DI tengah makin gawatnya persoalan pandemi virus corona, isu politik tentang Sumatera Barat (Sumbar) menyembul di publik. Setelah perkara pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani soal provinsi itu bikin heboh, muncul isu anggota DPR RI dan politikus PDIP Arteria Dahlan yang disebut punya kakek pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumbar.
Isu bermula dari penjelasan budayawan Minang Hasril Chaniago dalam forum Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (8/9/2020) terkait demokrasi di tanah Minang. Hasril memaparkan bahwa meski orang Minang berbeda ideologi politik, hubungan personal dan silaturahimnya tak putus. Seperti di keluarga Arteria, contohnya. Keluarganya Masyumi namun ada Bachtaruddin Said, kakek Arteria, yang PKI.
Arteria membantah pernyataan Hasril. Walau sama-sama asal Maninjau, Sumbar, Arteria mengaku tak punya hubungan darah dengan Bachtaruddin.
“Tidak benar saya cucu tokoh PKI. Kakek-nenek, orangtua saya berasal dari Maninjau, Kabupaten Agam, Sumbar. Memang ada tokoh PKI dari Maninjau bernama Bachtaruddin. (Tetapi) tidak ada hubungan kekeluargaan antara Bachtaruddin dengan kakek-nenek saya,” aku Arteria dalam keterangan tertulis kepada Historia.
Baca juga: Puan Maharani, Sukarno dan Trauma PRRI
Dalam silsilah keluarganya, Arteria menguraikan bahwa kakek dari pihak ibu, H. Wahab Syarif, seorang pedagang tekstil di Tanah Abang sejak 1950. Neneknya, Hj. Lamsiar, ibu rumahtangga semata. Ibunya, Hj. Wasniar, seorang guru di Perguruan Cikini. Adapun dari pihak ayah, kakeknya bernama H. Dahlan bin Ali, juga pedagang. Sedangkan neneknya, Hj. Dahniar Yahya, tokoh Masyumi.
Pernyataan Hasril, menurut sejarawan asal Minang Profesor Asvi Warman Adam, bisa berbuntut urusan hukum. “Ternyata kan Arteria sudah membantah itu. Bahkan diklarifikasi ibunya bahwa nenek dan kakeknya (Arteria) dari pihak ibu dan ayahnya bukan Bachtarudin. Artinya kalau tidak benar, Arteria kan bisa menuntut itu Hasril bahwa dia menuduh, dan ternyata kakek Arteria bukan Bachtarudin itu,” ujar Asvi kepada Historia.
Satu Suku Satu Keluarga
Bachtarudin merupakan saudara tiri –satu ayah lain ibu– akvitis perempuan yang pada 1974 digelari pahlawan nasional, HR. Rasuna Said. Bedanya, Rasuna Said sejak kecil diberi pendidikan secara Islam, sementara Bachtarudin menerima pendidikan Barat.
“Bachtarudin sekolahnya di HIS dan MULO di Jakarta. Lalu bekerja di pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Di zaman Jepang, bekerja sebagai polisi Jepang,” sambung Asvi.
Pasca-kemerdekaan, Bachtaruddin keluar dari kepolisian untuk terjun ke politik sebagai eksponen kiri. Menurut sejarawan Fikrul Hanif Sufyan, keputusan itu dipengaruhi ketokohan Datuk Haji Batuah, pentolan Sarekat Rakyat di Padang Panjang yang ditahan pemerintah kolonial di Boven Digul.
“Sebelumnya, hampir semua pentolan PKI di Indonesia, termasuk Sarekat Rakyat Padang Panjang, umumnya masih diasingkan di Australia. Artinya ada semacam benang merah yang terputus soal perkembangan komunis setelah mereka di-Digul-kan. Lalu ada perkembangan pemerintah kolonial mengurangi interniran yang dianggap sudah tak berbahaya ke kampung halamannya, termasuk Haji Datuk Batuah,” tutur Fikrul, penulis buku Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah 1923-1949, saat dihubungi Historia.
