PENANGKAPAN Sukarno dan para aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) mengundang kecaman dari sesama aktivis kemerdekaan. Salah satunya dari Sutan Sjahrir yang sedang studi di Amsterdam. Melalui suratkabar De Socialist edisi 8 November 1930, Sjahrir menyuarakan kritikannya.
“Sukarno sebagai seseorang yang telah menunggu selama empat bulan dan masih akan menunggu empat bulan lagi dalam sel penjara yang lebarnya 1,48 meter dan panjang 2 meter, untuk keputusan apapun yang akan diambil terhadapnya,” kata Sjahrir.
Sukarno dan tiga rekannya sesama aktivis PNI –yakni Maskoen, Soepradinata, dan Gatot Mangkoepradja– diciduk aparat pemerintah kolonial pada 9 Desember 1929 di Yogyakarta usai menghadiri sebuah pertemuan di Solo. Mereka lalu dibawa ke Bandung untuk dibui di Gevangenis te Banceuy.
Butuh delapan bulan buat keempatnya meringkuk di Penjara Banceuy hingga disidangkan di Landraad Bandung. Dengan sidang pertamanya pada 18 Agustus 1930, sidang kemudian bergulir hingga Desember 1930 di gedung terletak di Landraadweg (kini Jalan Perintis Kemerdekaan). Bangunan pengadilan untuk kaum bumiputera bergaya neo klasik itu kini sudah berubah menjadi situs sejarah Gedung Indonesia Menggugat.
“Jadi ketika di persidangan, itu hakimnya orang Belanda. Tapi jaksanya yang menuntut dari orang pribumi,” jelas Dede Ahmad, pemandu di Gedung Indonesia Menggugat, kepada Historia.ID.
Baca juga: Sukarno di Usia 29
Hakim yang memimpin sidangnya adalah president/hakim R. Siegenbeek van Heukelom. Adapun jaksa penuntutnya adalah R. Soemadisoerja, RK Kartakoesoemah, RK Wiriaatmadja, dan M. Tirtawinata. Mereka turut didampingi penasihat persidangan Moh. Masjoer dan J.W. Smits. Sedangkan para pengacara yang jadi tim pembela Sukarno cs. yakni Mr. Sartono, Mr. Sastromuljono, Mr. Sujudi, dan Idih Prawiradiputra.
“Mereka membantu Sukarno dan kawan-kawannya di pengadilan tanpa bayaran sepeserpun. Justru mereka menanggung pengeluaran masing-masing. Mereka tetap membantu Sukarno dan kawan-kawan sekalipun mengetahui Sukarno tidak akan bebas,” tulis Yandra Danendra dalam Soekarno: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia.
Sukarno dan ketiga rekannya disidang dengan Pasal 153 bis 169 dan Pasal 171 Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal itu tergolong de hatzaai artikelen (penyebaran kebencian), di mana mereka dituduh menyindir dan menganjurkan pemogokan, pengacauan, dan pemberontakan secara lisan maupun tulisan.
“Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan? Dengan bedil? Dengan bom? Satu-satunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada gedung-gedung pertemuan dan surat-surat kabar umum. Akan tetapi kami masih saja dituduh, dikatakan ‘menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 30’,” ujar Sukarno dalam otobiografi yang dituliskan Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Buku dan Perjalanan Intelektual Sukarno
Persidangan Sandiwara
Pagi itu, suara Bung Karno (diperankan Ario Bayu) yang menggelegar menyesaki ruangan sidang besar yang ramai kala membacakan pleidoi “Indonesia Klaagt An” (Indonesia Menggugat) di hadapan majelis hakim. Kendati tak didampingi banyak orang, Bung Karno tak gentar.
“Aslinya dalam sidang itu hanya Bung Karno, para jaksa, dan hakim. Memang masyarakat banyak yang datang tapi hanya bisa (berkerumun) di luar gedung (Landraad Bandung),” lanjut Dede.
Dalam persidangan-persidangan Sukarno cs., tak sekalipun diramaikan masyarakat yang menonton di dalam ruang sidang. Terlebih, ruangan sidangnya hanya berukuran 3 x 6 meter.
“Jadi memang ruangannya kecil dan enggak ada tempat buat penonton (hadirin). Jadi Bung Karno dan para terdakwa berdiri di sini,” Dede menunjuk bidang lantai yang terpisah pagar kayu. “Lalu, pengacaranya (tim pembela) ada di sana dan para jaksa juga di sana,” sambung Dede menunjuk sisi kanan dan kiri meja hakim.
Baca juga: Ulah Sukarno Pasca Dibui
Sukarno dan ketiga kawannya mesti menjalani total 27 persidangan. Termasuk sidang-sidang pemeriksaan dan sidang-sidang pembelaan empat terdakwa yang digelar setiap Senin-Kamis pagi kurun 18 Agustus-22 Desember 1930.
