USAI bermalam menunggu jadwal sandar, pada Jumat (5 Juli 2024) pagi KRI Dewaruci mulai mendekati dermaga Lantamal Tanjung Uban, Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kepri). Ketika dermaga makin dekat, Kelasi Dua Robi Nugraha melemparkan tali kecil ke arah dermaga sehingga kapal bisa ditambatkan ke dermaga. Kapal pun kemudian bisa merapat dengan sempurna di dermaga.
Setelah disambut dengan pemberian kerudung dan tanjak (ikat kepala khas Melayu), komandan Dewaruci dan para peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) disuguhi musik dan tari rakyat Melayu nan enerjik dan gembira di gedung serbaguna Kompleks Lantamal. Setelahnya, para peserta MBJR naik bus menuju Tanjung Pinang. Perjalanan Tanjung Uban-Tanjung Pinang memakan waktu sekitar satu jam dengan menyusuri pesisir barat Pulau Bintan.
Sesampai di Tanjung Pinang, para peserta MBJR naik kapal kecil yang disebut Kepompong. Tujuannya adalah Pulau Penyengat, yang berjarak sekira 1,5 km dari Pulau Bintan. Perjalanan laut ini memakan waktu 15 menit saja.
Menurut cerita rakyat yang beredar, Pulau Penyengat suatu kali didatangi pelaut yang mencari air. Namun, di sana pelaut itu mendapat sengatan binatang. Penyengat sendiri punya cadangan air tawar yang banyak hingga kerap disinggahi dan kini banyak terdapat jejak sumur yang biasa disebut “perigi”.
Setelah tiba di dermaga, dengan hanya berjalan kaki melewati kedai-kedai makanan yang bau bakarannya lezat, sebuah masjid kuno terlihat. Ketika para peserta MBJR tiba di sana, adzan shalat Jumat berkumandang. Kaum lelaki banyak beranjak ke masjid yang hari itu ramai. Di awal khutbahnya, khatib menyinggung-nyinggung Raja Ali Haji dengan mengutip pesannya dalam Gurindam Duabelas.
“Hati itu kerajaan dalam tubuh,” kata Raja Ali Haji dalam Gurindam pasal Keempat, seperti dikutip sang khatib Jumat itu. “Hati adalah bagian terpenting dalam diri kita,” sambung khatib menjelaskan hati adalah penentu baik dan buruknya amalan manusia.
Raja Ali Haji barangkali bukan raja dengan wilayah yang luas. Namun, kecerdasannya dalam bahasa dikenang dalam sejarah kebudayaan Melayu.
Raja Ali Haji merupakan cucu Raja Haji Fisabilillah alias Yang Dipertuan Muda Riau IV. Menurut beberapa catatan, dia adalah putra dari Opu Daeng Cellak (Yang Dipertuan Muda Riau II) dengan Tengku Puan Mandak binti Sultan Abdul Jalil IV, yang lahir sekitar 1725 dan naik tahta pada 1777 menggantikan sepupunya sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV.
Dari namanya, Opu Daeng Cellak adalah keturunan Sulawesi Selatan. Kakek Ali Haji ini, disebut Anwar Syair dkk. dalam Sejarah Daerah Riau, pernah memimpin armada Melayu untuk menyerang Malaka yang dikuasai VOC Belanda di masa perdagangan rempah-rempah sedang marak di Asia Tenggara.
Selesai shalat Jumat, sebuah jamuan dihidangkan di dua pondok depan masjid. Nasi minyak dengan beberapa lauk berkuah dan berbahan rempah dihidangkan. Setelah makan siang nan lezat itu, sebuah mini museum di depan masjid dibuka. Terlihatlah di sana Al-Quran kuno yang umurnya diperkirakan ratusan tahun. Mushaf Ali bin Abdullah Al Bugisi sebutannya. Manuskrip Al-Quran ini berasal dari Kedah, ketika Sultan Muhamad Jiwa berkuasa di Kedah. Itu merupakan salinan dari Ali bin Abdullah yang berasal dari Wajo, tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Naskah itu berada di Riau karena dibawa Raja Haji Fisabilillah sepulang berperang di Kedah, Malaysia.
Malamnya, 5 Juli 2024 itu, di Balai Adat Penyengat, diadakan pembukaan Festival Ali Haji untuk mengenang kecerdasan dan kepeloporan Raja Ali haji dalam perkembangan bahasa dan sastra di Indonesia. Sebuah lagu pop yang mengenang raja Ali Haji juga dinyanyikan pada malam itu. Raja Ali Haji yang bersemayam bersama para bangsawan Penyengat lain di pulau mungil itu dianggap tak pernah mati.
Dunia literasi di Penyengat amat ramai. Itu karena keterbukaannya. Penyengat terhubung dengan negeri-negeri Islam dan juga visionernya raja dalam membuka pikirannya.
“Maka negeri-negeri itu mengirim buku-buku agama Islam ke Penyengat, sebagai bantuan bagi perpustakaan Penyengat,” catat Anwar Syair dkk.
Berkat kitab-kitab dari luar itu, belakangan Penyengat menjadi pusat pengajaran agama Islam. Raja Ali Haji, yang mengikuti semangat pembaharuan yang dirintis ayahnya, sendiri tumbuh di masa kitab-kitab dari luar tersimpan di Penyengat.
“Pada 1828 Raja Haji Ahmad dan putranya Raja Ali Haji berangkat haji ke Mekah. Hal ini menandakan adanya pembaharuan minat terhadap Islam dan komitmen terhadap ajaran para cendekiawan Muslim saat itu yang mulai mengunjungi pulau tersebut. Karena tidak mampu lagi melawan Belanda secara fisik, para bangsawan setempat memilih mengungkapkan kebanggaannya dengan lebih mendefinisikan identitas budayanya. Mereka pertama kali mengumpulkan buku-buku asing dan segera mulai menyusun buku-teks mereka sendiri,” tulis Gilles Massot dalam Bintan Phoenix of the Malay Archipelago.
Raja Ali Haji merupakan penulis yang produktif. Yang lebih penting, dia menghidupkan spirit literasi di wilayahnya dan juga mengabadikan bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa pergaulan sehari-hari hingga dipilih menjadi bahasa Indonesia.
“Memang lingkungannya itu memungkinkan di sini. Ada Perpustakaan,” terang Aswandi Syahri yang mengelola Galeri Kutubkhanah Marhum Ahmadi di Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat. “Raja-raja lain di Penyengat juga dibiasakan dengan bacaan sebelum menjadi Yang Dipertuan.”