Baca juga: Seteru Haji Rasul dan Haji Datuk Batuah
Sementara itu, PKI di Sumbar sudah kembali berdiri pada Oktober 1945 setelah keluar Maklumat Nomor X tahun 1945 tentang berdirinya partai-partai. Bachtaruddin memanfaatkan momen tersebut dengan mendirikan partai. “Di zaman kemerdekaan, (Bachtaruddin, red.) membentuk PKI dengan tiga orang kawannya di Sumatera Tengah,” kata Asvi. PKI jadi partai politik pertama yang eksis di Tanah Minang dan ketuanya adalah Bachtaruddin.
“Setelah Haji Datuk Batuah dipulangkan dari Australia, tampuk kepemimpinan (PKI) dikembalikan Bachtaruddin kepada Haji Datuk Batuah. Jadi ada peralihan kepemimpinan di sini, walau Bachtaruddin tetap menjadi kader PKI,” sambung Fikrul.
Pada 1946, mengutip buku Propinsi Sumatera Tengah terbitan Departemen Penerangan tahun 1953, Bachtaruddin sebagai perwakilan PKI turut dalam Dewan Perwakilan Sumatera (DPS) yang dibentuk pemerintah pusat pada 17 April 1946. Bachtaruddin termasuk anggota DPS untuk Sumatera Barat bersama sejumlah tokoh politik Minang lain seperti Chatib Sulaeman, Aziz Chan, dan saudara tirinya, Hj. Rangkayo Rasuna Said.
“Menariknya, sosok Bachtaruddin ketika ada pergolakan (pemberontakan, red.) di Madiun pada 1948, waktu itu Muso meminta PKI cabang Sumbar untuk menyatukan visi mereka di Madiun yang membentuk FDR (Front Demokrasi Rakyat) dan ingin mendirikan negara Soviet. Muso meminta Bachtaruddin melakukan hal yang sama di Sumatera Barat. Namun Bachtaruddin menolak permintaan Muso,” tambah Fikrul.
“Alasannya, karena menurut Bachtaruddin apa yang dilakukan Muso sudah di luar jalur. Di sisi lain, setelah penolakan itu, sebelum PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) berdiri, Bachtaruddin juga turut memimpin revolusi kemerdekaan di Pasukan Temi, pasukan laskar para eks-Sarekat Rakyat Padang Panjang. Bersama Natar Zainuddin, Bachtaruddin di pasukan Temi ikut gabung dengan beberapa laskar lain di Front Pertahanan Nasional (FPN).”
Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah
FPN dibentuk dari sejumlah laskar onderbouw partai-partai yang ada atas permintaan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pembentukan itu bertujuan membangun sinergi kekuatan bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk menghadapi Agresi Militer Belanda. FPN yang dalam rapat musyawarahnya dipimpin Haji Datuk Batuah, mengambil keputusan mendaulat Datuk Indomo Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka dari Masyumi sebagai ketuanya.
Selepas masa revolusi fisik, Bachtaruddin masuk DPR sebagai Wakil Ketua I Fraksi PKI lewat Pemilu 1955. Namun, dia hanya menjabat setahun lantaran pada 1956 wafat pada 24 Juni. Namanya kemudian diabadikan oleh partai menjadi Akademi Ilmu Politik Bachtaruddin.
Kakek Arteria Dahlan?
Benarkah Arteria Dahlan tak punya hubungan keluarga dengan Bachtiaruddin?
Baik Asvi maupun Fikrul tak bisa memastikan kebenaran pernyataan Hasril maupun sanggahan Arteria.
“Kemungkinan Arteria punya versi sendiri, juga Bang Hasril. Kalau dalam perspektifnya Arteria, barangkali dia mengambil langsung silsilah keluarganya ke atas tanpa melihat silsilah yang lainnya. Tapi dalam budaya Minang (silsilah keluarga) itu bersifat komunal,” jelas Fikrul.
“Di Minang itu kalau di dalam sebuah suku (marga, red.) ada dua orang bergelar Datuk, dia dianggap masih dalam satu keturunan. Misalnya suku Chaniago, di mana di dalam nagari ada dua orang datuk. Nah di dalam silsilahnya orang Minang, dia tidak hanya mengakui hanya pada satu jalur datuknya saja tapi kepada jalur datuk yang lain,” lanjutnya.
Baca juga: Rohana Kudus, Pahlawan Perempuan dari Tanah Minang
Klarifikasinya Hasril Chaniago di Youtube Hersubeno Point, Kamis (10/9/2020), senada dengannya. Menurut Hasril, ketika ia mewawancarai Fauzi Makruf, paman Arteria, disebutkan ia masih punya hubungan kekerabatan dengan Bachtaruddin.
“Dia (Fauzi) menanggapi wawancara kita sebelumnya. Dikatakan dia, jadi kami (Fauzi) itu sebenarnya masih punya hubungan dengan Bachtaruddin. Begitulah uniknya. Pak Fauzi itu tokoh masyarakat Minang asal Maninjau di Jakarta dengan gelar Datuk Gunuang Ameh. Katanya, beliau dari keluarga Masyumi tapi Bachtaruddin dari PKI dan secara pribadi hubungan mereka biasa-biasa saja,” ujar Hasril.
Ketika bersua Fauzi, Hasril mengingat bahwa mereka membicarakan Arteria yang dianggapnya kurang sopan terhadap orang yang lebih tua. Utamanya kala anggota DPR RI dapil Jawa Timur itu membentak sambil menunjuk-nunjuk Profesor Emil Salim di talkshow Mata Najwa, 10 Oktober 2019.
“Saya bilang Pak Fauzi karena beliau tokoh Minang asal Maninjau juga. Tolong diajari dia. Katanya, ‘Oh, dia keponakan saya.’ Kalau begitu tepat betul untuk mengingatkan dia. Di Minang tidak ada stratifikasi sosial, tidak ada pangkat, jabatan. Orang hanya menghormati karena umur. Yang muda harus santun pada yang tua. Dia jadi kontroversial karena menunjuk-nunjuk Pak Emil Salim. Itu tidak sopan bagi adat Minang,” sambungnya.
Baca juga: Saling Hajar Masyumi-PKI
Hasril memberi contoh bahwa di masa republik masih bayi, Hatta sebagai orang Minang yang lebih muda selalu menghormati Tan Malaka yang lebih tua dan lebih dulu memperjuangkan kemerdekaan, meski Tan seorang oposan.
“Ketika di ILC (Selasa, 8 September 2020), Arteria datang. Ketika rehat, dia saya panggil untuk mengingatkan hal itu. Saya puji dia karena hebat sebagai orang Minang tapi tak berebut 14 kursi (DPR) dari dapil Sumbar. Lalu saya sebut, saya berteman dengan Fauzi Makruf. Katanya, ‘Oh, dia ungku saya.’ Ungku itu mamak atau paman yang sudah bergelar Datuk.”
Jika dilihat generasi itu, sambung Hasril, Bachtarudin adalah generasi kakek Arteria dari segi umur. Seandainya Hasril asal bicara dalam forum ILC itu, mestinya Arteria sudah langsung membantah. Pasalnya, Hasril menguraikan maksudnya itu bukan dalam hubungan biologis, melainkan komunal seperti yang juga diterangkan Fikrul di atas.
“Kalau dia merasa saya tuduh, pastinya dia bantah saat itu juga. Apalagi dia pengacara hebat. Cuma setelah itu muncul isunya di medsos karena mungkin ada yang nggak suka sama Arteria. Dari medsos masuk media mainstream. Padahal sistem kekerabatan Minang itu terlalu luas. Saya juga saat itu sedang menjelaskan, inilah contoh berdemokrasi di Minangkabau,” tandas Hasril.
Baca juga: Sukarno dalam Pusaran Islam, Nasionalisme, dan Komunisme