“Pemeriksaan di pengadilan menjadi jelas bahwa pemerintah telah menjadi korban atau psikosis. Sesudah tuduhan utama (jaksa) penuntut umum bahwa PNI merencanakan revolusi dengan kekerasan, sangat dilemahkan oleh tidak adanya bukti yang meyakinkan oleh keterangan-keterangan yang simpang-siur dari para saksi, maka tuduhan itu menjadi tidak bermakna sama sekali,” tulis Indonesianis, Prof. Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
Lebih lanjut, sambung Dahm, salah satu pegawai pemerintah kolonial yang ikut menjadi saksi tambahan dalam sebuah sesi pemeriksaan, justru pernah mengungkapkan bahwa Sukarno pernah meminta izin untuk melakukan mengecam dan melakukan suatu tindakan untuk meredam desas-desus perihal akan terjadinya suatu pemberontakan. Saksi tersebut membantah pernyataan saksi lain bernama Nailun yang pada pemeriksaan sebelumnya mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sukarno dan PNI akan memprovokasi pemberontakan. Juga membantah saksi Aspai yang menerangkan bahwa ia pernah mendengar bahwa kemerdekaan akan tiba dalam suatu bulan Januari, walaupun ia tidak tahu tahunnya.
“Sidang-sidang berikutnya berlanjut tiap hari. Pertanyaan-pertanyaan diberondongkan, terutama kepada suamiku. Tentang apa yang dimaksud oleh terdakwa dengan revolusi, kemerdekaan, gerakan-gerakannya, partainya, dan sebagainya. Alhasil, hakim berusaha keras memojokkan Soekarno tetapi tertuduh cakap membela dirinya,” kenang Inggit di biografi Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH.
Baca juga: Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara
Para terdakwa akhirnya memberikan nota pembelaan atau pleidoi secara bergilir. Bung Karno mendapat giliran menyampaikan pleidoi “Indonesië Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat) pada 1 Desember 1930.
“Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai. Mungkin juga kapitalisme Barat akan runtuh. Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, maka pemerintah kolonial tidak akan sanggup menahannya. Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami?” ujar Bung Karno dalam pleidoinya.
Setelah mengajukan gambaran umum perpolitikan global dilanjutkan dengan sikap perjuangannya membawa bangsanya mengambil sikap dalam merespon perubahan itu, Bung Karno menerangkan alasan perjuangannya. Namun sikapnya tetap dia pasrahkan pada para hakim.
“Jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa pemimpin-pemimpin PNI adalah pencinta perdamaian dan ketertiban. Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakyat kami. Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata.
Baca juga: Kisah Kang Aeng dan Bung Karno
Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha-Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum-semerbak di atas pangkuan persadanya. Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar-debar saya bersama-sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim!” tandas Sukarno.
Di sidang terakhirnya, 22 Desember 1930, hakim Siegenbeek van Heukelom membacakan vonis setebal 66 halaman. Terlepas dari sejumlah pembelaan, Bung Karno sebagai ketua PNI merangkap ketua PNI cabang Bandung divonis 4 tahun penjara. Gatot Mangkoepradja selaku sekretaris II PNI dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Adapun Maskoen (sekretaris II PNI cabang Bandung) dihukum 1 tahun 8 bulan dan Supriadinata (propagandis PNI cabang Bandung) divonis 1 tahun 3 bulan.
“Mendengar keputusan (hakim) itu hatiku menggigil, aku sangat tidak puas. Kepalaku sudah lama mengatakan, pengadilan ini pengadilan pura-pura dan segala keputusan sudah ditentukan sebelum segala upacara sandiwara ini dilangsungkan,” Inggit sang istri menyesali keputusan itu.
Baca juga: Bung Karno Si Salesman yang Selalu dalam Pengawasan
Keempatnya lalu ditahan di Penjara Sukamiskin. Sejurus penahanan itu, tim pembela mengajukan banding ke Raad van Justitie di Batavia (kini Jakarta).
“Pada hari Jumat, 17 April 1931 oleh Raad van Justitie van Batavia sudah menguatkan putusan Landraad Bandung, sehingga sekarang tetap saudara Ir. Soekarno mendapat hukuman empat tahun, saudara Gatot Mangkoepradja dua tahun, saudara Maskoen dua puluh bulan dan saudara Soepriadinata lima belas bulan,” tulis bulanan Persatoean Indonesia edisi 30 April 1931 tentang penolakan terhadap banding itu.
Bung Karno sendiri kemudian mendapat pemotongan setelah pemerintah kolonial mendapat tekanan kuat dari para politisi liberal di Negeri Belanda. Si Bung akhirnya dibebaskan pada 31 Desember 1931.
Baca juga: Sang Orator Keluar dari Penjara