunyai hubungan yang bersahabat dengan Sultan Sulaiman Kutai,” catat Thomas Lindblad dalam Antara Dayak dan Belanda : Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880—1942.
Baca juga: Awal Mula Tambang Batubara
Kemudian Menten pindah tugas ke Buitenzorg dan Sumatra untuk beberapa lama. Dia kembali ke Kalimantan Timur pada 1882. Dia datang sebagai pensiunan sekaligus pengusaha swasta (Oost Borneo Maastchappij) di bidang batubara.
Menten juga berupaya mengeksplorasi ulang minyak temuannya 20 tahun lampau. Dia berhasil menemukan dua wilayah sumber minyak.
Hubungan baik Menten dengan Sultan Aji membantunya mengantongi izin konsesi eksplorasi minyak pada 29 Agustus 1888. Dia menamai wilayah konsesinya mengikuti nama panggilan anaknya: Louise (Sanga-Sanga) dan Mathilde (sekarang di sekitar Teluk Balikpapan).
Pemerintah kolonial Belanda juga membolehkan Menten mengeksplorasi minyak di wilayah tersebut untuk jangka waktu 75 tahun sejak 30 Juni 1891. Secara hukum, eksplorasi Menten sebagai pengusaha swasta ditunjang penuh oleh Ordonansi Pertambangan 1873.
“Ordonansi ini mencerminkan perhatian lebih besar pemerintah kolonial dalam pemberian izin penelitian mineral dan tambang. Di samping juga menetapkan siapa yang berhak mengeksploitasinya secara komersial,” ungkap Agus Setiawan dalam The Political and Economic Relationship of American Dutch Colonial Administration in Southeast Asia, disertasi pada School of Humanities and Social Sciences (SHSS), Jerman, 2014
Perubahan Situasi
Ita Syamtasiyah Ahyat dalam Politik Ekonomi Kerajaan Kutai dalam Perluasan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, menyebut masa itu eksplorasi swasta di bidang pertambangan bertunjang pada tiga hal: pemerintah kolonial, penguasa setempat, dan perundangan. Ketiganya saling berhubungan.
Sebermula pemerintah kolonial tidak leluasa mengeksplorasi wilayah Kutai. Di sini ada Kesultanan Kutai. Mereka pemilik sah tanah dan kekayaan alam lainnya seperti hutan dan sungai.
Pemerintah kolonial membangun hubungan politik dan mengadakan perjanjian ekonomi dengan Kesultanan Kutai. Tujuannya mencegah Kesultanan Kutai bekerja sama dengan Inggris.
Baca juga: Kutai di Era Hindia Belanda
Keberadaan Inggris di wilayah utara Kalimantan mengkhawatirkan pemerintah kolonial. Mereka sewaktu-waktu akan memperluas wilayahnya ke selatan dan timur Kalimantan. Hubungan pemerintah kolonial dengan Kutai akan melemahkan kemungkinan tersebut.
Dari istana Kesultanan Kutai, kehadiran pemerintah kolonial dipandang sebagai penjamin keamanan dan salah satu sumber ekonomi Kesultanan. Mereka menyepakati serangkaian perjanjian dengan pemerintah kolonial serentang 1825-1882. Melalui perjanjian itulah, wilayah Kutai terbuka bagi pemerintah kolonial.
Perubahan politik di negeri Belanda pada 1860-an menempatkan golongan liberal sebagai motor utama parlemen. Mereka mendesak pemerintah kolonial mengakhiri dominasi negara dalam bidang ekonomi, menghentikan masa tanam paksa (bermula pada 1830), dan membuka koloni untuk investasi swasta di sektor selain perkebunan pada 1870.
Pencarian sumber pendapatan baru negeri induk mendorong ilmuwan-ilmuwan dari negeri Belanda berdatangan ke Kutai. Mereka bekerja meneliti kandungan alam Kutai secara independen, tetapi dana dan logistik mereka berasal dari pemerintah negeri induk.
Baca juga: Mendulang Sejarah Tambang Nusantara
Kebutuhan ilmuwan dan pemerintah saling berkelindan. Ilmuwan butuh dana untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap alam Kalimantan, sedangkan pemerintah kolonial perlu laporan ilmuwan demi keuntungan ekonomi.
Batubara dan minyak merupakan komoditas menguntungkan di pasaran dunia. Seiring perkembangan teknologi dan industri, batubara dan minyak menjelma kebutuhan sehari-hari masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat.
