Sekali waktu Aeilko Jans Zijlker, seorang juragan tembakau di Sumara Timur berkeliling memeriksa kebunnya. Di tengah jalan, tetiba turun hujan deras. Ziljlker pun berteduh di barak bekas bekas tempat penimbunan tembakau.
Hari mulai gelap. Seorang mandor lokal menyalakan obor. Karena apinya jernih, Ziljlker menyangka kayu yang dipakai si mandor kayu adalah damar tapi ternyata bukan. Mandor mengatakan sumber api yang dipakainya berasal dari tanah liat di kubangan yang tidak jauh dari barak. Masyarakat setempat memang sudah lama memanfaatkan tanah liat dari kubangan itu untuk obor.
Keesokan paginya, Zijlker mengajak anak buahnya meninjau kubangan-kubangan yang dikatakan sang mandor. Setelah ditelaah kubangan-kubangan itu mengeluarkan aroma minyak. Zijlker kemudian tertarik untuk memiliki lahan “basah” itu. Lewat koneksinya di Belanda, Zijlker memperoleh suntikan modal untuk mendirikan perusahaan minyak.
Pada 1883, Zijlker menerima konsesi atas lahan tersebut dari Sultan Langkat. Pada 15 Juni 1885, dilakukan pemboran di sumur telaga tunggal pada kedalaman 121 meter. Pemeriksaan cairan dari kubangan itu di Batavia pada 1886 membuktikan bahwa lahan milik Zijlker mengandung minyak bumi berkualitas. Zijlker yang tadinya tuan kebun yang kurang berhasil kini menjadi raja minyak.
Baca juga:
Merawat Ingatan tentang Pangkalan Brandan
Demikianlah sejarawan Belanda terkemuka H.J. De Graaf mengisahkan penemuan ladang minyak di Telaga Said dalam bukunya Geschiedenis van Indonesie. Temuan itu menjadi cikal bakal pertambangan minyak Pangkalan Brandan; ladang minyak terbesar di Sumatra.
Tonggak Eksploitasi Minyak
Pada 1890, Zijlker mengalihkan konsesinya kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch. Direktur pelaksananya ialah J.A. de Gelder, seorang insinyur berpengalaman di Hindia Belanda dan berkantor pusat di Pangkalan Brandan. Sejak kilang minyak Pangkalan Brandan dibangun pada 1892, Royal Dutch telah memproduksi minyak sebanyak 1.200 ton dari lapangan Telaga Tunggal. Untuk memperlancar distribusi, dibangun beberapa tangki penimbunan dan pelabuhan di Pangkalan Susu yang selesai pada 1898.
“Dari Pangkalan Susu minyak mentah dan kerosin untuk penerangan diekspor ke wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur Jauh,” tulis tim peneliti ESDM suntingan Djoko Darmono dalam Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa: Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia.
Pada 1907, kilang minyak Pangkalan Brandan dikelola Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), anak perusahan dari Royal Dutch bersama Shell. Sumur minyak utama BPM berasal dari kilang minyak Pangkalan Brandan. Dari waktu ke waktu, produksi minyak di Pangkalan Brandan kian meningkat.
Baca juga:
Mendulang Sejarah Tambang Nusantara
Dalam laporannya di Trade Information Bulletin No.11 tahun 1923 berjudul “Petroleum Production and Trade The Dutch East Indies” Albert Thomson Coumbe mencatat, kilang minyak Pangkalan Brandan mampu menghasilkan 10.000 barel minyak mentah per hari. Cadangan minyak mentahnya sebesar 1.000.000 barel sedangkan dalam bentuk bahan bakar hasil penyulingan sebesar 50.000 barel. Angka itu belum termasuk deposit minyak untuk produk olahan. Produktivitas itu menempatkan Pangkalan Brandan sebagai kilang minyak yang terbesar di Sumatra hingga 1920-an.
Sementara itu, jurnalis senior Polycarpus Swantoro dalam Masa Lalu Selalu Aktual menyebut Pangkalan Brandan sebagai tonggak eksploitasi minyak pertama di Indonesia. Eksploitasi tersebut terjadi dalam periode mulai mengalirnya investasi modal di bidang pertambangan. Peralihan orientasi ke sektor pertambangan terjadi karena merosotnya harga komoditas pertanian dan produk olahannya.
Dari Pangkalan Brandan bisnis minyak bumi telah memperlihatkan hasil yang menjanjikan. Kelompok pemodal pun semakin terdorong melakukan kegiatan pencarian dan penemuan minyak bumi di wilayah Hindia Belanda yang lain. Pada paruh kedua abad ke-19 terdapat tidak kurang dari 18 perusahaan besar dan kecil yang terlibat dalam eksplorasi dan pemboran minyak di beberapa daerah tertentu di Hindia Belanda.
Saksi Perjuangan
Menjelang kedatangan Jepang, tentara Belanda merusak semua instalasi kilang minyak Pangkalan Brandan. Walhasil pertambangan minyak di Pangkalan Brandan terlantar selama pendudukan Jepang. Sampai Jepang angkat kaki, produksi minyak di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu hanya sekedar untuk keperluan militer.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, para buruh perminyakan beranggapan bahwa tambang minyak adalah milik bangsa Indonesia. Namun, Belanda yang berniat menjajah kembali juga mengincarnya guna memasok bahan bakar dalam operasi militer. Buruh minyak Pangkalan Brandan berpendirian semua aset telah menjadi milik Indonesia. Lagi pula, lapangan minyak, pipa penyalur, kilang, dan depo telah yang hancur akibat pengeboman oleh Sekutu pada 1943 telah mereka perbaiki.
Para buruh minyak ini kemudian membentuk Laskar Minyak. Bersama Tentara Republik yang dipimpin oleh Mayor Nazaruddin Nasution mereka bergabung dalam Komando Pertempuran Pangkalan Brandan. Pada 13 Agustus 1947, diputuskan membumihanguskan Pangkalan Brandan. Menurut Edi Saputra dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan, rakyat Pangkalan Brandan lebih memilih memusnahkan tambang minyak daripada jatuh ke tangan Belanda.
Baca juga:
Pukul 03.00 pagi, bunyi sirine panjang mendahulu ledakan hebat yang terjadi di tangki-tangki minyak Pangkalan Brandan. Api kemudian merembet ke kilang penyulingan, gedung-gedung hingga pelabuhan. Seminggu lamananya kobaran api melalap Pangkalan Brandan.
Begitu mengetahui pembumihangusan Pangkalan Brandan, pasukan Belanda segera mundur dari kawasan perminyakan. Belanda tidak meneruskan operasi militer lebih lanjut sebab hanya akan berhadapan dengan gerilyawan di wilayah itu. Harapannya untuk menguasai sumber minyak pun pupus.
“Pangkalan Brandan yang terbakar hangus, rata menjadi abu, senantiasa menjadi saksi sejarah akan kegegahberanian rakyat pejuang yang bahu-membahu bergandengan tangan dengan Tentara Republik Indonesia Divisi-X/Komandemen Sumatra,” tulis Amran Zamzami veteran perang front Medan Area dalam Jihad Akbar di Medan Area.