top of page

Sejarah Indonesia

Buku Dan Perjalanan Intelektual Sukarno

Buku dan Perjalanan Intelektual Sukarno

Sukarno membaca buku sejak belia. Menemani petualangan intelektualnya hampir sepanjang hayat.

24 November 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sukarno pada Pekan Buku Indonesia 1954. (Wikimedia Commons).

Kendati sebagai anak bangsawan rendahan masih mendapatkan diskriminasi, Sukarno tetap beruntung karena sejak kecil berkesempatan mendapat pendidikan formal. Hal ini berperan penting dalam perkembangan intelektualnya. Dari sekolah pula Sukarno mulai mendapat akses terhadap buku.


Sosok Sukarno tentu tidak semata dibentuk oleh pendidikan dan buku. Pengalaman pribadi, pertemuan dengan berbagai ide, pengalaman organisasi, serta situasi politik lokal maupun global juga ikut membentuknya. Namun, buku menjadi teman baik dalam petualangan intelektualitasnya.


Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliatri dalam pembukaan Pameran dan Dialog Sejarah “Bung Karno dan Buku-bukunya ” di Facebook dan Youtube Historia, Selasa, 24 November 2020, di luar perpustakaan sekolah, Sukarno juga mendapat bacaan dari perpustakaan teosofi di mana ayahnya bergabung. Dengan meminjam kartu anggota ayahnya, ia bebas membaca buku apa saja.


“Dia mengakses informasi terutama tentang sumber-sumber mengenai pemikiran-pemikiran orang-orang Asia,” sebut Rhoma.


Banyak buku juga dia pinjam dari guru bahasa Jermannya, C Hartogh, dan mentornya di Bandung, D.G. Koch. Sukarno juga seringkali mendapat hadiah dari teman-temannya dan membaca buku di perpustakaan penjara seperti ketika dipenjara di Sukamiskin, Bandung.


Sebagaimana tokoh bangsa lain yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Sukarno juga berupaya mengkonversi bacaannya dari berbagai buku menjadi ide serta realitas tindakan. Rhoma mencontohkan, satu buku yang banyak dibaca tokoh generasi 1928 adalah Also Sprach Zarathustra karya filsuf Friedrich Nietsche. Beberapa tokoh mengambil spirit pencerahan dan Ubermensch (Adi Manusia) dari Nietsche dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Tan Malaka, misalnya, mengambil spirit ini secara personal meski tidak eksplisit. Sementara Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menerjemahkan spirit tersebut dengan kembali berpijak pada tradisi lokal.


Sukarno mengambil gagasan tersebut dalam membangun sumber daya manusia di era Indonesia merdeka. Pengaplikasiannya masuk dalam cita-citanya membentuk manusia yang mempunyai jiwa dan mental kuat serta tanpa sekat rasial, salah satunya dengan cara kawin campur.


Namun, Sukarno bukan pembebek satu gagasan. Ia seringkali mengkritisinya. Ketika membaca biografi Mahatma Gandhi karya Romain Rolland dan Mijn Ervarigen Uit De Gevangenis karya Gandhi, Sukarno mengambil spirit nasionalisme Gandhi. Namun, Sukarno merasa Indonesia tidak cocok dengan gerakan swadeshinya Gandhi. Dalam tulisannya di Suluh Indonesia Muda pada 1932, Sukarno menolak gagasan swadeshi sebagai upaya Indonesia merdeka. Meski banyak tokoh saat itu menggunakan gagasan swadeshi untuk mengobarkan semangat Indonesia merdeka, Sukarno justru menawarkan gagasan baru: kalau Indonesia mau merdeka, perlu adanya politieke massa actie yang berasas marhaenisme.


“Ini artinya apa? bahwa Sukarno tidak mengambil mentah-mentah semua gagasan dari buku-buku yang dia baca,” jelas Rhoma.


Menurut Rhoma, setidaknya ada empat tahap proses pembacaan Sukarno. Pertama, memahami berbagai gagasan sebagai pijakan berpikir dengan memisahkan gagasan dengan si pembuat. Kedua, tidak mengambil begitu saja gagasan secara mentah-mentah dan melakukan refleksi. Ketiga, menyesuaikan dengan situasi dan konteks yang ada. Keempat, membuat alternatif solusi sendiri atas situasinya sendiri.


Sebagian besar buku yang dibaca Sukarno memang bertema politik. Wartawan senior Roso Daras menyebut hal ini terkait kepentingan Sukarno, tentang bagaimana memerdekakan bangsanya dari kolonialisme.


“Tetapi bukan berarti beliau tidak menggemari bacaan-bacaan yang lain. Karena dari tulisan-tulisan yang ada dalam beberapa artikel, utamanya kumpulan tulisan-tulisan yang ada di buku Dibawah Bendera Revolusi, misalnya, itu hampir semua aspek dia kupas,” terang Daras.


Sementara menurut Bonnie Triyana, pemimpin redaksi Historia sekaligus kurator pameran “Bung Karno dan Buku-bukunya”, Sukarno dan generasinya merupakan satu generasi yang kosmopolitan. Pada 1928, misalnya, mereka telah selesai pada persoalan rasialitas di mana hari ini isu tersebut justru muncul kembali.


“Ini adalah hasil dari pembacaan, hasil dari penyerapan atas ilmu pengetahuan, wacana, dengan dialektikanya zaman waktu itu dan juga melahirkan pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, yang membuat kita menjadi sebuah bangsa,” jelasnya.


Daras menyebut, meski Sukarno telah banyak melahirkan gagasan melalui buku-bukunya, masih ada gap yang jauh antara Sukarno dan generasi hari ini. Penyebabnya, dari tingkat literasi maupun tingkat kesulitan memahami tulisan Sukarno itu sendiri.


“Perlu ada banyak tafsir (terhadap gagasan Sukarno) untuk mempersempit gap sehingga lebih mudah dipahami generasi sekarang,” ujar Daras.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page