SABANG di ujung barat, yang menjadi titik nol republik ini, memang masih belum tampak di pelupuk mata. Namun upaya kapal latih TNI AL KRI Dewaruci untuk mencapainya saat ini tak pernah surut. Ke sanalah kapal layar itu akan menurunkan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah yang berisikan para Laskar Rempah, peneliti, penulis, dan jurnalis beberapa puluh jam mendatang.
Sudah lebih dari dua hari Dewaruci bersandar di Pelabuhan Dumai. Kapal ini berlayar dari Jakarta pada 7 Juni 2024 dan singgah beberapa hari di Belitung Timur.
Sedari pagi 19 Juni 2024, awak kapalnya sudah bersiap untuk berlayar lagi. Sekitar pukul 08.53 WIB, Dewaruci lepas tali dari Pelabuhan Dumai. Setelahnya, Dewaruci menyusuri Selat Malaka. Pada sisi kanan kapal terlihat daerah industri Dumai yang terkenal minyaknya. Di sisi kiri kapal terlihat sekelumit pemandangan hijau dari Pulau Rupat.
Rupat kini adalah bagian dari sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkalis, Riau. Nama Rupat bukan nama baru dalam sejarah. Lima abad silam, penulis asal Portugis Tome Pires telah menyebutnya dalam Suma Oriental, yang merupakan catatan perjalanannya pada tahun 1512 hingga 1515.
Baca juga: Ada John Lie di Jalur Rempah
“Kerajaan Rupat berbatasan di satu sisi dengan Rokan dan di sisi lain dengan Purim. Kerajaan ini berukuran kecil. Sebagian besar penduduknya adalah perampok yang menggunakan perahu kecil. Negeri ini memiliki kewajiban sama dengan Rokan terhadap Malaka. Mereka mengirimkan orang-orangnya untuk memberikan bantuan dalam perang. Wilayah ini menghasilkan sedikit beras, anggur, buah-buahan, memancing ikan terubuk serta ikan-ikan lain,” catat Tome Pires dalam Suma Oriental.
Rupat adalah kerajaan bawahan atau daerah vasal bagi Kerajaan Malaka. Malaka adalah kerajaan maritim kuat di semenanjung Malaya, persis di seberang Rupat.
Di Rupat, bermukim suku Akik. Istilah “Akik” diperkirakan terkait dengan kata rakit atau rakik. Suku ini tinggal di atas rakit di perairan sekitar Rupat. Menurut cerita rakyat sekitar, orang Akik berasal dari Semenanjung Malaka. Disebut mereka berasal dari Bangsa Kit, yang menghuni daratan Asia Belakang. Mereka bertahan hidup dengan mengolah sagu, mencari ikan dan berburu kijang, babi dan lainnya dengan tombak panah. Menurut Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia, pada 1989 populasi orang Akik di Rupat dan sekitarnya berjumlah 3.500 orang.
Sumatra
Tengah hari 19 Juni 2024, Dewaruci sudah mengarah ke utara untuk menyusuri kawasan yang dulunya dikenal Pantai Timur Sumatra alias Sumatra Oostkust. Sebelum ada Provinsi Riau dan Sumatra Utara, daerah pesisir ini dikenal sebagai Sumatra Timur.
Sumatra adalah pulau penting di jalur rempah. Daerah ini dulunya adalah penghasil lada, gambir, gading, emas, kapur barus, dan lain-lain. Beberapa kerajaan di sana dulu mendapat uang dari perdagangan rempah.
Baca juga: Arab dan Tiongkok Berebut Rempah di Riau
Marco Polo asal Venesia pernah mengunjuginya pada abad ke-13. Dia punya nama tersendiri untuk pulau yang tak disebutnya Sumatra itu. Oleh karenanya, ratusan tahun setelah Marcopolo, orang Eropa lain menganggap penyebutan oleh Marco Polo itu ngawur.
“Sebutan Java Minor (Jawa kecil) yang ia (Marco Polo, red.) berikan untuk pulau tersebut nampaknya cukup sewenang-wenang, dan tidak didasarkan pada otoritas apa pun, baik Eropa ataupun Timur,” kata Willem Marsden, orang Eropa yang dimaksud, dalam bukunya History of Sumatra.
Beruntung, di masa lalu banyak penulis-penjelajah atau kolonialis sering tidak konsisten menyebut nama pulau tersebut. Akibat positifnya, kini Sumatra tak disebut Jawa Minor seperti kata Marco Polo.
“Orang-orang yang segera mengikutinya menulisnya dengan sedikit, dan sering tidak konsisten, variasi ortografi, Sumotra, Samotra, Zamatra, dan Sumatera,” tulis Marsden.
Baca juga: Kini Minyak, Dulu Rempah
Marsden mencatat ada seorang sarjana oriental bernama Reland yang fokus pada bahasa pulau-pulau. Kata Reland, sebutan Sumatra itu dari ketinggian tanah tertentu yang disebut sebagai “Samadra”, yang artinya Negara Semut Besar. Namun menurut Marsden, di pulau Sumatra tak ada tempat seperti itu.
Pelaut-pelaut Spanyol dan Portugis tahu lebih dulu pulau itu. Mereka kenal kata Samatra. Mereka menandainya untuk badai angin dan hujan yang tiba-tiba. Pelaut Inggris meminjam istilah Samatra dari sana. Karya Persia dari tahun 1611 menyebut Sumatra dengan nama Shamatrah.
“Saya memiliki korespondensi kepada kata Melayu modern, yakni kata Samantara yang digunakan (bersama dengan yang lain yang lebih biasa, yang akan terjadi selanjutnya disebutkan) untuk menunjuk pulau ini (berkemunginan merujuk kepada istilah Jawa kuno Nusantara),” kata Marsden.
Baca juga: Asal Nama Wakatobi
Sementara, orientalis lain sebelum Marsden, Tome Pires asal Portugis, menyebut nama lain Sumatra dengan Comotora. Menurut Pires dalam Suma Oriental, Sumatra menghasilkan emas (dalam jumlah besar), merica, sutra, kapur barus, tanaman obat lignaloe, madu, lilin, tar, belerang, kapas, dan kayu rotan.
Selain Comotora, Sumotra, Samotra, Zamatra, Shamatrah dan Sumatera (Sumatra), pulau ini disebut pula Andalas.
“Bagi kebanyakan orang yang lahir di pulau ini, nama Andalas terasa mengandung makna politik yang penting. Perkataan Andalas sangat rapat hubungannya dengan perjuangan mereka melawan penjajahan,” kata mantan Wakil Presiden Adam Malik Batubara dalam Mengabdi Republik: Adam dari Andalas.*