Kapal laut bergerak dengan tenaga uap. Uap berasal dari pembakaran batubara. Lampu menyala lebih lama dan terang menggunakan minyak. Minyak laku di mana-mana sebagai bahan utama untuk menyalakan lampu.
Sokongan The Shell
Setelah penjelasan kronik tadi, kita kembali ke pengusaha bernama Menten. Dia menangkap semua perubahan situasi dunia, negeri induk, dan koloni. Dia telah memegang izin konsesi dan sandaran hukum. Tapi dia belum dapat memulai eksplorasi. Ketiadaan uang menjadi masalah besarnya.
Eksplorasi minyak memakan biaya besar. Menten mencari sponsor ke perusahaan tambang swasta dan pemerintah kolonial. “Dia mencari penyokong finansial ke penjuru Eropa sampai frustrasi,” tulis J. Ph. Poley dalam Eroica: The Quest for Oil in Indonesia (1850—1898). Sebab jawaban dari calon investornya serupa. “Maaf, tidak bisa, Menten. Dananya terlalu besar.”
Baca juga: Palu Arit di Ladang Minyak
Tapi pertemuan Menten dengan Marcus Samuel melenyapkan rasa frustrasinya. Marcus Samuel adalah orang Inggris pemilik perusahaan tambang bernama The Shell Transport and Trading Company. Marcus menyanggupi biaya eksplorasi Louise dan Mathilde sebesar 1.200 poundsterling (sekarang setara 151.202,97 poundsterling atau Rp2,6 miliar).
“Pengeboran eksperimen dilakukan pada tahun 1897 dan memberikan hasil yang luar biasa,” sebut Thomas Lindblad. The Shell lalu berminat menanam investasi lebih besar dengan membentuk anak perusahaannya khusus wilayah Hindia Belanda. Namanya The Nederlansch Indische Industrie en Handel Maatschappij.
Peruntungan Menten belum berakhir. Ketika berjalan bersama anaknya di wilayah Mathilde, dia menemukan sumber minyak lainnya. Dia lagi-lagi menamakannya seturut nama anaknya, Nonny.
Paradoks Minyak
Tiga sumber minyak temuan Menten mendatangkan keuntungan besar bagi Kesultanan, pemerintah kolonial, Menten, dan perusahaan The Shell. Pemasukan terus masuk dan kas mereka menggemuk. Tetapi nasib buruk menimpa para pekerja tambang minyak.
“Mereka bekerja tujuh hari seminggu, dari terbit fajar sampai tenggelamnya surya, selama berbulan-bulan lamanya. Tiap orang harus selalu waspada, cermat menghitung pengeboran, merencanakan hal-hal terduga dan tak terduga, menyiapkan logistik, dan bersiap menghadapi nasib buruk, penyakit, dan segala macam kekurangnyamanan lingkungan kerja,” ungkap Poley.
Baca juga: Derita Kuli di Tanah Deli
Keberhasilan eksplorasi tiga sumber minyak di Kutai dan Balikpapan memicu eksplorasi minyak di wilayah Kalimantan Timur lainnya. Wilayah ini menjadi terkenal di negeri jauh. Perusahaan minyak dunia seperti Standard Oil dari Amerika Serikat, Royal Dutch dari Belanda, dan The Shell saling sikut untuk memperoleh izin konsesi di wilayah ini.
“Bisnis perminyakan selalu merupakan dunia yang keras, dan pantai timur Kalimantan tidak terkecuali dengan hal ini. Kekerasan dan perlakuan buruk terjadi dalam aktivitas pengeboran yang rutin di kilang minyak,” catat Lindblad.
Karena itu, Royal Dutch dan The Shell merjer menjadi satu perusahaan bernama Shell pada 1907 untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan minyak dari negara lain.
Minyak kemudian mengubah banyak hal di Kutai dan Kalimantan Timur. Dari komposisi penduduk, mata pencaharian, teknologi, sampai cara pandang orang terhadap diri dan alam sekitarnya.
Ketika perubahan dan kompetisi akibat minyak itu berlangsung, Menten telah kembali ke Belanda. Dia menikmati pensiun dan gulden hasil konsesinya. “Sebagai pemegang konsesi, ia tidak perlu melakukan apa-apa,” tulis Ita Syamtasiyah. Hingga napasnya berakhir pada 9 Januari 1920. Shell mengabadikan nama Menten pada kapal pengangkut minyaknya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar