Masuk Daftar
My Getplus

Perebutan yang Menghancurkan

Masyarakat merebut teknologi dan akses pertambangan timah dari penguasa, dan dalam prosesnya menghancurkan mereka sendiri.

Oleh: Finlan Adhitya Aldan | 11 Jan 2024
Kapal isap rakitan warga untuk menyedot timah mengapung di lepas pantai Teluk Kelabat, Kabupaten Bangka Barat, 2023. (Dok. Finlan Aldan).

KAMI tertahan di tengah ratusan kawah sedalam belasan meter. Tebing-tebing berdenyit. Celah-celah rekahan bisa runtuh kapan saja; menimbun siapa pun yang berada di dasar dengan berton-ton batuan. Banyak yang telah mengalaminya.

Seorang pria bersepatu bot mengadang kami masuk lebih dalam. Ia menanyakan apakah kami sudah dapat izin dari kepala desa. Pendamping kami, seorang warga lokal, bersikukuh kalau urusan birokrasi itu tak perlu kami lakukan.

Sementara mereka beradu mulut, kami mendengar suara dentum dan gemuruh samar-samar di kejauhan. Lengan kuning ekskavator dan selang-selang besar mengintip dari balik kawah. Mulut ekskavator mondar-mandir mengeruk tanah, sementara selang-selang menghujam air bertekanan tinggi ke arah tebing.

Advertising
Advertising

“Kalau belum izin ke desa, setidaknya coba lapor dahulu ke Pak RT,” kata pria bersepatu bot. Kami bertanya di mana Pak Ketua RT bisa ditemui. “Di sana,” ia menunjuk ke sebuah kawah di kejauhan. “Lagi nambang juga.”

Lokasi tersebut adalah konsesi milik PT Timah, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang harusnya sudah masuk tahap penutupan lubang tambang dan penanaman vegetasi. Namun, lubang-lubang tersebut, yang disebut kulong, justru disusupi oleh warga Desa Telak Kabupaten Bangka Barat yang ingin mendapatkan remah-remah kekayaan peninggalan perusahaan.

Baca juga: Mendulang Sejarah Tambang Nusantara

Kulong merupakan lanskap penciri tambang timah. Penggalian kulong pertama kali dilakukan oleh orang-orang Tionghoa, yang didatangkan oleh Kesultanan Palembang pada abad ke-18, dengan teknologi kulit. Mereka menguliti lapisan atas tanah dengan roda air (chia-caw) dan pompa air (chin-cia).

Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 12 ribu kulong di Bangka Belitung, baik yang dikeruk berabad silam maupun baru dibuka belakangan. Banyak di antaranya dimanfaatkan sebagai tambang rakyat.

Tambang-tambang timah di kulong itu disebut sebagai Tambang Inkonvensional (TI), penghalusan untuk menyebut tambang ilegal yang dikelola oleh masyarakat. Semula TI merujuk pada mitra kerja PT Timah, yang hanya bisa diakses oleh pengusaha.

TI yang dioperasikan oleh warga Desa Telak mengandalkan meriam air untuk mengikis tebing kaya timah. Itulah mengapa selang berjuntaian di mana-mana, meluapkan air deras karena dorongan mesin diesel. Cara ini mereka adopsi dari teknologi lama masa kolonial.

Praktik penambangan timah dengan meriam air yang mampu mengikis tebing secara instan tahun 1933. (Ir. J. van den Broek/KITLV Album A614 Shelfmark 52944).

Tanah Bangka yang Dikikis

Ini bermula ketika produksi timah menyurut pada 1850. Pemerintah kolonial pun mencari teknologi lebih modern ketimbang yang dibawa oleh para pekerja Tionghoa.

Beruntung, di seberang dunia, dua penambang emas Nevada baru saja menemukan teknologi baru. Sebutannya tambang hidraulis, cikal-bakal meriam air. Konsepnya sederhana: tembak air ke arah tebing sampai seluruh bebatuan hancur menjadi pasir dan kerikil, lalu saring timah dari sela-sela pasir dan kerikil tersebut.

Penggunaan meriam air mampu mengekstrak timah dalam jumlah banyak dan waktu singkat. Terbukti, produksi timah kembali meningkat.

