Bung Karno Si Salesman yang Selalu dalam Pengawasan
Sukarno menjadi salesman untuk mencari pemasukan tambahan ketika di Flores. Pengawasan aparat suatu sore membuatnya tertawa.
Meskipun hanya memiliki pemasukan amat sedikit dari aparat kolonial, Bung Karno tetap bisa survive saat menjalani pembuangan di Ende, Flores. Dapur rumahnya yang “dikomando” Inggit istrinya tetap bisa “ngebul” tiap hari.
“Sekalipun kami hanya punya uang sedikit, kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang sederhana. Kebutuhanku sederhana. Makananku terdiri dari nasi, sayur, buah-buahan, terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari yang kutanam di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para nelayan,” kata Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Namun, jatah kurang dari 10 dolar tiap pekan yang diberikan pemerintah kolonial jelas tak cukup untuk mendukung kegiatan-kegiatannya. “Karena itulah aku mencari uang tambahan dengan menjualkan bahan pakaian dari sebauh toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap barang yang kujualkan,” sambungnya.
Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat
Setelah barang contoh itu tiba dari Bandung, Bung Karno pun berkeliling menawarkannya dari rumah ke rumah. Begitu mendapat sejumlah pembeli, dia langsung mengirim wesel ke pihak toko yang dagagannya dia pasarkan. Barang akan datang kembali beberapa bulan kemudian.
Meski hanya sebagai salesman, Bung Karno tetap diawasi oleh aparat kolonial. Pengawasan tak hanya dilakukan sejumlah polisi tapi juga dengan tindakan yang membuat penduduk, terutama ambtenaar setempat dan kalangan terpelajar, takut mendekat padanya.
Situasi itu membuat Bung Karno amat tersiksa. “Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga untuk menikmati kesenangan yang kecil-kecil. Aku juga boleh berkeliaran dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkah saja, aku jadi sasaran hukuman. Di Flores semangatku berada dalam kurungan. Di sini aku diasingkan dari masyarakat, diasingkan dari orang-orang yang dapat mempersoalkan tugas hidupku. Orang di sini yang mengerti, takut untuk berbicara,” kata Bung Karno.
Maka, dia pun berpaling untuk mendapatkan perkawanan. “Kalau begitu keadaannya, aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orang-orang yang melarat ini. Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja – inilah kawan-kawanku,” sambungnya.
Baca juga: Bung, Saudara Serevolusi
Pergaulan dengan masyarakat lapisan bawah tak hanya memberikan Bung Karno kawan, tapi juga memberinya pandangan lebih jelas mengenai kehidupan bangsanya dari mata sendiri. Dia akhirnya bisa mengorganisir anak-anak dengan membentuk grup sandiwara Kelimutu.
Aktivitas itu jelas mendapat perhatian dari pemerintah kolonial. Lewat kaki-tangannya yang terus mengawasi dan aparat-aparatnya yang selalu menguntit Sukarno, pemerintah terus membatasi ruang-gerak sang “Singa Podium”.
“Di kota ini ada delapan polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di samping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek ‘Hima’. Yang terlalu jelas adalah bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda yang misterius selalu berada pada jarak 60 meter di belakangku, maka tahulah aku,” kata Sukarno.
Pengawasan itulah yang pada suatu sore membuat Sukarno tertawa karena mendapat hiburan gratis. Ketika sedang bersepeda menuju sebuah sungai, Sukarno dikuntit seorang polisi berpakaian preman yang juga bersepeda. Pada saat polisi itu berhenti dan terus mengawasi gerak-gerik Sukarno, tiba-tiba dua ekor anjing melompat ke arahnya dengan geram.
Baca juga: Sukarno dan Anjingnya
“Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena kagetnya memanjat ke atas sepedanya dan berdiri di ats tempat duduk-duduk dengan kedua belah tangannya berpegang erat ke pohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor di waktu itu, namun pemandangan ini lebih menyegarkan badanku daripada air sungai yang sejuk,” kata Sukarno.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar