DARI bentuk dan bungkusnya yang berbahan daun pisang, tak ada yang istimewa dari makanan asal Sulawesi Selatan itu. Bentuknya umum, trapesium. Pun bahan-bahan pembuatnya, seperti pisang dan gula, umum digunakan pada kue-kue basah atau makanan-makanan lain dari berbagai daerah di nusantara. Tapi siapa sangka, Barongko, nama kue itu, dulu merupakan makanan bergengsi.
Ada yang bilang, Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape (1631-1670) alias Sultan Hasanuddin yang bertakhta di Kesultanan Gowa dari 1653 hingga 1669, suka makanan yang satu ini. Memang sulit memastikannya. Namun ketika Kesultanan Gowa berjaya, barongko merupakan hidangan istimewa.
“Pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa, Barongko menjadi makanan penutup istimewa, yang hanya disajikan untuk raja-raja pada acara-acara spesial,” begitu yang tercatat dalam Peranti Saji Indonesia: Kuliner dan Penyajiannya (2013:67).
Jika raja atau sultan di Gowa memakannya dalam acara-acara istimewa, bukan tak mungkin Sultan Hasanuddin juga ikut menyantapnya. Konon, barongko dulu hanya bisa dinikmati oleh kaum bangsawan yang dekat dengan raja.
“Barongko itu sendiri merupakan kue khas Bugis Makassar yang terbuat dari pisang yang dihaluskan kemudian diberi telur, santan, gula, dan garam yang dibungkus dengan daun pisang kemudian dikukus, dan disajikan dalam keadaan dingin lebih nikmat,” catat Andi Anna Rahayu dalam Makassar Cooking Club.
Sebagai makanan orang Bugis-Makassar, barongko punya filosofi tersendiri terkait kehidupan orang Makassar. Dari namanya, barongko merupakan singkatan dari barangku mua udoko, yang artinya pisang di dalam itu pembungkusnya ya daun pisang,” terang penceramah agama asal Makassar, Das’ad Latif, dalam Berbahagialah, Tuhanmu Maha Pengampun.
Singkatnya, barongko itu kue pisang yang jujur. Dibungkus daun pisang tapi isinya juga pisang. Berbeda dari pepes, luarnya daun pisang namun dalamnya ikan.
Menurut Alfiandra dan Mariyani dalam Ensiklopedia Kesukuan di Indonesia, perihal membungkus bagi orang Bugis-Makassar juga terkait amalan menjaga harga diri atau Siri bagi diri sendiri maupun keluarga.
Namun, lambat laun barongko tak ekslusif makanan bangsawan. Siapapun bisa menyantapnya. Maka barongko pun menjadi makanan khas masyarakat Bugis-Makassar. Lantaran itulah barongko juga menghiasi hidup dua mantan wakil presiden Indonesia asal Sulawesi Selatan, Baharuddin Jusuf Habibie dan Muhamad Jusuf Kalla.
“Dan kue kegemarannya adalah barongko,” catat Ahmad Makmur Makka, menggambarkan kesukaan Habibie, dalam Mr Crack Dari Pare-pare.
Habibie yang sempat sebentar menjadi presiden tak pernah jauh dari barongko ketika masih sekolah di Makassar. Barongko menjadi satu dari beberapa makanan Makassar kesukaannya seperti Putu Pesse dan Sanggara Bandang. Meski begitu dia juga memakan makanan yang umum dimakan oleh anak-anak lain. Terlebih ketika telah merantau, penyuka bubur Manado itu jelas bertemu dengan berbagai jenis makanan dari berbagai bangsa.
Sementara, Jusuf Kalla ingat bagaimana barongko menemaninya ketika masih bocah. Barongko adalah kenangan indah Jusuf Kalla bersama Athirah, ibunya yang disapanya Emma.
“Aku duduk di kursi kayu dalam dapur. Tanganku sudah menjamah kue barongko yang kelima. Sungguh lezat barongko buatan Emma. Santan dan gulanya terasa pas. Kepadatan dan empuknya sempurna,” kenangnya seperti digambarkan Albertine Endah dalam Athirah.