Pada 1995, sebuah buku berjudul Dalam Berkekalan Persahabatan atau In Everlasting Friendship: Letters from Raja Ali Haji, terbit di Leiden, Belanda. Penyuntingnya seorang Jerman bernama Van der Putten, dan seorang Melayu bernama al-Azhar. Buku itu berisi surat-surat Raja Ali Haji, seorang penulis kenamaan Melayu, kepada sahabatnya Von de Wall, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, selama periode 1857-1872.
Selama bertahun-tahun, keduanya berusaha mencari, dan mengumpulkan surat-surat tinggalan Raja Ali Haji yang sebagian besar tersimpan di Jakarta dan Belanda. Surat yang bisa ditemukan jumlahnya sangat terbatas karena banyak yang rusak dimakan usia. Itu pun hanya surat milik Raja Ali Haji. Sedangkan tinggalan Von de Wall hampir tidak ada jejaknya.
Baca juga: Hikayat Dua Pujangga Melayu
Dalam surat-suratnya, Raja Ali Haji memperkenalkan dirinya secara lengkap beserta gambaran fisik serta wataknya. Kepada kawan Eropanya, dia bercerita banyak tentang kehidupan pribadinya. Lebih dari itu, Raja Ali Haji juga menceritakan alasan dan tujuannya mengarang, tentang keluarga, lingkungan tempat tinggal, kesehatan, sampai kesusahannya.
“Kepada Asisten Residen Riau itu, Raja Ali Haji bahkan menulis persoalan amat pribadi termasuk lemah syahwat,” tulis Taufik Ikram Jamil dalam “Antara Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Raja Ali Haji: Dua Cahaya dari Satu Kutub” dimuat 1000 Tahun Nusantara karya J.B. Kristanto
Bagaimana keduanya bisa berkarib?
Menyusun Kamus Melayu
Dalam surat-surat yang dikumpulkan Van der Putten dan al-Azhar, termuat Dalam Berkekalan Persahabatan, disebutkan bahwa pertemuan pertama Raja Ali Haji dan Von de Wall terjadi pada 1857 di Riau. Raja Ali Haji telah dikenal sebagai pengarang terkemuka Riau Lingga, sementara Von de Wall menjabat Asisten Residen Riau.
Ketika itu Von de Wall sebenarnya tengah menjalankan dua tugas: menjadi asisten residen dan menyusun kamus Belanda-Melayu. Menurut Hendrik M.J. Maier dalam Raja Ali Haji dan Hang Tuah: Arloji dan Mufassar, tugas pertama hanyalah tugas sampingan, sedangkan pekerjaan pokoknya adalah penyusunan kamus Belanda-Melayu.
“Tugas resminya ialah menyusun kamus bahasa dan tatabahasa Melayu yang boleh dipegang sebagai pedoman oleh pegawai negeri. Tetapi, tidak disangsikan Von de Wall diharapkan pula memberi taklimat kepada pegawai atasannya mengenai perkembangan politik dan ekonomi di kepulauan Riau,” kata Maier.
Baca juga: Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Segera Direvisi
Hermann Theodor Friedrich Karl Emil Wilhelm August Casimir Von de Wall lahir di Giessen, Jerman pada 1809. Dia pertama kali menginjakkan kakinya di Hindia-Belanda pada 1829 sebagai sersan pasukan berkuda ketentaraan Belanda. Pada 1831 dia dipromosikan menjadi pemimpin suatu pasukan pribumi di Cirebon.
Karir militer Von de Wall dilepas setelah pada 1834 diangkat menjadi pemimpin sipil di Kalimantan. Selama hampir dua dasawarsa beriktunya dia mengabdikan diri pada pemerintah kolonial Belanda, dengan menempati sejumlah jabatan penting di Kalimantan. Salah satu prestasi Von de Wall yang membuat pejabat tinggi Belanda terkesan adalah ketika dia berhasil mengadakan perjalanan untuk menjalin hubungan baik dengan penguasa-penguasa di pedalaman Kalimantan.
Di Kalimantan, Von de Wall menunjukkan ketertarikannya terhadap bahasa Melayu. Dia pun lalu diminta oleh pemerintah pusat di Batavia untuk mengerjakan kamus Belanda-Melayu, yang keberadaannya amat penting dalam melanggengkan kekuasaan mereka di tanah jajahannya. Von de Wall menerima jabatan asisten residen sebagai kompensasi tugas tersebut, dengan bayaran mencapai 1.200 gulden sebulan.
“Penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda dianggap sebagai tugas yang amat mustahak karena pemerintah Belanda didesak oleh perlunya pedoman ejaan dan pengembangan kosakata baku untuk pendidikan,” ungkap Jan van der Putten dan al-Azhar
Baca juga: Lika-liku Perumusan Kamus Ternama Dunia
Pada 1857, Von de Wall tiba di Riau. Salah satu kesultanan Melayu di Pulau Sumatra tersebut terpilih sebagai tempat penelitian untuk penyusunan kamus karena dianggap memiliki kebahasaan Melayu yang paling asli dan murni dibandingkan daerah lain di Nusantara. Pada waktu itulah, Von de Wall pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Raja Ali Haji.