Tapi, meriam air sangat menghancurkan. Rangkaian perbukitan rata dalam hitungan bulan. Limbah sedimen yang dihasilkannya menyumbat aliran sungai. Lahan-lahan pertanian berubah menjadi rawa.

“Dasar sungai terangkat beberapa kaki, bahkan beberapa meter, meningkatkan frekuensi banjir dan menimbun lahan pertanian di hilir dengan limbah steril,” tulis sejarawan Corey Ross dalam The Tin Frontier: Mining, Empire, and Environment in Southeast Asia, 1870s-1930s.

Teknologi pertambangan ini mengancam penghidupan Orang Darat atau Orang Gunung.

Orang Gunung hidup semi-nomaden dan tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Mereka menerapkan sistem ladang berpindah dengan memanfaatkan hutan, untuk menanam padi dan lada. Mereka juga melakukan berbagai aktivitas produktif seperti memancing di sungai. Lalu, memasuki abad ke-18, mereka ikut dalam pertambangan timah berskala industrial, berdampingan dengan Kongsi Tionghoa.

Namun, bersamaan dengan penggunaan meriam air, Orang Gunung dipaksa menetap di kampung-kampung yang jauh dari lokasi tambang. Keputusan pemerintah kolonial ini setidaknya memiliki tiga alasan.

Baca juga: Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Pulau Timah

Pertama, respons pemerintah terhadap pemberontakan Depati Amir, pahlawan nasional Bangka, yang bekerja sama dengan kongsi Tionghoa. Pemerintah ingin memutus kontak mereka dengan orang Tionghoa.

Kedua, pandangan pemerintah bahwa pribumi tidak cocok untuk berkecimpung dalam sistem ekonomi kapitalis. Karenanya, pemerintah mencoba “menyelamatkan” kemurnian pola hidup mereka.

Ketiga, ambisi pemerintah untuk menjinakkan pola hidup semi-nomaden Orang Gunung. Dengan hidup menetap, mereka tidak lagi mempraktikkan ladang berpindah yang melibatkan penebangan pohon sehingga ketersediaan kayu untuk kepentingan industri tambang dapat terjamin.

Dalam sebuah perputaran nasib, Orang Gunung justru dilimpahi kerja penebangan pohon dan pembuatan arang untuk industri timah oleh pemerintah.

Seiring dengan terkikisnya rangkaian perbukitan oleh meriam air, akses Orang Gunung terhadap tanah ulayat mereka perlahan raib. Menurut Mary Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper, klimaksnya terjadi pada 1923. Belanda menyatakan masyarakat asli Bangka tidak punya hak kepemilikan tanah kampung, rumah, dan lahan pertanian. Yang boleh mereka miliki adalah tumbuhan yang mereka tanam.

Akibat pemukiman paksa, Orang Gunung menganut identitas baru secara kolektif, yaitu sebagai orang Bangka. Keturunan mereka, bersama para pendatang dari luar pulau, kelak datang berbondong-bondong ke kulong-kulong tua bersamaan dengan dilepaskannya monopoli timah oleh negara pada 1998. Mereka memakai meriam air, artefak kolonial yang 150 tahun sebelumnya mencabut akses mereka dari kekayaan timah.

Emmerbaggermolen 5 yang digunakan untuk menambang kulong tua di Belitung. (Ir. J. van den Broek/KITLV Album A614 Shelfmark 52939).

Mengeruk dan Mengeruhkan Laut

Apa yang terjadi di darat, juga terjadi di laut.

Di lepas pantai utara Pulau Bangka, barisan menara berdinding kayu membubung tinggi. Bersanding rapat satu sama lain, layaknya gedung perkantoran di pusat kota. Sebuah metropolis di tengah teluk.

Menara-menara itu disebut tower, rakit raksasa yang bisa mengekstrak 10–20 kilogram pasir hitam dalam sehari atau setara tiga sampai enam juta rupiah. Bagian paling menakjubkan dari tower justru tidak terlihat dari permukaan, yaitu pipa penyedot yang menjulur puluhan meter dan menancap ke sedimen di dasar laut, menyeruput pasir berwarna hitam pekat: bijih timah.

Para pekerja dibayar per hari oleh juragan, pemilik tower, dengan sistem bagi hasil timah atau upah. Sementara itu, para perempuan menunggu donasi satu atau dua jumput pasir hitam dari para pekerja sebagai imbalan mengantarkan bekal makanan.

