KEMALINGAN merupakan hal tak mengenakkan. Terlebih bila yang dicuri adalah benda bernilai historis dan pemilik benda yang dicuri merupakan seorang raja. Sungguh keterlaluan si maling. Tapi itulah nasib yang dialami Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau lebih dikenal sebagai Sultan Syarif Kasim II dari Siak, Riau pada paruh kedua 1960-an.
Sultan Syarif Kasim II, yang lahir pada 1 Desember 1893, merupakan sultan Siak ke-12. Dia naik takhta pada 3 Maret 1915, menggantikan ayahnya, Syarif Kasim I. Syarif Kasim adalah keturunan Sultan Djalil Rahmat Sjah Radja Ketjil yang pernah memerintah Johor, Malaysia namun pindah ke Riau pada 1719 sebagai penguasa Siak.
Syarif Kasim I, disebut Marleily Rahim Asmuni dkk. dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau, menggalakkan pertanian dan perkebunan di wilayah kerajaannya. Pada 1884, dia memberi konsesi tiga pabrik penggergajian kayu di Sungai Rawa kepada maskapai dagang F Kehding. Dua tahun kemudian, dua konsesi perkebunan diberikannya kepada orang Belanda.
Kekayaan Siak membuat raja bisa memberikan putra-putranya hal-hal modern, termasuk pendidikan Barat. Syarif Kasim II mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi di Batavia dengan bidang hukum. Syarif Kasim II juga punya selera musik yang modern. Dia pernah punya band dan koleksi piringan musik klasik Barat.
Setelah menjadi sultan, Syarif Kasim II yang dermawan amat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karenanya, dia memperhatikan betul pendidikan rakyatnya dengan mendirikan banyak sekolah di wilayah kekuasaannya.
“Sultan Syarif Kasim II banyak mendirikan sekolah-sekolah di Siak dengan bahasa pengantar Melayu dan Belanda. Ia juga memberikan beasiswa bagi anak-anak Siak yang cerdas dengan mengirimkannya ke Batavia maupun Medan,” tulis Gamal Komandoko dalam Atlas Pahlawan Indonesia.
Semua pembiayaan ditanggung oleh sultan. Selain dari pertanian dan perkebunan, kekayaan Siak di masa Syarif Kasim II juga berasal dari pertambangan minyak bumi.
“Pada 1930, Standard Oil Company of California membentuk anak perusahaan di Indonesia, Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM), tetapi tidak dapat memperoleh konsesi minyak hingga tahun 1936, ketika perusahaan tersebut diberi wilayah di Sumatera Tengah dan wilayah lainnya di Jawa Barat. Pada tahun itu, Standard of California menjalin kemitraan bersama dengan Texas Oil Company (Caltex). Perusahaan tersebut memulai pekerjaan prospeksi yang ekstensif di wilayah konsesi mereka, dan pada 1939 memulai sumur eksplorasi pertamanya di Sumatera Tengah. Produksi komersial dimulai tepat sebelum pecahnya Perang Pasifik,” tulis Ooi Jin Bee dalam The Petroleum Resources of Indonesia.
Sebagai raja, Syarif Kasim II giat berdiplomasi. Dia aktif berpergian ke banyak tempat. Koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie tanggal 7 Maret 1940 memberitakan bahwa Syarif Kasim II datang ke Sumatra Timur ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer juga mengunjungi daerah tersebut. Karena kunjungan itu, rencana perayaan naik tahtanya ke-25 terpaksa diundur jadi tanggal 24 Mei 1940 dari yang direncanakan semula 4 Maret 1940.
Setelah Indonesia merdeka, Syarif Kasim II mantap berdiri di belakang Republik Indonesia (RI). “Selain Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta yang langsung menegaskan bahwa wilayah kekuasaannya merupakan bagian dari Indonesia segera setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Sultan Siak pun menyatakan hal yang sama. Baginya, wilayah kekuasaannya di Siak –kini wilayah di provinsi Riau– itu adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tulis Gamal Komandoko.
Dukungan Syarif Kasim II terhadap RI itu tak diberikannya secara alakadar. Sultan tak hanya melakukannya mengibarkan bendera merah putih di lingkungan istananya, namun juga aktif mengajak raja lain di Sumatra Timur untuk mendukung RI. Lebih dari itu, tulis Suwardi Mohammad Samin dalam Sultan Syarif Kasim II Pahlawan Nasional Dari Riau, “Sultan Syarif Kasim II menyerahkan kepada Republik Indonesia kekayaan pribadi sejumlah f13.000.000. Jumlah yang cukup besar karena nilai kurs gulden waktu itu masih tinggi sehingga nilainya, milyaran rupiah.”
Namun, setelah kemerdekaan, Siak yang dulu kaya dan menyumbang dana besar bagi perjuangan Indonesia terus menurun statusnya di bawah RI. Mulanya sebagai kewedanaan, kemudian turun lagi menjadi hanya kecamatan saja di Kabupaten Bengkalis.
Syarif Kasim II sendiri –yang akhirnya diangkat menjadi pahlawan nasional– tak seberkuasa sebelumnya. Selain makin sepuh, Syarif Kasim II juga nyaris seperti orang kebanyakan yang tidak punya kekuasaan. Hingga 1950-an dia seperti orang tak bertakhta lagi.
Kondisi tersebut “dikukuhkan” dengan sebuah kejadian yang membuat takhta sang sultan itu hilang secara fisik dalam arti yang sebenarnya. Koran Angkatan Bersendjata pada awal September 1967 memberitakan bahwa singgasana atau kursi takhta yang berlapis emas milik Syarif Kasim II dan Kesultanan Siak hilang dicuri.
Kabar hilangnya singgasana emas itu kemudian sampai ke luar negeri. Dua koran berbahasa Belanda di Curacao, Amigoe (12 September 1967) dan Tubantia (9 September 1967), memberitakan bahwa sultan yang kala itu berusia lebih dari 72 tahun itu menjelaskan bahwa kursi takhta emas tersebut telah tiga generasi dimiliki keluarganya. Selama tiga generasi itu, menurut Syarif Kasim II, tampaknya kursi takhta itu tidak menarik perhatian maling meski tak dijaga. Bahkan, di zaman revolusi 1945-1949 yang kacau dengan banyak penjarahan, kursi takhta tidak dijaga itu juga tidak hilang.
Jadi bila takhta dalam artian kekuasaan, Sultan Syarif Kasim II sudah tak punya lagi setelah Riau menjadi bagian wilayah RI. Maka pada awal September 1967 Sultan Syarif Kasim II pun tak punya takhta dalam artian simbolis (baca: singgsana) karena hilang dicuri maling di masa negeri yang dia turut perjuangkan sudah merdeka.*