Masuk Daftar
My Getplus

Mengenal Kain Tenun Halaban, Sobi, dan Cual Sambas

Tiga jenis wastra tradisional Nusantara ditampilkan dalam pagelaran Jakarta Fashion Week tahun ini. Mengusung sintesis dari konsep tradisi dan modern.

Oleh: Martin Sitompul | 24 Okt 2024
Pertunjukan busana tenun Nusantara dalam pagelaran Jakarta Fashion Week 2025 (23/10). Ki-ka: Tenun Cual Sambas, tenun Sobi Muna, dan tenun Halaban. (Riyono Rusli/Historia)

KAIN tenun songket Halaban berasal dari Sumatra Barat. Kain tenun Sobi banyak ditemui daerah Sulawesi. Sementara itu, kain tenun Sambas berasal dari Kalimantan Barat namun lekat dengan kultur Melayu. Ketiga jenis wastra tradisional Nusantara itu ditampilkan dalam konsep “Dialektika” di Jakarta Fashion Week 2025, salah satu pertunjukan fesyen paling prestisius di Indonesia.

“Kita tahu tenun itu kan memiliki jati diri yang tradisional, identitas tiap-tiap daerah kita, dan ciri khas bangsa kita. Sedangkan saat ini kita juga sedang memodernisasi (tenun) dengan fungsi yang kita pakai sehari-hari. Dua ciri khas itu digabungkan menjadi satu, itulah dialektika,” ujar Aliya Rajasa, pengurus Cita Tenun Indonesia (CTI) bidang Hubungan Masyarakat, dalam konferensi pers pertunjukan fesyen Jakarta Fashion Week (JFW) 2025 di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, kemarin (23/01).

Dialektika pertama menyuguhkan kain tenun songket Halaban dari Sumatra Barat. Perancang busana Asha Samara Dara dari rumah mode Oscar Lawalata Culture menggubahnya menjadi koleksi busana siap pakai. Tenun songket Halaban memiliki karakteristik timbul yang diperoleh dengan cara penambahan benang pakan (benang horizontal) di atas benang lungsi (benang vertikal) dengan cara disungkit. Dari segi pewarnaan, tenun songket Halaban punya ciri khas penggunaan warna metalik, seperti emas dan perak.

Advertising
Advertising

Baca juga: Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara

Menurut Asha, setiap kain tradisi Indonesia punya karakteristik. Dari motif, tekstur, hingga warna menuntun kepada desainnya sendiri. Bagi para perancang busana, itu menjadi tantangan tersendiri untuk memberikan sentuhan art pieces.

“Untuk mendesain kain tradisi itu berbeda dengan kain yang sudah modern. Tekstilnya itu lebih berbicara dibanding desain,” ujarnya.

Kain Tenun Halaban khas Sumatra Barat dalam balutan busana karya Oscar Lawalata. Foto: Riyono Rusli/Historia.id.

Desainer muda Felicia Budi terpikat untuk membesut kain tenun sobi Muna, Sulawesi Tenggara. Tenun Sobi merupakan jenis tenun khas etnis Bugis yang motifnya hanya terlihat di bagian depan kain, sedangkan bagian belakang polos tanpa motif. Karakteristik ini tercipta dari proses teknik pakan mengambang. Ketika benang pakan dimasukkan, benang lungsi diturunkan diselingkan di bawah atau diturunkan.

Kain Tenun Sobi Muna khas Sulawesi Tenggara. Foto: Riyono Rusli/Historia.id. 

Secara warna, tenun Sobi lebih menyala sebagaimana ciri kain tenun di daerah pesisir. Tenun Sobi menampilkan beragam motif dan pola yang variatif, seperti flora, fauna, bintang hingga motif abstrak dan motif lainnya. Salah satu kesamaan tenun Sobi dengan jenis tenun lain adalah penggunaan motif seperti Pucuk Rebung, yang juga sering ditemukan pada tenun songket dan kain tenun tradisional lainnya.

Baca juga: Makna Menarik Kain Jarik

Sementara itu, perancang busana Era Soekamto menggabungkan tenun Cual Sambas dengan batik tulis Jawa lewat sebuah presentasi bartajuk “Pakerti”. Tenun Cual Sambas merupakan hasil akulturasi antara etnis Melayu yang terkenal akan tenun songket dengan metalik, dengan teknik ikat lungsi khas suku Dayak. Tenun ikat memperoleh motifnya dari teknik pewarnaan benang yang diikat sesuai desain yang telah direncanakan, lalu dicelup sebelum ditenun menjadi sebuah kain. Tenun Cual Sambas mempertemukan kedua teknik tenun tersebut. Budaya tenun di Sambas setidaknya sudah terjejaki sejak abad ke-17 pada masa Kesultanan Sambas.

“Tenun Sambas ini di Kalimantan, tapi budayanya sangat Melayu. Di sini terjadi percampuran, mungkin dialektika terjadi karena adanya fusion pertukaran budaya,” terang Era Soekamto.

Kain Tenun Cual Sambas perpaduan budaya Dayak-Melayu dan batik tulis Jawa karya Era Soekamto. Foto: Riyono Rusli/Historia.id.

Lewat Pakerti, Era Soekamto yang lebih dikenal sebagai perancang busana batik dan kebaya ini menyampaikan pesan tentang adat, martabat dan status sosial yang berhubungan erat dengan wastra. Terinspirasi dari sejumlah baju kebesaran adat Melayu, baik laki-laki dan perempuan, yang berbicara tentang budi pekerti, mengasah rasa, dan mengasah adab.

“Seperti dalam banyak budaya Melayu, kecantikan bukan hanya hanya soal rupa, tetapi juga kehormatan dan budi pekerti. Songket Sambas mencerminkan harmoni antara keindahan lahir dan batin, di mana pemakainya harus menjaga nilai-nilai adat dan kehormatan keluarga,” tutur Era Soekamto. “Saya ingin kearifan Nusantara ini digali dan diceritakan kembali, supaya paling tidak memberikan edukasi bagaimana fesyen digunakan, tapi pesannya juga ada.”

Baca juga: Tenun Nusantara Merambah Generasi Muda

Menurut Svida Alisjahbana, CEO GCM Group dan Chairman Jakarta Fashion Week, kekayaan kain tradisional Nusantara adalah kekayaan yang abadi. Bagaimana untuk mengolahnya, kini adalah keniscayaan.

“Maka penting sekali untuk adanya dialog menjadi dialektika sehingga kita bisa bawa ke panggung Jakarta Fashion Week, untuk menjadi satu fashion presentation di masa kini,” katanya.

TAG

fesyen pakaian tradisional kain tenun

ARTIKEL TERKAIT

Ali Sadikin Gubernur Necis Tenun Nusantara Merambah Generasi Muda Bikini dari Paris Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara Ratu Punk Vivienne Westwood Kemeriahan Mambo Fesyen Show Seragam Jerman Nazi Buatan Hugo Boss Topi Tangerang Masyhur di Negeri Orang Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Ketika Media Amerika Memberitakan Sukarno dan Dukun