PADA 1954, Augustin Sibarani, pelukis dan karikaturis terkemuka Indonesia, menghadiri pertemuan besar keluarga masyarakat Tapanuli yang diselenggarakan Panitia Sisingamangaraja XII di gedung Adhuc Stadt (sekarang gedung Bappenas) di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu hadir seorang tokoh Batak yang sudah tua, Sutan Paguruban Pane, ayah pengarang terkenal Sanusi dan Armijn Pane. Waktu Sisingamangaraja XII bergerilya di daerah Dairi, Sutan bekerja sebagai klerk (juru tulis) di kantor pemerintah Hindia Belanda di Sibolga.
Panitia memutuskan agar Sibarani membuat gambar Sisingamangaraja XII berdasarkan keterangan dari Sutan Paguruban Pane. Aneh memang, tidak ada foto Sisingamangaraja XII, sementara ayahnya, Sisingamangaraja XI ada fotonya yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis asal Jerman. Ada cerita bahwa tak ada foto Sisingamangaraja XII karena kesaktiannya membuat juru foto Belanda menjadi kaku ketika hendak memotret jenazahnya, dan kameranya hangus terbakar.
Sibarani membuat lebih dari sepuluh sketsa Sisingamangaraja XII. Salah satunya, menurut Sutan Paguruban Pane, sudah cukup mirip tapi dia meminta Sibarani untuk menyempurnakannya. Untuk itu, Sutan menyuruh Sibarani untuk pergi ke Tapanuli, Sumatra Utara, menemui tokoh-tokoh lain yang mengenal Sisingamangaraja XII.
“Ada sejumlah uang yang dikumpulkan oleh panitia untuk tujuan memberangkatkan saya ke Tapanuli. Tapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan saya, karena ada anggota panitia yang menyeleweng, karena itu saya tidak jadi pergi ke Sumatra. Dan selama beberapa tahun kemudian persoalan pembuatan gambar Sisingamangaraja dilupakan,” kata Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII.
Baca juga: Miskinnya Sisingamangaraja XII
Pada 1957, Joramel Damanik, tokoh Batak yang memiliki penerbitan, mengirim pelukis terkenal, Zaini, ke Sumatra Utara untuk menemui keluarga Sisingamangaraja XII. Lukisan Sisingamangaraja XII yang dibuat Zaini ditolak keluarga Sisingamangaraja XII karena kelihatan terlalu gemuk.
“Bila saja Zaini memakai logika sedikit, dia akan menyadari bahwa seorang pemimpin yang bergerilya dan terus-menerus mengadakan long march di hutan belantara dan daerah berbatu di Dairi selama lebih kurang 20 tahun, tidak mungkin berbadan gemuk atau bertubuh penuh lemak,” kata Sibarani.
Setelah itu, persoalan gambar Sisingamangaraja XII tidak bicarakan lagi sampai tahun 1961 ketika Sisingamangaraja XII akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Pada Agustus 1961, Sibarani dikunjungi Kolonel Rikardo Siahaan, tokoh pejuang Medan Area, bersama Kapten Sinaga. Mereka meminta Sibarani segera pergi ke Tapanuli untuk merampungkan lukisan Sisingamangaraja XII. Mereka menyampaikan lukisan harus diserahkan kepada Presiden Sukarno pada Hari Pahlawan, 10 November 1961. Sibarani dibekali uang Rp6.000, jumlah yang cukup lumayan pada waktu itu.
Baca juga: Cerita di Balik Gambar Pattimura
Sibarani pergi ke Tapanuli ditemani pelukis Batara Lubis dan Amrus Natalsya. Sesampainya di Medan, Sibarani didatangi pensiunan Bupati yang mengaku putra Raja Ompu Babiat Situmorang, raja yang berjuang bersama Sisingamangaraja XII di daerah Dairi.