Warga di Dusun Bakit Pecinan Kabupaten Bangka Barat bertumpu pada tower dan timah, baik secara langsung maupun tidak. Hal ini diutarakan oleh Amrullah (58), kepala dusun, yang kami temui di sebuah warung tempat para pekerja tambang singgah sebelum melaut dengan taksi sampan.

“Sulit memisahkan masyarakat dengan timah. Dengan bebas orang mengambil timah, terasa sekali di sini,” katanya.

Baca juga: Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung

Sama seperti hikayat meriam air, tower pun terinspirasi dari rekayasa insinyur Belanda pada awal abad ke-20 dalam misi memproduksi timah dalam jumlah berlimpah. Idenya tercetus karena daerah yang dapat ditambang oleh meriam air kian menyusut, sementara permintaan timah dunia semakin meningkat.

Dirakitlah emmerbagger atau emmerbaggermolen, kapal keruk. Haluannya dilengkapi bilah sepanjang belasan sampai puluhan meter untuk memutar konveyor yang dipersenjatai puluhan ember pengorek tanah. Kekuatan satu kapal sepadan dengan tenaga 2.000 kuli.

Namun, Corey Ross menekankan bahwa kapal keruk hanya memindahkan dampak ekologi dari perbukitan ke dataran rendah. Kapal keruk merusak lingkungan dengan cara menimbun tanah subur dengan sedimen mati yang mereka keruk dari kedalaman.

Lanskap yang dihasilkan oleh aktivitas kapal keruk, menurutnya, adalah gundukan dan bukit pasir yang “rusak secara permanen”.

“Maka, pengerukan merupakan bentuk lain dari ‘penghancuran massal’,” tulis Ross.

Di Bangka maupun Belitung, praktik “penghancuran massal” masih berlangsung sampai sekarang dengan teknologi yang sama, bahkan lebih mutakhir. Per 2022, 50 unit kapal isap –pembaruan model kapal keruk yang mulai dipakai sejak 2006– dioperasikan di seluruh penjuru perairan dangkal provinsi oleh PT Timah.

Baca juga: Awal Mula Tambang Batubara

Kapal keruk pun punya andil mengubah perilaku masyarakat Bangka yang tinggal di pesisir, terutama pasca Indonesia merdeka. Mereka didominasi etnis Melayu, tetapi terdapat juga Bugis, Makassar, dan Buton.

Dulu sempat ada kelompok yang disebut sebagai Orang Laut, tapi jumlahnya tak pernah lebih dari ratusan orang. Saat ini yang tersisa hanya segelintir. Mereka hidup di antara penduduk pesisir baru yang kebanyakan berasal dari luar Bangka.

Dalam “Aktor, Akses dan Politik Lingkungan di Pertambangan Timah Bangka”, dimuat Jurnal Masyarakat Indonesia Vol. 36, No. 2 (2010), Erwiza Erman mengutarakan, para penduduk pantai yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan diam-diam mengambil kerja sampingan sebagai pengumpul timah dari sisa-sisa penambangan (tailing) kapal keruk.

“Bahkan kadang kala mereka bekerja sama dengan para petugas kapal keruk dan nelayan untuk menyelundupkan timah ke luar Bangka,” sambung Erman.

Namun, aktivitas itu terhenti ketika kapal keruk berevolusi menjadi kapal isap yang tak menghasilkan tailing. Para nelayan tak bisa lagi mendapatkan sisa-sisa timah, sementara ikan enggan datang ke perairan.

Kini, orang Bangka pesisir mereplikasi kapal isap menjadi model-model bajakan yang murah meriah. Tower adalah salah satu yang paling terkenal.

Seorang penambang muda menunjukkan bijih timah yang didapatkan dalam satu hari. (Dok. Finlan Aldan)

Pelampiasan Massal

Teknologi kulit, meriam air, dan tower layaknya mayat yang dihidupkan kembali oleh orang Bangka ketika mereka beralih profesi secara masif dari petani dan nelayan menjadi pekerja tambang, khususnya TI. Erwiza Erman menegaskan, membludaknya TI merupakan bagian dari “perjuangan untuk mendapatkan akses bisnis pertimahan” yang sebelumnya hanya memenuhi kantong penguasa.

Monopoli timah tidak berhenti di masa kolonial. Ia berlanjut setelah Indonesia merdeka.

