DISINARI sejumlah lampu sorot, gadis-gadis itu semangat melenggak-lenggok di atas panggung. Mengenakan pakaian tradisional berwarna hijau dipadu selendang merah-keemasan dan mahkota warna emas di atas kepala masing-masing, mereka mementaskan satu tarian tradisional dari Riau. Beberapa pemuka masyarakat dan ratusan orang yang hadir menonton dibuat terhibur.
Tarian itu merupakan satu dari sejumlah tarian tradisional yang dipentaskan dalam Festival Multikultur yang dihelat di Taman Bukit Gelanggang, Dumai, Riau pada 17 Juni 2024. Festival tersebut merupakan bagian dari Muhibah Budaya Jalur Rempah yang diadakan TNI AL.
Dalam muhibah itu, TNI AL mengerahkan KRI Dewaruci. Kapal layar legendaris itu mengangkut rombongan laskar rempah, jurnalis, dan para peneliti yang mendalami sejarah rempah.
Riau menjadi satu dari sekian titik yang disinggahi KRI Dewaruci dalam muhibah kali ini. Selain karena kekayaan budayanya, Riau punya peran penting karena juga kaya sejarah dan ekonomi.
Beberapa tahun terakhir, kelapa sawit telah dianggap sebagai tanaman penghasil uang di Riau – yang sejak dulu dianggap sebagai provinsi kaya– dan beberapa daerah di Indonesia. Sawit dikenal sebagai bahan baku minyak goreng dan beragam produk lain mulai dari sabun hingga kosmetik. Di Riau, pohon sawit dapat ditemukan di sepanjang jalan Pekanbaru-Dumai. Dari udara pun tanaman sawit terlihat di sekitar ibukota provinsi, Pekanbaru.
Selain sawit, sejak lama Riau dikenal sebagai penghasil minyak bumi. Sumur-sumur minyak di Riau terdapat di daratan pedalaman. Kini, di Riau terdapat Blok Rokan dan Blok Kampar. Kampar, disebut Teuku Moehammad Hasan dalam Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional, memiliki cadangan minyak sebesar 1000 milyar ton, jauh lebih banyak daripada persediaan minyak California, Amerika Serikat (AS).
Rokan dan Kampar bukanlah nama baru di Riau. Kedua nama tempat itu tergolong tua dalam sejarah. Setidaknya, seorang pejabat Kerajaan Portugis pada awal 1500-an sudah mencatatnya. Tome Pires, si juru tulis Portugis itu, mencatat daerah Rokan dan Kampar sebagai sebagai sebuah negeri. Barangkali mirip nagari di Minangkabau yang punya wali nagari. Negeri Rokan dan Kampar yang di masa lalu merupakan sekutu Malaka, bisa pula berupa kerajaan kecil atau daerah otonomi khusus.
Minyak mulai diusahakan sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1939, di Minas, daerah Rokan, geolog Amerika Walter Nygren menemukan sumur minyak. Pendahulu Chevron, yakni Caltex, perusahaan minyak milik AS, kemudian mengelolanya. Dua tahun kemudian, minyak ditemukan di Duri dan pengelolanya juga Caltex. Setelah Belanda tak berkuasa di Indonesia lagi, Caltex terus beroperasi. Eks Letnan Kolonel TNI Julius Tahija menjadi salah satu petinggi Caltex Indonesia.
Caltex bisa beroperasi tanpa gangguan dari pemerintah Republik Indonesia. Ketika Pemerintah Republik Revolusioner Indonesia (PRRI) memberontak pada 1958, satu batalyon marinir AS yang sedang berlibur di Singapura, yang berseberangan dengan Riau, hampir dikerahkan ke sana oleh Washington.
“Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika Serikat yang baru saja diangkat, sehari sesudah tiba di Jakarta segera menemui Perdana Menteri Djuanda. Jones, dengan didampingi oleh seorang pejabat tinggi perusahaan minyak Caltex, mendesak pemerintah Indonesia untuk secepatnya melindungi keselamatan jiwa dan investasi Amerika Serikat di wilayah Riau Daratan. Kedua tamu ini juga mengisyaratkan ancaman, jika pemerintah Indonesia memang tidak mampu untuk mengamankan wilayahnya, kesatuan militer Amerika Serikat terpaksa akan membantu menyelamatkan para warganya yang bekerja di tambang-tambang minyak di sana,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.
Namun marinir-marinir AS itu tak pernah masuk dengan bedil mereka ke Riau. Yang masuk hanyalah dana dan persenjataan bantuan negeri itu kepada para pemberontak. Bantuan itu disaksikan betul oleh Lettu RPKAD LB “Benny” Moerdani, komandan Kompi A RPKAD (kini Kopassus), saat bersama pasukannya diterjunkan TNI untuk merebut bandara Simpangtiga, Pekanbaru dan menguasai Riau.