Sibarani mendatangi Raja Ompu Babiat Situmorang di Harianboho (Samosir) di tepi Danau Toba. Raja itu menerangkan ciri-ciri Sisingamangaraja XII: tingginya sekitar dua meter, wajahnya agak lonjong, tidak berkumis karena suka dicabutin pakai pinset, alisnya tebal, jenggotnya agak kemerahan pada ujung-ujungnya dan agak mengarah ke atas, rambutnya yang panjang diikat seperti timpus (buntelan di belakang kepala), dadanya yang bidang dipenuhi bulu yang agak kasar, hidungnya mancung tapi agak besar, dan dahinya lebar.
Selain keterangan penting itu, Sibarani mendapatkan dua foto dari putri Sisingamangaraja XII, yaitu foto Raja Buntal dan Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII. Menurut Raja Ompu Babiat Situmorang, kalau wajah Raja Buntal disatukan dengan wajah Raja Sabidan, maka Sibarani dapat melihat wajah Sisingamangaraja XII.
Baca juga: Batak dalam Tanda Kutip
Setelah mengetahui ciri-ciri Sisingamangaraja XII, Sibarani membutuhkan model. Dia mengunjungi Raja Barita Sinambela sekaligus meminta restu untuk melukis ayahnya, Sisingamangaraja XII. Kebetulan di rumahnya tinggal Patuan Sori, putra Raja Buntal, yang berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA. Dia memiliki alis mata yang tebal dan matanya agak besar mencekam sesuai dengan keterangan Raja Ompu Babiat Situmorang.
“Putra dari Raja Buntal inilah, yaitu Patuan Sori, yang saya minta untuk menjadi model,” kata Sibarani.
Sibarani meminta bantuan seorang tua marga Sinambela untuk memakaikan pakaian kepada Patuan Sori. Orang tua itu mengenal Sisingamangaraja XII sekaligus sebagai pengantar surat-surat Sisingamangaraja XII kepada para panglimanya atau raja-raja lain.
Selama beberapa hari, Patuan Sori dengan memakai pakaian Sisingamangaraja XII berpose di hadapan Sibarani. Sibarani menyelesaikan lukisan Sisingamangaraja XII di rumah iparnya di Medan yang tak jauh dari rumah Raja Barita Sinambela. Setelah selesai, Raja Barita Sinambela dan seorang tua marga Sinambela merestui lukisan Sisingamangaraja XII karya Sibarani.
Baca juga: Siapa Penembak Sisingamangaraja XII?
Sibarani menyerahkan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Kolonel Rikardo Siahaan untuk diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 10 November 1961. Namun, tidak jadi karena menunggu seorang ibu tua berusia 72 tahun, anak Sisingamangaraja XII. Dia mengaku kakak dari Lopian, putri Sisingamangaraja XII yang meninggal bersama ayahnya. Dia mengoreksi lukisan itu: bulu dada Sisingamangaraja XII tidak begitu tebal, jenggotnya tidak terlalu panjang, hidungnya harus dibesarkan sedikit, dan alis matanya terlalu tebal. Dia meminta Sibarani untuk mengubah lukisannya sebelum diserahkan kepada Presiden Sukarno.
“Besoknya lukisan itu saya ubah lagi hingga lukisan Sisingamangaraja XII yang berdiri tegak memegang tongkat itu pun selesai,” kata Sibarani.
Anggota panitia, tokoh-tokoh terkemuka sipil dan militer dan keluarga keturunan Sisingamangaraja XII menghadiri upacara penyerahan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Presiden Sukarno di Istana Negara pada Desember 1961. Ketika lukisan itu diserahkan kepada Sukarno, ibu tua itu berteriak “Among (ayah)” lalu pingsan.
Baca juga: Cerita di Balik Gambar Sunan Kalijaga
“Semua tokoh yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Sisingamangaraja XII menandatangani suatu pernyataan bahwa mereka mengakui lukisan Sisingamangaraja yang saya buat,” kata Sibarani. “Tapi sayang, ini semua tidak dapat saya hadiri sebagai pelukisnya karena saya tidak berada di Jakarta. Saya sedang berada di Medan menghadiri perayaan hari ulang tahun ibu saya.”