Masuk Daftar
My Getplus

Raja Terakhir Singapura Bangun Malaka

Pernah berkuasa di Singapura dan Malaka, dia berasal dari Palembang.

Oleh: Petrik Matanasi | 01 Jul 2024
Benteng Famosa di Malaka. Saksi bisu Kesultanan Malaka dalam perniagaan rempah di era penjelajahan dunia oleh bangsa Portugis. (Petrik Matanasi/Historia)

KOTA pesisir di Malaysia yang pada 29 Juni 2024 malam hanya terlihat gemerlapan lampunya dari geladak KRI Dewaruci, kini (30 Juni 2024) jadi tempat persinggahan kapal layar milik TNI AL itu dalam pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah. Malaka, nama kota itu, dijadikan titik singgah karena merupakan salah satu bandar penting di Selat Malaka dalam perniagaan rempah di masa lalu.

Malaka tak bisa dilepaskan dari nama Parameswara. Parameswara adalah nama yang dikenal di tiga negara: Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di Malaka, Malaysia, nama Parameswara dikenal sebagai pendiri Kesultanan Malaka. Dia juga dikenal sebagai raja terakhir dari Tumasek, yang belakangan disebut Singapura. Sosok Parameswara di Malaysia dan Singapura itu diperkirakan kelahiran Palembang tahun 1344.

 

Advertising
Advertising

Versi Tome Pires

Tome Pires (1468-1540) merupakan juru tulis Portugal yang pernah melakukan perjalanan Asia. Berbagai daerah di Selat Malaka termasuk yang dikunjunginya. Dalam catatannya, yang dibukukan menjadi Suma Oriental, nama Parameswara disebut sebagai Paramicura.

Paramicura adalah anak seorang penguasa Palembang. Dia terkenal pemberani. Suatu kali, dia berlayar naik kapal jung bersama pengikutnya ke Singapura. Dia diterima penguasa Singapura Sam Agy. Setelah delapan hari Paramicura berada di Singapura, penguasa Singapura itu meninggal dunia. Konon Paramicura terkait dengan kematiannya.

Paramicura lalu menjadi penggantinya. Paramicura mengatur Pulau Singapura dan sekitarnya. Rakyatnya menanam padi.

Raja Siam yang merupakan mertua penguasa Singapura yang digantikan Paramicura, kemudian marah pada Paramicura. Singapura lalu diserangnya.

Paramicura yang telah berkuasa lima tahun di Singapura tak bisa apa-apa. Ia lalu melarikan diri dari Singapura. Bersama seribu pengikutnya dia menuju Sungai Muar. Paramicura membuka hutan dan menanami banyak pohon. Dia menciptakan daerah pertanian dan perkampungan.

Paramicura disebut menamakan tempat itu Malaka. Konon, dari kata Malaqa yang artinya buronan tersembunyi. Namun Willem Marsden dalam History of Sumatra (1811) menyanggahnya, Malaka adalah nama pohon buah –dikenal dengan buah malaka– yang ditemukan di atas bukit. Menurut Marsden buah itu punya nama latin Phyllanthus emblica atau Myrabolanum.

Sungai Muar yang jadi tempat Paramicura didatangi banyak kapal dari laut. Kapal-kapal itu datang untuk mengambil air tawar untuk persediaan. Suatu kali, Paramicura bertemu sekelompok orang yang datang ke daerah yang dibukanya. Anwar Syair dkk dalam Sejarah Daerah Riau menyebut orang-orang yang mendatangi Paramcura alias Parameswara itu sebagai Suku Laut. Mereka datang untuk “minta kesediaan Parameswara untuk menjadi raja mereka.”

Paramicura membiarkan Suku Laut yang baru datang itu ikut bersamanya. Tome Pires menceritakan percakapan antara Paramicura dengan Suku Laut itu. Tak jelas dari mana Tome Pires mendapatkan cerita tersebut.

“Kalian sudah tahu bahwa dalam bahasa kami orang yang melarikan diri disebut Malayo,” kata Paramicura kepada pendatang tadi, seperti dikisahkan Tome Pires.

 

Versi Cerita Rakyat Jawa

Tanah yang dibuka Paramicura alias Parameswara di akhir abad ke-14 itu terus berkembang. Dalam dua tahun, menurut Anwar Syair dkk., penduduknya sudah 2.000. Kemungkinan terdiri dari seribu pengikutnya ditambah pendatang-pendatang baru dari luar Semenanjung Malaya. Tanah yang dipimpinnya itu kemudian disebut Kerajaan Malaka.

Parameswara merupakan raja yang masuk Islam, dengan gelar  Sri Iskander Shah. Bagi Parameswara yang penguasa Muslim, Majapahit yang Hindu dan berpusat di Jawa menjadi gangguan keamanan tersendiri.

Dalam cerita rakyat di Jawa Timur yang berkembang, Parameswara yang ini hidup sezaman dengan Ratu Dewi Suhita dari Majapahit, yang merupakan putri Wikramawardhana dengan Kusumawardhani. Cerita yang dikisahkan Ade Soekirno dalam Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara 2 menyebut Suhita tak mau diajak mengembara oleh Parameswara yang kemudian terdampar di Singapura.

“Dewi Suhita kawin dengan bhre Parameswara alias Haji Ratnapangkaja dari Koripan,” catat Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.

Suhita naik takhta setelah Perang Paregreg antara ayahnya dengan Bre Wirabumi. Slamet Muljana menyebut, Suhita naik tahta tahun 1427-1447. Perkawinan Suhita dengan Parameswara tidak memperoleh keturunan.

Beberapa versi soal Parameswara sendiri memang membingungkan. Namun tidaklah mengherankan jika banyak yang bertanya-tanya apakah Parameswara di Majapahit ini sama dengan Paramesawara yang dikenal di Malaysia sebagai pendiri Malaka dan raja terakhir Singapura.

“Ada kemungkinan sama,” kata Daya Negri Wijaya, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang yang mendalami sejarah Malaka.

Menurutnya, dalam sejarah Melayu, Salatus Selatin, diceritakan bahwa Parameswara (yang dari Majapahit itu) lari ke Tumasik. Di Tumasik dia diserang raja Siam karena kematian Adipati Tumasik yang menantu raja Siam. Sebelumnya, Parameswara itu sempat berada di Palembang karena kejaran dari Majapahit.

TAG

malaka lada rempah-rempah jalur rempah

ARTIKEL TERKAIT

Perwira Prancis Beli Lada dapat Prank Raja Perkasa Alam Kuat dan Paranoid Pedir Kaya Jual Merica Arab dan Tiongkok Berebut Rempah di Riau Dewaruci Menuju Negeri Laskar Pelangi Tanpa Pajak, Palembang Kaya Catatan Tentang Kerajaan Tulang Bawang Lima Tokoh Bangsa Bibliofil Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang