UNTUK kali pertama, Provinsi Bangka Belitung menyumbangkan seorang pahlawan nasional. Ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo menetapkan enam nama baru pada tahun ini. Salah satu di antaranya ialah tokoh asal Pulau Bangka, Depati Amir.
“Secara kultural, Depati Amir sebenarnya telah diakui sebagai pahlawan bagi masyarakat Bangka. Namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di sana,” kata sejarawan dan peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Erwiza Erman kepada Historia.
Depati Amir lahir di Mendara, Bangka tahun 1805. Leluhurnya merupakan bangsawan Bangka yang mengabdi pada Kesultanan Pelembang. Amir berayahkan Depati Barin, pemimpin lokal dengan wilayah kekuasaan Kampung Mendara dan Mentandai. Istilah depati sendiri mengacu pada jabatan tradisional setara kepala sebuah atau beberapa desa.
“Depati adalah gelar yang diberikan Sultan Palembang kepada para elite di Bangka,” tulis Erwiza dalam Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung.
Baca juga: Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Pada 1830, Amir diangkat sebagai depati menggantikan Barin, ayahnya. Pengangkatan itu, menurut Erwiza, bukanlah posisi yang didamba Amir. Dia lalu minta berhenti dan memilih jadi orang biasa yang bebas. Meski demikian, Amir tetap memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Bangka. Ketokohan Amir ini menyebabkan pemerintah kolonial Belanda kerap menaruh curiga.
Perlawanan Amir kepada Belanda beranjak dari persoalan pribadi. Ini menyangkut urusan kocek dan kepentingan keluarga. Kehadiran Belanda yang mengeruk timah di wilayah kekuasaan ayahnya menyulut bara api bagi Amir sekeluarga. Amir kecewa ketika tuan kongsi (juragan dagang) Belanda di Sungailiat enggan memenuhi tuntutan Amir sebesar 150 gulden, yakni utang pemerintah Belanda kepada ayahnya.
Menurut A.A. Bakar dalam Barin, Amir, Tikal: Pahlawan Nasional Yang Tak Boleh Dilupakan, utang Belanda tersebut merupakan sisa harga timah yang dijual oleh Barin kepada tuan kongsi namun belum dilunasi. Kejadian ini bersamaan waktunya ketika parit-parit timah swasta masih banyak. Parit milik Barin adalah yang terbesar di daerah Merawang.
Permintaan Amir dimentahkan pemerintah Belanda. Amir mengancam akan menyerang dan menghancurkan Sungailiat dan Merawang. Amir bahkan menambah tuntutannya menjadi 600 gulden setahun dengan alasan ia berhak mendapatkannya selaku putra depati.
Residen Belanda di Bangka, F. van Olden, menilai sikap Amir hanya untuk memprovokasi situasi di kawasan itu. Sejumlah pejabat penting dikerahkan untuk meringkus Amir. Mereka antara lain, Kepala Polisi Letnan Campbell, kepala kongsi Belanda di Pangkal Pinang De Bley, dan Kepala Jaksa Demang Arifin. Semuanya tak mampu menangkap Amir.
Tak dinyana, rakyat Bangka mendukung Amir. Banyak dari penduduk kampung Bangka yang mengalami tekanan akibat kerja rodi membangun infratruktur untuk kepentingan birokrasi kolonial. Selain warga Melayu Bangka, kuli-kuli parit timah asal Tionghoa ikut berjuang bersama Amir. Lewat jaringan ini, penyelundupan senjata lewat Singapura yang dibarter dengan timah dapat diperoleh pasukan Amir untuk mempersenjatai diri.
Baca juga: Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung
Sejumlah demang (pemimpin lokal) dan batin (penghulu adat) berpegaruh juga jadi sekutu Amir. Demang Suramenggala dan Terentang membantu dalam penyediaan senjata, lembing, dan keris. Haji Abubakar, pemuka masyarakat, secara terang-terangan memihak Amir. Urusan tempur, Amir dibantu para panglima seperti Budjang Singkip, Kai Sam, Bangul, Tata, Darip, dan Dahan. Mereka secara tegas melawan beberapa penguasa lokal yang memihak Belanda.
Anak-anak buah Amir ini pada 19 Desember 1848 berhasil menangkap putra Batin Mendo Timur di kampung Lukok. Kampung Lukok ikut dibakar. Perlawanan Amir lantas meluas ke berbagai wilayah di sepanjang pantai timur Bangka: Terentang, Ampang, Toboali, Jebus, Sungailiat.
Amir dan pasukannya terus bertahan dari buruan dengan menggalakkan pertempuran kecil satu demi satu. Pemberontakan Amir menjadi isu yang cukup serius di Hindia Belanda seperti dicatat pejabat kolonial dalam Koloniaal Verslaag tahun 1851 dan 1852. Belanda yang kewalahan sampai harus mendatangkan pasukan tambahan dari Palembang dan Batavia.
Residen van Olden dalam bukunya De Muiterij van Amir op Banka 1850 menulis satu kisah lengkap tentang perlawanan Amir. Banyak tentara Belanda yang menemui ajal lantaran jebakan-jebakan tak terduga, seperti termakan racun. Selain itu, pasukan Amir diuntungkan dengan mewabahnya penyakit disentri yang saat itu disebut “Demam Bangka” di kalanganan tentara Belanda.
Perlawanan Amir baru dapat ditumpas sesudah dilakukan taktik menohok dari belakang. Belanda menyuap uang sebesar 1000 dollar Spanyol kepada 7 orang panglima dan 36 pasukan. Mereka terpaksa menyerah lantaran kekurangan logistik dan kelelahan fisik dalam menjalankan perang gerilya. Pada 7 Januari 1851, Amir berhasil ditangkap dalam kondisi sakit di distrik Sungaiselan.
Seperti halnya Pangeran Diponegoro di Jawa, Depati Amir harus mengalami nasib pengasingan karena dianggap pemberontak yang meresahkan. Berdasarkan keputusan tanggal 11 Februari 1851, pemerintah mengasingkan Amir ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebagian pengikut setia Amir juga diasingkan ke Ambon, Banda, dan Ternate.
Baca juga: Kamar Panas untuk Diponegoro
Setelah pengasingan Amir, Belanda semakin leluasa menjarah timah di bumi Bangka. Ditumpasnya perlawanan Amir mempertegas pembentukan dan pengawasan wijken (kampung) di Bangka dan Belitung. Sistem perkampungan (Wijkenstelsel) demikian, kata sejarawan Universitas Indonesia, Servulus Erlan de Robert melokalisasi wilayah berdasarkan etnis untuk memudahkan pengawasan dan meminimalisasi konflik sosial di kawasan tertentu sebagaimana telah dijalankan sejak masa VOC.
Amir tak berhenti. Selama di pengasingan, dia tetap berjuang sebagai penasihat perang bagi raja-raja Timor yang juga sedang berjuang melawan penguasaan kolonial. Pada 28 September 1869, Amir wafat dan dimakamkan di Pemakaman Muslim Batukadera, Kupang.
Baca juga:
Duka Australia di Pulau Bangka