Dalam surat yang ditinggalkan Raja Ali Haji, diceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan sarjana Eropa tersebut. Dikatakan Raja Ali Haji bahwa dia dikenalkan oleh Residen Neuwenhuyzen kepada seorang pejabat pemerintah baru yang diberi tugas “memungut bahasa-bahasa Melayu”.
“Maka dari karena inilah, apa hal ihwal saya dahulukan dengan setahu tuan juga, karena itulah jalan adab dan hormat di dalam kitab-kitab peraturan sahabat persahabatan orang-orang Islam adanya, sudah habis putih hati ikhlas saya kepada tuan serta putus pada pikiran saya yang tuan itu semata-mata mencari kebajikan atas saya jua,” kata Raja Ali Haji, sebagaimana termuat Maier.
Menjalin Kedekatan
Setelah pertemuan pertama, Raja Ali Haji dan Von de Wall semakin sering bertemu. Raja Ali Haji menjadi informan bagi Von de Wall dalam penyusunan kamus Belanda-Melayu. Dia juga membantu kawan Eropa-nya itu menerjemahkan dan mengumpulkan naskah-naskah di Kesultanan Riau Lingga, serta menyusun kosa-kata untuk kamus.
Von de Wall tinggal di Tanjung Pinang, sedangkan Raja Ali Haji tingal di Penyengat. Jarak kedua tempat itu, imbuh Maier, lebih kurang satu jam naik perahu kecil. Pertemuan mereka biasanya diisi dengan saling bertukar ilmu. Von de Wall tentang kebahasaan Melayu, sementara Raja Ali Haji tentang pengetahuan Barat yang tidak pernah dia temukan di tempat kelahirannya.
Baca juga: Raja Ali Haji, Sastrawan Besar Kesultanan Riau
“Pertemuan itu semacam penjelmaan pertemuan dua kebudayaan, dua pandangan hidup, seperti dua kalajengking yang bersangkutan dan tidak berlepasan lagi,” ucap Maier.
Pada awal terbentuknya kerja sama antara Raja Ali Haji dengan Von de Wall, ikatannya tidak didasarkan pada landasan formal. Raja Ali Haji hanya menerima imbalan berupa hadiah, seperti senjata dan buku, bukan uang. Baru setelah beberapa tahun bekerja dia mendapat tunjangan sebesar 30 rial sebulan.
Hubungan persahabatan Raja Ali Haji dan Von de Wall kian erat seiring dengan banyaknya pertemuan keduanya dalam menyusun kamus Belanda-Melayu. Surat-surat yang ditinggalkan Raja Ali Haji juga memberi kesan bahwa sastrawan Riau itu semakin membuka hatinya kepada kawan lain bangsa itu.
Ketika sedang masa sulit akibat kekurangan uang, Raja Ali Haji selalu bercerita kepada Von de Wall. Dia juga akan mengutarakan kesedihannya ketika terjadi masalah di lingkungannya. Raja Ali Haji tak segan menceritakan segala hal kepada Von de Wall, termasuk masalah syahwatnya. Bahkan ketika Von de Wall sakit, Raja Ali Haji akan merasa bersedih.
Baca juga: Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan
“Demi persahabatannya, Raja Ali Haji berani membuka diri secara halus dan sopan. Atas nama kerja sama, dia tidak malu meminta benda yang bermacam-macam. Permintaan itu biasanya tertanam dalam cerita yang cukup menyejukkan,” tulis Van der Putten dan al-Azhar.
Tidak hanya dekat dengan Von de Wall, Raja Ali Haji juga cukup akrab dengan pejabat pemerintah Belanda lainnya. Dia kerap dihadiahi berbagai macam buku dari Timur Tengah oleh gubernemen di Batavia. Berbagai permintaannya pun sering dikabulkan, seperti ketika dia meminta sebuah senapan, lilin, mesin cetak, rokok, hingga perekat surat berwarna-warni.
Setelah menyelesaikan pekerjaan membuat kamus Belanda-Melayu, kedekatan Raja Ali Haji dan Von de Wall masih terjalin baik. Keduanya tidak pernah lupa saling bertukar surat. Namun semenjak kesehatan Von de Wall menurun, Raja Ali Haji jarang bertemu secara langsung. Kawannya itu juga lebih sering pergi ke Jawa untuk pemulihan kesehatannya.
Menurut Maier, surat terakhir Raja Ali Haji kepada Von de Wall dikirim pada Desember 1872. Setelah itu tidak ada lagi catatan mengenai komunikasi keduanya. Diketahui bahwa, baik Raja Ali Haji, maupun Von de Wall wafat pada 1873. Sang pujangga meninggal di Pulau Penyengat, sementara kawan Eropa-nya di Pulau Jawa.