Masuk Daftar
My Getplus

Miskinnya Sisingamangaraja XII

Sebelum Belanda datang, penguasa lain sudah memiskinkannya. Padahal keluarga Sisingamangaraja kaya turun-temurun berkat monopoli kapur barus dan kemenyan.

Oleh: Petrik Matanasi | 26 Jul 2024
Sisingamangaradja XII, rajat Tanah Batak yang tak lagi kaya seperti para pendahulunya lantaran kehilangan monopoli kapur. (Sampul buku "Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII")

KAPUR (Dryobalanops aromatica) sebagai tanaman kini hampir tak dikenal orang. Di daerah penghasilnya, Kabupaten Pakpak, Sumatera Utara pun masyarakat tak mengetahui tanaman penghasil kapur barus tersebut.  

“Ditanya [kepada] warga, kapur gak tahu,” ujar Ichwan Azhar, pengajar sejarah di Universitas Negeri Medan (Unimed).

Berangkat dari realitas tersebut, Ichwan terpacu untuk menelitinya. Berbekal rekannya yang –sesama dosen– menjadi wakil bupati kabupaten tersebut, Ichwan menelusuri hutan alam yang ada di sana beberapa tahun belakangan.

Advertising
Advertising

“Setelah kami telusuri, ada dan masih dicari (orang) di hutan. Harganya Rp700.000 satu botol. Satu botol minuman limun itu,” sambungnya.

Harga tersebut bisa berlipat hingga jutaan rupiah jika diolah menjadi parfum dan beragam produk turunaan lainnya. Nilai ekonomis tinggi itu pula yang membuat kaya Dinasti Sisingamangaraja di Tanah Batak dulu.

Baca juga: Cerita di Balik Gambar Sisingamangaraja XII

Bukan hal aneh jika raja yang berkuasa umumnya kaya. Selain memungut pajak, umum raja ikut berdagang juga. Bahkan, memonopoli perdagangan di wilayah kekuasaannya.

“Sisingamangaraja dinasti di dalam periode lebih-kurang 1550-1819, dapat menimbun begitu banyak harta berupa gold and jewelries (emas dan perhiasan), karena mereka selama 10 generasi menguasai monopoli kemenyan serta monopoli camphor,” catat Mangaradja Onggang Parlindungan dalam Tuanku Rao.

Apa yang dimaksud champor adalah kapur barus. Daerah Sumatra Utara pada masa lalu terkenal sebagai penghasil kapur barus. Kapur barus ini bukan kapur barus yang biasa dipakai dalam keseharian rumah tangga orang Indonesia sekarang, untuk melawan serangga. Kapur barus masa lalu adalah air kapur yang bisa diminum.

Air kapur yang bisa diminum itulah yang asalnya dari pohon kapur atau sering disebut kapur (kafuur dalam bahasa Arab). Tanaman kapur sendiri hanya ada di Sumatra, Kalimantan, dan Malaysia. Dalam paper-nya berjudul “Politik Hisotriografi Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara” di Jurnal Sejarah dan Budaya Universitas Ngeri Malang (1 Juni 2017), Ichwan menyebut perdagangan kapur sudah terjalin sejak abad ke-2 Masehi. Dari perdagangan itu, orang Barus terkoneksi dengan orang Arab, yang bisa jadi juga melalui orang India.

Baca juga: Siapa Penembak Sisingamangaraja XII?

Kapur barus telah dikenal di dunia Arab jauh sebelum Islam muncul. Bahkan jauh sebelum itu, kapur itulah yang digunakan orang-orang Mesir untuk membalsam mayat para firaun. Satu dari banyak kegunaan kapur barus itu terus dimanfaatkan orang-orang Arab hingga setelah Islam muncul. Dalam sebuah haditsnya, Nabi Muhammad SAW memerintahkan penggunaan kapur itu untuk prosesi pensucian jenazah sebelum disholatkan.

“Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih daripada itu dengan air dan daun bidara. Pada akhirnya taruhlah kafuuran (kapur barus) atau sedikit kapur barus,” demikian nabi bersabda yang diriwayatkan Ummu Athiyah.

Jadi, sebelum Sisingamangaraja I berkuasa pun kapur sudah diperdagangkan dan ikut memperkaya penguasa tanah Batak sebelum dirinya. Namun, raja-raja di Sumatra tak punya kebiasaan membangun istana megah dari batu mahal seperti raja-raja di Jawa. Para raja di Sumatra lebih suka membelanjakan harta mereka untuk hal-hal yang bernilai ekonomis ketimbang konsumtif semata, semisal untuk perhiasan. Perhiasan raja-raja Sumatra bisa berasal dari luar negeri, seperti dari Srilangka atau India.

Kebiasaan itu berlanjut terus. Di tanah Batak, Sisingamangaraja juga melakukannya. Maka tak heran demikian bila tidak pernah ditemukan istana megah yang dibangun Sisingamagaraja.

Baca juga: Aksi Nommensen di Tanah Batak

Sayangnya, tak semua raja dengan gelar Sisingamangaraja kaya-raya berkat kapur barus. Apalagi setelah pelabuhan-pelabuhan di Sumatra Utara dikuasai Belanda.

“Sesudah tahun 1819, Sisingamangaraja XI serta Sisingamangaraja XII tidak lagi memegang monopolis tersebut dan tidak lagi kaya raya seperti Sisingamangaraja X,” catat Mangaradja Parlindungan.

Hilangnya monopoli atas kapur itu disebabkan karena serangan orang-orang Padri ke Bakara, pusat kekuasaan Sisingamangaraja. Pasukan Padri dari Sumatra Barat yang dipimpin Tuanku Lelo itu berhasil mengalahkan Sisingamangaraja X. Tuanku Lelo lalu menjadi warlord di sana, termasuk mengatur perekonomian setempat.

Selain itu, Tuanku Lelo juga merampasi perhiasan milik keluarga raja yang banyaknya sekitar 1.000 kg. Jadi, sebelum tentara KNIL menyerbu Bakara untuk menghabisi Sisingamangaraja XII, orang-orang Padri sudah merampok Bakara.

“Harta kerajaan di masanya Sisingamangaraja XII memang tidak sebegitu besar, bila dibanding dengan masa kejayaan nenek moyangnya dahulu,” catat Augustine Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII.*

TAG

batak sisingamangaraja xii rempah-rempah

ARTIKEL TERKAIT

Pilih Cabai atau Lada? Kembali ke Sunda Kelapa Ziarahi Raja Ali Haji Portugis Kena Prank di Malaka Portugis Menangis di Selat Malaka Malaka: Imperium Negeri Jiran Raja Terakhir Singapura Bangun Malaka Perwira Prancis Beli Lada dapat Prank Raja Perkasa Alam Kuat dan Paranoid Pedir Kaya Jual Merica