Ulah Sukarno Pasca Dibui
Apa yang dilakukan salah satu musuh nomor satu pemerintah Hindia Belanda ini sekeluar dari penjara?
Setelah bebas dari penjara, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dikabarkan rehat dari panggung politik. Ada yang bilang, mantan gubernur DKI Jakarta ini kembali pada profesi lamanya, yakni pengusaha. BTP juga disebut-sebut akan mencoba peruntungan baru di dunia hiburan dengan membuat gelar wicara bertajuk “BTP Show” sekaligus menjadi seorang video blogger. Namun yang menjadi perbincangan banyak orang adalah kabar seputar rencana BTP untuk menikah lagi pada 15 Februari mendatang.
Seperti halnya BTP, Sukarno - kelak jadi presiden pertama RI - juga pernah dipenjara karena aktivitas politik. Namun keduanya mengambil jalan berbeda setelah bebas dari penjara. Bila BTP menjauh dari hingar bingar politik dan mengurusi kepentingan dirinya sendiri, maka Sukarno sebaliknya.
Sukarno menghabiskan masa kurungan antara 1929 sampai 1931 dari penjara Banceuy ke penjara Sukamiskin, Bandung. Dia dipenjara lantaran pemerintah kolonial menuduhnya sebagai musuh berbahaya yang menyebarkan propaganda terhadap kaum bumiputra. Sebelum meninggalkan pintu jeruji besi, Sukarno sempat berpesan kepada kepala penjara Sukamiskin.
“Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama,” kata Sukarno sebagaimana dituturkan istrinya, Inggit Garnasih kepada Ramadhan K.H dalam Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno.
Baca juga: Sang orator keluar dari penjara
Hidup menderita dalam bui sepertinya tak cukup bikin Sukarno jera. Bebas dari penjara, Sukarno hanya tinggal di rumahnya di Bandung selama dua hari. Hari ketiga, Sukarno berangkat ke Surabaya untuk menghadiri Kongres Indonesia Raya yang dipimpin Dr. Soetomo. Kesempatan ini menjadi momentum bagi Sukarno untuk tampil lagi ke ruang publik setelah vakum dua tahun lamanya.
Sejarawan Jerman Bernard Dahm, penulis biografi pertama tentang Sukarno mencatat, berita kepergian Sukarno ke Surabaya menghiasi halaman utama bermacam suratkabar. Perjalanannya dengan kereta api dari Bandung ke Surabaya merupakan suatu perjalanan kemenangan. Massa berjubel di stasiun-stasiun kereta api untuk menyaksikan Sukarno lewat. Setiba di Surabaya, Sukarno mendapat kehormatan luar biasa. Sebanyak enam ribu warga Surabaya yang menjadi simpatisan menyambut kedatangan Sukarno dengan penuh antusias.
“Pemujaan terhadap diri Sukarno mencapai puncaknya dalam Kongres Indonesia Raya pada awal 1932, yang merupakan peristiwa pertama yang dihadiri Sukarno sejak ia keluar dari penjara,” tulis Bernard Dahm dalam disertasinya “Sukarnos Kampf in Indonesiens Unabhangigkeit” yang pada 1987 dibukukan dalam bahasa Indonesia Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
Di Surabaya, Sukarno berbicara tentang pentingnya persatuan untuk melawan penjajahan. Menurut Sukarno dalam otobiografinya, pidatonya di Surabaya merupakan yang paling menggelegar sepanjang hidupnya. Tekadnya untuk merdeka ditularkan kepada peserta kongres. Dengan mata berlinang, Sukarno menutup pidatonya dengan seruan bahwa rakyatnya akan kembali bersatu.
Sukarno tak berhenti. Dia terus mempengaruhi massa di mana-mana. Inggit menuturkan aktvitas Sukarno selepas bebas diisi dengan hadir dan pindah dari rapat yang satu ke rapat yang lain. Sukarno berpidato dari podium ke podium, menghidupkan semangat banyak orang, meyakinkan banyak orang, menyuarakan isi hati banyak orang. “Dan aku terus mendampinginya,” kata Inggit.
Tak cukup di podium, Sukarno juga bergerak lewat pena. Kesukaan Sukarno terhadap agitasi massa diiringi dengan menulis di mingguan Fikiran Ra'jat, majalah Partai Indonesia (Partindo) yang menggantikan PNI. Lewat Fikiran Ra'jat, Sukarno melancarkan kritiknya terhadap pemerintah kolonial. Seperti misalnya, mengenai kebijakan represif pemerintah terhadap pemberontakan awak kapal Zeven Provincien. Akibatnya, Sukarno kembali masuk daftar hitam buruan pemerintah. Pejabat kolonial menerbitkan perintah agar siapa saja yang membaca Fikiran Ra'jat atau yang memakai peci dikenakan tahanan.
Baca juga: Riwayat berdirinya PNI
Ketika Sukarno hendak melakukan perjalanan ke Jawa Tengah pada Maret 1933, dia terlebih dahulu melepas lelah beberapa hari di Pegunungan Pengalengan Bandung. Di sana, Sukarno menulis risalah berjudul Mencapai Indonesia Merdeka. Risalah itu oleh pemerintah dianggap menghasut sehingga dinyatakan terlarang. Pemerintah menutup peredarannya dengan cara merampas, menyita, dan menggeledah rumah-rumah yang dicurigai. Dengan segera, Sukarno menjadi target pencidukan polisi.
Pada tengah malam 1 Agustus 1933, Sukarno ditangkap polisi setelah mengadakan rapat di rumah Husni Thamrin di Jakarta. Saat perjalanan pulang, Sukarno berhadapan dengan seorang komisaris polisi yang telah menunggu di depan rumahnya. Atas nama Sri Ratu, sang polisi langung melakukan pencidukan.
“Kesalahanku cuma oleh karena aku tidak menutup mulutku yang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari penjara,” kata Sukarno sebagaimana dituturkan kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Untuk kali kedua, Sukarno jadi tahanan dan masuk bui selama delapan bulan. Pemerintah selanjutnya menyiapkan penjara khusus untuk mengasingkan Sukarno. Pada 1934, gubernur jenderal memutuskan untuk mengirimkan Sukarno ke Ende, pulau terpencil di Flores, Nusa Tenggara Timur. Keberangkatannya ke sana, menurut sejarawan Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi, merupakan jalan menuju kesepian. Karena Sukarno sudah terbiasa dengan kerumunan massa, kepergian dari tanah Jawa sungguh merupakan suatu penderitaan.
Sukarno beruntung, ada Inggit yang selalu menemani. Begitu Sukarno bilang dirinya akan dibuang ke Flores, Inggit menenangkan suaminya itu dan ingin ikut. Dengan cepat Inggit berujar, “Euh Kasep (Ah Tampan), jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar