MARIA Ullfah menjadi satu-satunya perempuan yang duduk dalam Panitia Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas Undang-Undang Dasar, 29 Mei 1945 di Gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta. “Karena saya ahli hukum, saya dimasukkan ke sana. Ketua aktif adalah Prof. dr. Supomo. Dialah yang banyak menyusun UUD 1945,” kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam rekaman suara yang dikeluarkan Arsip Nasional.
Namun, Maria bukan satu-satunya perempuan dalam rapat BPUPKI dari 28 Mei-1 Juni 1945 itu. Di luar Panitia Pertama, ada Siti Sukaptinah (ketua Fujinkai) di Panitia Ketiga yang membahas tentang pembinaan tanah air.
Terlepas dari hanya ada dua perempuan dalam kongres tersebut, BPUPKI berhasil merumuskan banyak hal terkait bentuk negara dan luas wilayah. Dalam hal bentuk negara, sempat muncul dua pilihan dalam rapat tersebut, yakni republik atau kerajaan. Mayoritas peserta rapat yang datang dari Jawa Tengah menghendaki bentuk kerajaan. Mereka ingin mengikuti ramalan Joyoboyo. Namun, mayoritas peserta rapat menginginkan republik. “Kalau tidak salah yang mau kerajaan cuma 9 orang,” sambung Maria.
Baca juga: Dua Perempuan dalam BPUPKI
Mengenai luas wilayah, rapat juga berjalan alot. Mohammad Yamin, salah satu anggota BPUPKI, mengusulkan untuk memperluas wilayah Indonesia sampai mencakup Malaya, Kalimantan bagian Inggris, Irian Timur, Timor jajahan Portugis, dan Pulau Madagaskar. “Yamin bilang Brunei, Malaysia dimasukkan. Yamin selalu begitu, semuanya mau dimasukkan,” kata Maria diiringi tawa kecil. Pada akhirnya diputuskan, luas wilayah Republik Indonesia hanya bekas Hindia Belanda.
Dalam Maria Ullfah Pembela Kaumnya, Gadis Rasyid menyebut definisi warga negara juga masuk dalam pembahasan. Rapat memutuskan bahwa orang-orang keturunan pun boleh jadi warga negara Indonesia, seperti keturunan Tionghoa, keturunan Arab, dan keturunan Belanda.
Sementara, dalam rapat Panitia Pertama yang membahas UUD, Maria mengusulkan tentang pemberian hak dasar yang sama bagi warga negara baik perempuan maupun lelaki. Usul Maria ini dianggap penting dalam gerakan perempuan sebagai upaya secara legal menyetarakan hak dasar perempuan dan lelaki.
Baca juga: Daging Kucing dalam Perang Kemerdekaan
Namun, baru selesai Maria mengutarakan usulnya, Sukarno yang menghadiri rapat itu langsung menolak ide itu. “Nggak perlu. Itu sudah cukup,” kata Sukarno. Mendengar penolakan Sukarno, Maria mencoba menjelaskan maksudnya ialah hak dasar yang berlaku di tiap negara, bukan hak asasi yang berlaku universal sehingga perlu ditetapkan dalam UUD. Lebih jauh, ia ingin mencegah adanya diskriminasi pada perempuan dalam penegakan hukum sehingga ide tentang ‘semua orang sama di mata hukum’ harus dicantumkan.
“Saya tidak bilang hak asasi tapi hak dasar. Bung Karno memang selalu keras terhadap saya, tapi waktu itu Pak Supomo yang menyusun,” sambungnya.
Maria juga menyampaikan impresinya terhadap ketua panitia pertama, Prof. dr. Supomo. Menurut Maria Ullfah, Supomo berpihak pada gerakan perempuan sehingga ide pemberian hak dasar sama bagi perempuan dan lelaki didukung oleh Supomo. “Supomo baik sama (gerakan) perempuan. Dia yang menyusun sebagian besar UUD dan usulan saya dimasukkan. Untung saya ada di situ sebagai perempuan,” kata Maria.
Baca juga: Maria Ullfah, Advokat Kaum Perempuan
Usaha ngeyel Maria terbayar. Idenya disepakati dan tercatat dalam pasal 27 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
“Pasal 27 itu harus selalu kita pegang sebagai warga negara, pegawai negeri, dan sebagai tenaga kerja wanita,” kata Maria. Atas jasanya itu, Komnas HAM memberikan penghargaan Anugerah HAM kepada Maria Ullfah pada 2014 bersama Munir Said Thalib.