Masuk Daftar
My Getplus

Sekolah di Sabang

Setelah 1905, Sabang punya SD modern. Satu di antara siswanya jadi pahlawan nasional.

Oleh: Petrik Matanasi | 10 Jul 2024
Gedung bekas ELS Sabang yang kini menjadi SDN 2 Sabang. (Petrik Matanasi/Historia)

KOTA Sabang punya museum. Letaknya di Jalan Oentoeng Surapati. Museum itu menampilkan banyak foto dan benda yang berkaitan dengan masa lalu kota Sabang sebagai kota pelabuhan penting di Aceh.

Pelabuhan Sabang dulu dikelola oleh NV Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia alias Sabang Maatschappij. Sejak 1896, Sabang hendak dijadikan pelabuhan bebas. Maka kota Sabang selain punya pelabuhan juga punya kantor, perumahan, dan sekolah.

Sekolah yang terletak di seberang Museum Sabang itu gedungnya masih berdiri kokoh dan kini menjadi SDN 2 Sabang. Didirikan hanya berdasarkan kebutuhan pegawai kolonial semata, sekolah itu hanya sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda dengan standar anak Eropa, Europe Lager School (ELS). Tak sembarang siswa bisa besekolah di sana alias hanya anak Eropa atau pembesar bumiputra saja yang bisa.

Advertising
Advertising

Adalah G. Herman yang berjasa di balik pendirian sekolah tersebut. Koran Sumatra Post tanggal 20 April 1905 menyebut G. Herman telah meminta agar sekolah Eropa dibuka di Sabang.

Mulanya, ELS Sabang diperuntukkan bagi 17 anak-anak Eropa saja. Pada tahun berikutnya baru ada anak pegawai bumiputra yang bekerja di Sabang. Di antara murid bumiputra yang bersekolah di sana ada anak dan keponakan seorang polisi bernama Sutan Martua Raja.

Martua Raja merupakan seorang mantri polisi yang ditugaskan di Sabang pada 1913. Penugasannya seiring dengan penegakan keamanan dan ketertiban di Sabang yang tentu membutuhkan aparat kepolisian. Sebagai seorang kelas menengah, Martua Raja mementingkan sekolah modern untuk anak-anaknya. Dengan kedudukannya sebagai mantri polisi yang dihormati itulah Sutan Martua Raja menyekolahkan anak dan keponakannya di ELS Sabang.

Bagi Krueng Raba Nasution alias Sutan Muhammad Amin Nasution, Sutan Martua Raja adalah pamannya. Martua Raja dipanggilnya “Pakcik”. Amin pada umur 8 tahun mulai ikut dengan pamannya itu di Sabang sehingga jauh dari orangtua kandungnya. 

“Beberapa hari setelah menginjakkan kaki di daratan Sabang, saya bersama dengan anak Pakcik, Anwar, dibawa ke rumah kepala ELS, untuk diuji kepandaian kami dalam berbahasa Belanda,” aku SM Amin dalam Perjalanan Hidupku Selama Sepuluh Windu.

Setelah ujian itu, Amin diterima dan bersekolah di ELS Sabang. Namun Amin tak lama bersekolah di tempat yang teduh itu. Dia hanya sampai 1915 di sana, ketika masih kelas tiga. Sebab, dia harus ikut serta dalam kepindahan keluarga yang diikutinya. Amin lalu pindah sekolah ke ELS di Solok, dan kemudian melanjutkan hingga lulus di ELS Tanjung Pinang. Setelah belajar di sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS), dia belajar di sekolah hukum Recht Hogeschool (RHS), Jakarta.

Belasan tahun setelah Amin bersekolah di sana, Sabang kedatangan seorang dokter asal Ambon. Namanya dr. Jonas Andreas Latumeten (1888-1948). Koran De Indisch Courant tanggal 2 April 1926 memberitakan, sebelumnya dr. Latumeten adalah direktur rumahsakit jiwa di Lawang, Malang. Di Sabang, Latumeten menjadi direktur Rumah Sakit Jiwa Sabang yang harus merawat 1.200 pasien.

Orang Indonesia lain yang pada 1920-an jadi direktur rumah sakitjiwa itu adalah dr. Tumbelaka. Pria dari Manado itu sebelumnya jadi direktur rumahsakit jiwa di Magelang.

Saat bertugas di Sabang, Latumeten pun menyekolahkan anaknya, Willem Johannes Latumeten alias Wim Latumeten, di ELS Sabang. Wim yang kelahiran 1916 itu pernah belajar di ELS Utrech. Keluarga Latumeten tinggal di Sabang dari 1926 hingga 1929.

“Di sana Wim bersekolah sampai menamatkan ELS pada pertengahan 1929. Di tahun yang sama kira-kira setelah Wim menamatkan ELS, dr Latumeten dikembalikan dari pengasingan dan diserahi tugas memimpin rumah sakit jiwa Bogor, sebagai direktur rumah sakit tersebut,” catat GA Manilet Ohorella dalam WJ Latumeten Hasil Karya dan Pengabdiannya.

Manilet Ohorella menyebut penugasan dr Latumeten di Sabang adalah pengasingan untuk sang dokter yang dekat dengan pergerakan nasional itu. dr. Latumeten terlibat dalam Ambon Studie Fonds untuk memajukan pendidikan orang Ambon.

Seperti ayahnya, Wim juga dekat dengan gerakan kemerdekaan. Wim yang pernah belajar di sekolah tinggi kedokteran Geneeskundig Hogeschool Jakarta ini ada di pihak Republik Indonesia ketika revolusi kemerdekaan pecah. Setelah sengketa Indonesia Belanda, dia ikut mendirikan Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) pada awal 1950-an.

Serupa dengannya, Amin juga tak sekedar jadi ahli hukum. Dia juga pendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 1946, dirinya ditunjuk Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan menjadi wakilnya di Tapanuli dengan jabatan resmi Gubernur Muda Sumatra Utara. Atas jasanya pada republik, pada 2020 pria yang tutup usia pada 16 April 1993 itu dijadikan Pahlawan Nasional.

TAG

sejarah aceh hindia belanda jalur rempah

ARTIKEL TERKAIT

Desa Bayu Lebih Seram dari Desa Penari Kekalahan Besar Janssens Bekas Kantor Redaksi De Locomotief di Semarang Dihancurkan Memamerkan Negeri Jajahan Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Rokok Kulit Pisang Bikin Anak Muda Amerika Melayang Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Rotterdam Pulangkan 68 Artefak Jarahan ke Indonesia Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian II – Habis) Moonlight Sonata dan Kisah Cinta Tak Sampai Ludwig van Beethoven