AIRNYA memang tidak jernih, tapi bersih. Pun pedestrian dan deretan bangunan di kiri-kanannya, semua bersih dan rapi. Begitulah kondisi Sungai Malaka di bagian sebelum muara siang 30 Juni 2024 itu.
Tak hanya berisi bangunan modern macam Dataran Pahlawan Melaka Megamall, kawasan di pesisir kota Malaka itu juga kaya bangunan tua. Tak jauh dari tepian Sungai Malaka tadi terdapat kawasan perbentengan Eropa. Salah satunya, Benteng Famosa yang menjadi peninggalan Portugis. Ia saksi bisu ramainya Malaka sebagai bandar utama di Selat Malaka beberapa abad silam yang didatangi orang dari berbagai tempat, termasuk Eropa.
Orang Eropa awalnya meyakini bahwa rempah-rempah yang diperdagangkan orang Arab dan India dihasilkan di Malaka, Semenanjung Malaya. Laksamana Portugis Afonso d’Albuquerque pun datang ke Malaka. Albuquerque berambisi mendapatkan rempah yang akan menghasilkan cuan itu.
Sejak 1511, Portugis telah memperlihatkan taringnya di Malaka. Armada Portugis di bawah Albuquerque berhasil menduduki negeri-kota itu dan melumpuhkan kuasa Sultan Mahmud yang berkuasa di sana namun kemudian dibiarkan berkuasa di bawah Portugis.
Sebagai penguasa Malaka, Albuquerque lalu mengangkat konsul dan syahbandar untuk pedagang Islam dan Hindu. Malaka sebagai bandar dagang tentu memberi pemasukan besar pada Portugis.
“Ketika Malaka telah diduduki Portugis, setiap kapal Melayu yang masuk atau keluar pelabuhan harus membayar pajak ekstra. Tarifnya 2 real untuk setiap orang jika awak kapalnya lima orang atau kurang. Kapal yang mempunyai awak kapal lebih banyak harus membayar 3 cruzado bagi setiap orang,” tulis Adrian B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.
Di zaman Albuquerque, Malaka adalah kota dagang kuat. Ia pusat perdagangan antara selatan dan timur.
Posisi strategis Malaka itu mendorong banyak bangsa ingin menguasainya. Portugis selaku penguasa tentu mendapatkan gangguan di Malaka. Pati Unus dari Demak adalah salah satu gangguan penting di awal kekuasaan Portugis di Malaka. Armada Demak menyerbu pada tahun 1513.
Sebelumnya, 1511-1512, Pati Katir memimpin orang Jawa dalam sebuah kerusuhan. Kerusuhan dipicu terbunuhnya Utimatiraja di tangan Portugis karena tuduhan pemerasan, penindasan, dan pengkhianatan.
Setelah Demak, giliran Aceh di utara dan Johor di tenggara menjadi penantang. Keduanya juga menginginkan Malaka yang merupakan salah satu bandar utama di Selat Malaka.
“Sejak pertengahan abad ketujuh belas, orang Aceh mulai menantang Portugis Melaka untuk hegemoni Selat tersebut, dengan melancarkan serangkaian serangan angkatan laut. Dari selatan, Melayu Johor-Riau memperbarui ambisinya untuk merebut kembali Melaka, bekas pusat kekuasaan dan kebanggaan Melayu. Selat tersebut kemudian terpecah menjadi tiga zona pengaruh yang saling bersaing, yaitu. Aceh di utara, Melaka Portugis di tengah, dan Johor-Riau di selatan. Pertarungan tiga sudut, pertarungan segitiga untuk menguasai Selat, pun terjadi. Namun tidak ada pemenang yang jelas, konflik yang berlarut-larut justru melemahkan semua pesaing,” tulis Ooi Keat Gin dalam artikel “‘Bridge’ to ‘Fence’: A Maritime History of the Straits of Malacca” di Journal of Maritime Studies and National Integration No. 6, 2022.
Dengan segala gangguan yang dialaminya, Portugis bisa berkuasa di Malaka lebih dari seabad, 1511-1641. Selama di Malaka, orang Portugis rajin membeli beras untuk bertahan hidup. Mereka cukup bisa makan nasi. Beras itu didapatkan Portugis dari Sulawesi Selatan. Menurut Christian Pelras dalam Manusia Bugis, seorang Portugis bernama Pinto telah menghitung bahwa beras yang dibeli dari Sulawesi Selatan cukup untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Portugis di Malaka.
Dari Malaka pula, Portugis mendekati banyak kerajaan di timur Nusantara. Persekutuan dengan beberapa kerajaan diusahakan Portugis. Sepanjang berkuasa di Malaka, Portugis mendapatkan banyak komoditas dari timur. Yang terpenting tentu rempah-rempah dari Kepulauan Maluku. Di sanalah rempah-rempah yang amat diinginkan Portugis dihasilkan.
Sebaliknya, kerajaan-kerajaan itu juga berusaha bersahabat dengan orang-orang Portugis demi perlindungan. Beberapa raja, seperti raja Siang di Pangkajene Kepulauan dan raja Suppa di utara Parepare, bahkan tertarik dengan agama orang Portugis. Kerajaan-kerajaan itu ingin aman dari gangguan kerajaan macam Gowa dan menginginkan persekutuan militer. Jadi selain pendeta, mereka ingin tentara pula. Namun belakangan, Portugis malah dekat dengan Gowa. Apalagi setelah Portugis kehilangan Malaka, yang awalnya dianggap oleh d’Albuquerque dan orang-orang Eropa lain sebagai penghasil rempah-rempah namun ternyata bukan.
“Albuquerque merasa di-prank,” kata Dr. Daya Negri Wijaya, pengajar sejarah Universitas Malang, dalam rangkaian acara Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) di Dumai, 18 Juni 2024.