Masuk Daftar
My Getplus

Pilih Cabai atau Lada?

Jika Anda butuh pedas dan kehangatan, lada dan cabai bisa jadi pilihan. Di Indonesia, cabai yang berasal luar lebih difavoritkan daripada lada.

Oleh: Petrik Matanasi | 01 Agt 2024
Cabai dan lada merupakan tanaman penghasil pedas favorit di Indonesia. Cabai dari luar sedangkan lada asli Nusantara. (Petrik Matanasi/Lada/Historia.ID).

CABAI atau cabe bukan satu-satunya bahan makanan yang menghasilkan rasa pedas. Lada, salah satu rempah terpenting di masa lalu, juga menghasilkan pedas. Karena itulah orang Eropa dulu sangat membutuhkan lada.

“Lada menghangatkan perut dan menghilangkan lendir-lendir dingin perut,” kata Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta 1.

Dari kebutuhan itulah perdagangan lada berkembang pesat abad ke-17. Nusantara menjadi salah satu penghasil terpentingnya.

Advertising
Advertising

Namun kendati sebagai penghasil, di Nusantara lada kurang dipakai sebagai bumbu masak. Lada hanya menjadi komoditas yang membuat raja dan pedagang lada menjadi kaya. Orang  pribumi tentu tidak membeli lada, jika bisa mereka menjualnya. Sebab pedagang asing akan membelinya untuk dijual lagi dengan harga jauh lebih mahal ke Eropa. Jika orang pribumi tak menginginkannya, orang Eropa tentu berharap lada mudah didapat dengan harga murah.

Baca juga: Pedasnya Cabai, Sedapnya Sambal

Beberapa orang asing sampai heran dengan tidak dijadikannya lada sebagai bumbu penting masakan di Nusantara. Termasuk di Sumatra yang makanannya tergolong kaya rempah itu.

“Agak mengherankan, lada biasa yang dihasilkan sebagai komoditas utama di Sumatra tidak pernah terkomposisi dalam makanan. Mereka menganggap lada membuat darah panas,” catat William Marsden, pegawai Inggris di Bengkulu dari 1771-1779, dalam History of Sumatra.

Sejak lama orang Sumatra lebih mengandalkan cabai untuk mendapatkan rasa pedas. Marsden sendiri punya pengalaman menikmati cabai yang tidak memanaskan darah itu. Kala itu, kata Marsden, nasi adalah makanan utama orang Sumatra. Lalu, daging fungsinya sebagai pendamping nasi (lauk) kendati dimakan lebih banyak daripada yang lainnya. Bahkan, seringkali daging dimakan tanpa pendamping selain garam dan cabai.

Baca juga: Lampung Tanam Lada Gegara Banten Jualan

Thomas Stanford Raffles (1781-1826), yang ke Nusantara jauh setelah Marsden dan pernah menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1816) dan Bengkulu (1818-1824), juga melaporkan hal yang sama. Pedas dalam masakan Sumatra juga masih bukan berasal dari lada.

“Lada hitam jarang dipakai untuk memberi rasa pedas pada masakan, seperti juga pada orang Melayu. Bumbu yang paling sering dipakai untuk memberi rasa pedas adalah lombok (sebutan lain cabai), yang apabila ditumbuk dengan garam dinamakan sambal,” catat Thomas Raffles dalam History of Java.

Seperti di Jawa, orang Sumatra juga mengenal sambal. Rasa pedas cabai dari dulu hingga kini sudah menjadi kebutuhan banyak orang sehingga sambal tetap menjadi pemandangan umum dalam setiap sajian makan hingga kini.

Baca juga: Cabai dari Amerika ke Nusantara

Padahal, di masa lalu cabai adalah bahan makanan yang harganya mahal seperti daging. Lalu, asal tanamannya pun dari luar meski pohon cabai tumbuh di banyak tempat di Nusantara.

“Jelas, sensasi pedas cabai yang notabene dibawa dari benua Amerika sejak abad ke-16 telah menggeser pedas lada yang dirasa penduduknya pribumi lebih membuat darah panas,” tulis Fadly Rahman dalam dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia.

Cabai adalah tanaman baru yang sukses mempengaruhi kuliner di Nusantara, setidaknya Jawa dan Sumatra. Cabai mampu menggeser lada yang pedasnya sampai perut. Nusantara yang panas tropis tentu tak membutuhkan panas sampai perut. Pedas atau panas cukup di lidah saja.

Pedas cabai dianggap menyegarkan. Itulah yang membuat orang-orang Sumatra menggemarinya. Hubert Joseph Jean Lambert Ridder de Steurs, residen Padang periode 1824-1829, pernah mendengar dari orang Padang soal perbedaan pedas lada hitam dan cabai. “Pedas di mulut, nyaman di lambung, tapi yang hitam (lada) membuat panas mulut dan perut,” begitu kata orang pribumu yang didengar Steurs.*

TAG

lada rempah-rempah kuliner thomas stamford raffles

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Drama Raja Pedir Miskinnya Sisingamangaraja XII Kembali ke Sunda Kelapa Ziarahi Raja Ali Haji