Tak seperti pembangunan Orde Baru yang sangat memandang golongan, maka perjuangan kemerdekaan yang dikenal sebagai revolusi kemerdekaan Indonesia sangat tidak melihat golongan. Dalam pembangunan ala Orde Baru, ada golongan yang dilarang dan ada yang diperkuat. Dalam revolusi, semua golongan banyak terlibat, tak terkecuali golongan kiri.
Golongan kiri menghimpun banyak pemuda dalam organisasi bernama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 menyebut Pesindo terbentuk dari tujuh organisasi pemuda. Mereka adalah Angkatan Pemuda Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Angkatan Muda Pos, Telegraf, dan Telepon. Di luar dari organisasi-organisasi itu Pesindo terbuka bagi banyak pemuda dan nyaris tanpa pandang bulu. Para pemimpin Pesindo terkait dengan pemuda-pemuda anti-fasis Angkatan 45. Pesindo dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sekitar 1945, tersebutlah seorang pemuda Minang asal Kotogadang Sumatra Barat yang bekerja di sebuah perkebunan karet di sekitar Cikumpai, Purwakarta. Sejak zaman Jepang, setelah lulus dari sekolah pertanian di Bogor dia bekerja di sana. Lalu setelah Jepang menyerah kalah dan Indonesia merdeka, pemuda tersebut terlibat dalam revolusi.
“Saya lalu masuk menjadi anggota Pesindo, dan mulai terlibat dalam politik lokal. Tujuan saya hanyalah untuk menjaga situasi di perkebunan agar tidak kacau,” kata Rais Abin dalam dalam biografinya Rais Abin: Dari Ngarai Ke Gurun Sinai.
Rais tak punya urusan ideologis dalam Pesindo. Rais kemudian keluar dari pekerjaannya di perkebunan dan pindah ke Yogyakarta. Pemuda Rais Abin (1926-2021) pun makin jauh dari Pesindo setelah di sana.
Bersama Roestam Moenaf —yang belakangan jadi pengusaha dan ayah musisi Fariz RM, Rais mendaftar ke markas besar tentara. Dia kemudian dilatih untuk menyelundupkan senjata untuk perjuangan RI dari Singapura. Mula-mula Rais diberi pangkat sersan kader.
Setelah revolusi selesai, Rais tak berhubungan dengan Pesindo yang kemudian jadi Pemuda Rakyat. Rais terus menjalani karier militernya. Pada awal 1960-an pangkatnya sudah letnan kolonel di Angkatan Darat. Dia pensiun sebagai letnan jenderal. Jabatan mentereng yang pernah diembannya adalah panglima Pasukan Perdamaian PBB di Gurun Sinai.
Rais Abin bukan satu-satunya perwira Angkatan Darat yang di zaman revolusi pernah ikut Pesindo. Dari Aceh, daerah yang Islam terkenal kental, tersebutlah Ali Hasjmy (1914-1998), salah seorang tokoh terpelajar Aceh yang cukup terkenal di Indonesia. Menurut Abdul Karim Jakob dalam Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang, Ali Hasjmy sebagai pemimpin umum Pesindo.
Pesindo ada dan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Aceh. Di sana, Pesindo bermula dari Badan Pemuda Indonesia (BPI). Setelah Peristiwa Madiun meletus pada September 1948, yang menyeret beberapa petinggi PKi dan Pesindo, Ali Hasjmy mengutuk peristiwa tersebut dan kemudian memutuskan hubungan dari Pesindo pusat. Setelahnya, aktivitas Pesindo di Aceh pun merosot.
Ali Hasjmy dikenal sebagai ulama, politisi sekaligus sastrawan. Selain pernah menjadi gubernur Aceh, pejuang kemerdekaan Indonesia ini pernah menjadi pengajar, bahkan rektor di IAIN Ar Raniry. Ali Hasjmy juga seorang penulis produktif.
Tokoh lain yang disebut-sebut sebagai anggota Pesindo adalah Letnan Jenderal Sudharmono. Tuduhan Sudharmono sebagai Pesindo, benar atau tidaknya, sempat mengganggu kariernya di pemerintahan. Ketika akan dipilih sebagai wakil presiden, isu Sudharmono PKI muncul untuk menjegalnya. Bahkan ada yang menyebut dia dianggap PKI 1948. Isu yang terus menggelinding itu bahkan sampai membuat Presiden Soeharto perlu mengomentari. Namun, Sudharmono membantahnya.
“Sejak dari sekolah saya jadi ABRI dan ketika Peristiwa Madiun terjadi saya mendapat tugas memberantasnya,” kata Sudharmono di Kompas, 19 Oktober 1988, yang akhirnya tetap menjadi wakil presiden periode 1988-1993.