Pada 1968, pemerintah membentuk Perusahaan Negara (PN) Tambang Timah, yang kini menjadi PT Timah Tbk. Perusahaan ini merupakan hasil dari nasionalisasi tiga perusahaan tambang timah Belanda, yakni Banka Tinwinning Bedrijf (BTW), Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton (GMB), dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (SITEM).

Kala itu timah dikategorikan sebagai komoditas strategis yang diawasi dan diatur sepenuhnya oleh negara. Sama seperti Belanda, tak ada akses bagi rakyat untuk menambang timah, meskipun di tanahnya sendiri.

Baca juga: 19 November 1846: Mula Tambang Batu Bara

Namun, diam-diam penduduk Bangka bergumul dengan bisnis timah lewat pasar-pasar gelap. Jumlahnya tidak sedikit. Hampir 90 persen penduduk. Mereka terpaksa mengambil jalur berbahaya ini karena desakan ekonomi pasca-perang. Padahal, pemerintah melarang warga menyimpan timah. Yang tertangkap bisa dipenjara.

“Membawa timah satu sendok teh pun, bisa langsung dibawa sama petugas,” tulis Darwance dkk. dalam artikel “Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Pengaturan Pertimahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung: Dari Zaman VOC hingga Indonesia Merdeka”, Prosiding SNAPER-EBIS 2017, berdasarkan wawancara dengan salah seorang warga Kabupaten Bangka Selatan.

 

Kejatuhan Orde Baru menandai akhir dari monopoli perusahaan negara. Produksi timah dibuka untuk swasta. Namun, praktik ilegal juga tumbuh subur. Tambang-tambang lama yang telah tutup dilabrak oleh penduduk dan kembali digali. Bekas kebun, belantara bakau, bahkan halaman tetangga dikeruk jika timah ada di dalamnya.

Pada 2002, diestimasikan terdapat 130.000 penambang TI di seluruh provinsi. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Bangka Belitung tahun itu adalah 913.884 jiwa. Berarti, hampir satu dari setiap lima orang Bangka Belitung merupakan penambang TI.

Di sisi lain, seiring dengan masuknya tambang ilegal di darat dan laut, profesi petani dan nelayan berangsur hilang.

Baca juga: Timah dan Tuan Besar

Para nelayan tercerabut dari laut karena ikan enggan datang ke perairan yang keruh oleh kapal keruk dan kapal isap. Sementara itu, para petani padi dan lada kehilangan tanaman mereka akibat sungai yang tercemar tailing, limbah sisa timah, yang umumnya terbawa dari aktivitas penambangan di hulu.

Protes dan penentangan beberapa kali terjadi. Namun, lambat laun mereka ikut serta dalam aktivitas penambangan karena tergoda harga timah yang fantastis, juga karena perangkat penghidupan mereka sudah kepalang rusak.

Akhirnya, tambang yang dibuka oleh rakyat terbukti membunuh diri mereka sendiri. Di kulong, penambang tewas tertimbun tebing longsor. Tidak sedikit pula yang diterkam buaya muara, predator yang memenuhi perairan Bangka Belitung.

Meskipun tahu ancaman fatal yang mereka hadapi, masyarakat tetap melanggengkan sistem pertambangan yang kapasitas penghancurannya telah terbukti abad demi abad. Bagi orang-orang Bangka, kegigihan ini layaknya sebuah pelampiasan massal setelah 150 tahun tidak mendapatkan jatah kekayaan timah.*

Tulisan ini ditulis bersama Bayu Nanda.

Finlan Aldan adalah jurnalis lepas. Aktif menulis serta mengeksplorasi persentuhan (dan konflik) antara alam dan manusia dalam bentuk jurnalisme naratif, visualisasi data, hingga cerita foto.

Bayu Nanda, bergabung di media spesialis satwa liar Garda Animalia sejak kuliah, membuatnya tertarik menyelami isu satwa dan lingkungan secara mendalam.

TAG

pertambangan bangka belitung

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Mantan Pilot John F. Kennedy Timah dan Tuan Besar Polisi Menjaga Tambang Gold dan Kisah Penipuan Tambang Emas di Kalimantan Merawat Ingatan tentang Pangkalan Brandan Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan Permigan, Saudara Tua Pertamina Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara Awal Mula Tambang Batubara Mendulang Sejarah Tambang Nusantara