DARI Pelabuhan Tanjung Bruas, Malaka, KRI Dewaruci lepas tali sekitar pukul 14.00 waktu setempat tanggal 3 Juli 2024 guna menyusur ke arah selatan. Sekira pukul 6.00 keesokan paginya, Dewaruci sudah menyusuri perairan Singapura-Batam. Tampak dari kejauhan Singapura begitu megah dengan gedung-gedungnya. Dari kejauhan pula Batam terlihat kalah gemerlap.
Batam begitu terkenal di Kepualauan Riau. Daerah yang sedari dulu hingga kini sangat strategis itu hanya dipisahkan selat selebar kurang dari 20 km dari Singapura, yang sejak dulu merupakan pelabuhan internasional. Batam juga dekat dengan Pulau Bintan, Pulau Bulan, dan pulau-pulau kecil lainnya. Daerah ini dulunya dikenal dengan Segantang Lada.
Gelar Segantang Lada, menurut Dedi Arman dalam Usaha Perkebunan Lada di Kepulauan Riau Abad 19 yang dimuat di Jurnal Jantra Volume 17 Nomor 1 Bulan Juni 2022, muncul pada 1970-an dari seniman Moh. Daud Kadir untuk merepresentasikan Kepulauan Riau yang punya banyak pulau dan dulunya adalah penghasil lada. Dulu, lada adalah barang dagangan di Batam.
“Harga lada di Batam meroket karena ada persaingan dari pembeli-pembeli Belanda, Inggris, dan Cina,” kata Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Kini, Batam bukan lagi penghasil lada. Batam kini ramai sebagai kota pelabuhan-industri dan niaga. Penanaman lada di Kepualauan Riau pun lebih belakangan dibandingkan Lampung, Banten, Aceh, dan daerah-daerah pesisir Selat Malaka lainnya.
Batam dulunya adalah sebuah kampung pesisir. Salah satu kampung yang ada didirikan Nong Isa, yang belakangan dikenal sebagai Nongsa.
Lada mulai ditanam Batam dan sekitarnya pada abad ke-18. Kebun lada banyak dimiliki orang Melayu yang turun-temurun tinggal di sekitar Batam dan orang Bugis yang merantau dari Sulawesi Selatan. Belakangan, orang Tionghoa yang mula-mula datang sebagai kuli pun ada yang punya kebun lada.
Di seberang Batam, tepatnya di Pulau Bintan, perdagangan lada di masa lalu juga terjadi. Raja Ali Haji yang bertakhta di Pulau Penyengat menyebut lada pada abad ke-19 ditanam di Senggarang dan Bintan. Menurut catatan Dedy Arman, di Bintan lada diperdagangkan bersama gambir.
Bintan adalah satu dari sekian pulau dan merupakan yang terbesar di Kepulauan Riau. Selain merupakan pusat administratif dan lebih ramai penduduknya daripada Batam, Bintan di masa lalu jauh lebih dikenal daripada Batam. Petualang Venesia bernama Marco Polo (1254-1324), yang pernah singgah di sana dalam pelayarannya dari Tiongkok pada 1292, menyebutnya Pantan.
“Asal-muasal nama Bintan yang melegenda mungkin masih perlu direnungkan, namun faktanya bagian terdalam pulau ini, yang meliputi Gunung Bintan dan Sungai Bintan, benar-benar menyimpan akar budaya dan identitas Bintan. Nama pulau ini sendiri diambil dari nama daerah tersebut dimana kata Bintan selalu mendahului sebutan suatu tempat, seperti pada kasus Bintan Bukit Batu. Orang Melayu awalnya hanya menamai sebagian pulau saja, dan Belandalah yang memperluas penggunaan nama sungai dan gunung tersebut ke seluruh pulau,” tulis Gilles Massot dalam Bintan, Phoenix of the Malay Archipelago.