“Bukan hanya tumpukan uang yang mereka temukan. Berpeti-peti perbekalan, makanan kaleng serta berbagai macam peralatan militer yang masih baru, terbungkus rapi dalam kotak, seluruhnya ditemukan telah siap di atas truck,” sambung Pour.
Setelah 1960-an, minyak terus diproduksi di sana. Alhasil,i industri minyak menjadi impian menarik banyak para pencari kerja. Berkat minyak, Riau punya kota yang mirip kota-kota kecil Amerika di era 1950-an. Luhut Binsar Panjaitan atau Sandiaga Uno adalah bocah yang orang tuanya pernah bekerja di sekitar ladang minyak di Riau.
Jauh sebelum minyak menjadi penyumbang kekayaan Riau, rempah-rempahlah yang menjadi penyumbang kekayaan di raja-raja kecil yang berkuasa. Sebelum ada jalan darat besar, sungai adalah penghubung antar-daerah sekaligus antar-kebudayaan.
“Sungai Rokan, di sebelah utara Siak, yang merupakan sungai terbesar di pulau ini, jika tidak dianggap sebagai saluran masuk laut, bermuara di negeri Rau, dan dapat dilayari oleh kapal-kapal kecil hingga jarak yang sangat jauh dari Siak. Namun kapal-kapal terhalang untuk memasukinya karena derasnya arus, atau lebih mungkin lagi karena naiknya air pasang,” catat Willem Marsden, History of Sumatra.
Sungai Rokan menjadi sumber kehidupan Kerajaan Rokan. Agama juga datang ke Rokan lewat sungai. Anwar Syair dkk dalam Sejarah Daerah Riau menyebut bahwa Rokan berasal dari kata Rokana dalam bahasa Arab, yang berarti rukun dan damai. Disebutkan bahwa rakyat Kerajaan Rokan hidup rukun dan damai. Kerajaan ini muncul sebelum Islam datang. Diperkirakan, sekitar abad ke-14 kerajaan ini sudah ada.
Setelah abad ke-15, Rokan menjadi kerajaan Islam. Ada yang menyebut Rokan menerima Islam itu dari Limo Koto, Sumatera Barat. Sementara, yang lain menyebut Islam datang ke Rokan dari Malaka. Syair dkk. menyebut Sultan Mansyur Syah (1459-1477) dari Malaka mengutus dua pendakwah bersaudara bergclar raja Harimau dan raja Ganjut. Keduanya berbagi tugas: Raja Harimau menyebarkan Islam ke hulu sungai Rokan Kiri, sedang raja Ganjut ke sungai Rokan Kanan. Di Rokan Kiri, Islamisasi tergolong lancar. Banyak penduduk di sana menerima agama Islam. Sebagian penduduknya adalah pelarian dari Kuntu atau Kampar. Sementara di Rokan Kanan, penduduknya yang enggan masuk Islam memilih masuk hutan di daerah Bonai.
Dulunya, sebagaimana disebut Tome Pires dalam Suma Oriental, daerah Rokan merupakan daerah penghasil emas, beras, dan bahan makanan lain. Apa yang dihasilkan Rokan sebagian dibawa ke Malaka lewat sungai. Rokan juga terlibat dalam perdagangan budak.
Secara politik, Rokan merupakan sekutu Malaka. Jika raja Malaka butuh pasukan untuk berperang, maka Rokan harus berada di pihak Malaka.
Rokan bersebelahan dengan Kampar. Kampar adalah daerah yang kaya rempah. Setelah Sriwijaya runtuh dan Dinasti Mamluk dari Mesir berjaya di Timur Tengah, pedagang dari Timur Tengah berdatangan ke sana.
“Pada zaman keemasan Dinasti Mamluk inilah pedagang-pedagang dari negeri-negeri Mesir, Marokko, Persia dan lain-lain kembali berhubungan dengan daerah Riau, khususnya Kuntu atau Kampar,” catat Anwar Syair dkk.
Pedagang-pedagang Timur Tengah itulah yang membawa masuk Islam ke Kampar. Alhasil Islam masuk ke Kampar lebih dahulu daripada Rokan.
Meski berada di pedalaman Riau, Kampar dan Rokan adalah daerah yang terkait jalur rempah. Seperti Siak, Dumai dan daerah-daerah pesisir Riau, Kampar dan Rokan punya peran penting. Oleh karenanya, Riau menjadi tujuan Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024.