Kepulauan Riau pernah berada dalam kuasa Kerajaan Sriwijaya. Bintan menjadi daerah terluarnya. Setelah Sriwijaya memudar pengaruhnya di Sumatra dan sekitarnya, banyak daerah di Segantang Lada menjadi merdeka.
“Dari ibu kotanya yang terletak di pedalaman di sepanjang Sungai Musi dekat kota yang sekarang dikenal dengan nama Palembang, Sriwijaya melakukan monopoli atas perdagangan produk-produk oriental yang berharga yang dibawa oleh perahu-perahu yang melintas di sepanjang pantai. Kekuatan Sriwijaya muncul dari pemerintahannya yang terorganisir dengan baik, yang pengaruhnya, pada puncak kekuasaannya, meluas ke seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand bagian selatan, dan Jawa bagian timur,” sambung Gilles Massot.
Sebagai negeri-kerajaan berdaulat, Bintan tentu punya pemerintahan. Namun, tidak banyak sumber yang mendokumentasikannya.
“Rajanya yang diketahui bernama Azhar Aya dan setelah mangkat digantikan oleh Iskandar Syah. Setelah Iskandar Syah wafat digantikan oleh permaisurinya sendiri karena tak mempunyai keturunan sebagai penggantinya,” catat Anwar Syah dkk dalam Sejarah Daerah Riau.
Ketika permaisuri Iskandar Syah berkuasa, Bintan kedatangan Sang Sapurba, yang berakar dari Palembang sekitar abad ke-13. Sang Sapurba melakukan perjalanan dari daerah asalnya, daratan Sumatra. Ketika berada di Tanjungpua, dia menikahkan anaknya dengan putri raja Tanjungpura. Ketika berada di Minangkabau, Sang Sapurba juga diminta menjadi raja di Minangkabau. Di Bintan, Sang Sapurba juga menikahkan anaknya dengan putri raja Bintan. Sang Sapurba kemudian menuju Kuantan, ibukota Negeri Pahang, Malaysia. Di sana, Sang Sapurba kemudian juga menjadi raja.
Permaisuri Iskandar Syah menyambut Sang Sapurba dan kemudian Sang Nila Utama, anak Sang Sapurba, dijadikan anak angkat permaisuri. San Nila Utama kemudian diangkat sebagai raja di Bintan.
Sang Nila Utama yang ikut membangun Tumasek alias Singapura itu kemudian bergelar Sri Tan Buana. Anak keturunan Sang Sapurba kemudian membuat Singapura (Tumasek), Bintan, Kuantan dan Tanjungpura menjadi punya hubungan kekeluargaan. Bintan adalah kerajaan yang suka menjalin persahabatan dengan banyak kerajaan di Selat Malaka, termasuk Malaka. Bahkan, dengan dengan Kerajaan Siam (Thailand) yang berbeda agama pun Bintan bersahabat.
Bintan sempat menjadi kerajaan dengan wilayah luas di kawasan Segantang Lada. Pulau-pulau di sekitarnya sempat menjadi wilayahnya. Belakangan setelah Kerajaan Malaka runtuh, Bintan menjadi bagian dari Kemaharajaan Melayu. Bintan bahkan menjadi ibukota kemaharajaan sekitar tahun 1613, ketika Kerajaan Aceh (zaman raja Iskandar Muda) menyerang Kemaharajaan Melayu.
“Sejarah dua kerajaan Melayu: Melaka dan Johor-Riau, di mana Bintan memainkan peran penting, merupakan laporan yang berbelit-belit. Ini adalah sejarah yang penuh kemegahan dan kejayaan, persaingan dan pengasingan, serta perselisihan dinasti yang tiada akhir. Sifat yang kontras dan sulit dipahami pada inti sejarah kerajaan ini dapat dilihat sebagai cerminan dari naik turunnya air laut dan muara pasang surut yang menjadi tempat kehidupan masyarakat Melayu diatur,” tulis Gilles Massot.