KAIN tenun lurik biasanya dipakai sebagai busana tradisional masyarakat Solo. Tapi, pernahkah terbayang motif garis-garis tenun lurik melekat pada celana jins, jaket, dan ragam busana lain yang biasa dipakai oleh anak-anak muda? Tenun tentu tak lagi dipandang sebagai pakaian tradisional semata ataupun objek koleksi para kolektor wastra.
“Ini perpaduan antara pattern (desain) yang biasa kita pakai di koleksi sebelumnya dengan wastra lurik. Warnanya kita tabrakin menjadi sesuatu yang lebih fun untuk dipakai. Sebuah pieces yang lebih modern dan bisa dipakai untuk apa aja, fashion event apapun tujuannya biar bisa dipakai ke semua umur,” ungkap Reva Marchelin, penata fesyen Moneyman Works, dalam konferensi pers pertunjukan fesyen “VERSI” yang diselenggarakan Cita Tenun Indonesia (CTI) di Senayan City, 25 September 2024.
Menurut tradisi kebudayaan Jawa, fungsi semula kain lurik terbatas pada acara mitoni atau tujuh bulanan bayi. Pendapat berbeda dikemukakan Phillip Iswardono, yang mengutip Martono. Menurutnya, penggunaan lurik pada acara mitoni hanya sebagian dari acara-acara yang ada. Kendati begitu, penggunaan awal kain lurik tetap terbatas pada kepentingan tertentu.
"Lurik dalam istilah Jawa kuna disebut larik yang berarti baris, deret, garis atau jalur. Dimaknai sebagai pagar atau pelindung dari hal-hal jahat bagi pemakainya. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa tenun lurik memiliki kekuatan mistis. Sehingga penggunaan coraknya terbatas sesuai waktu dan kepentingan tertentu. Misal, corak liwatan, tumbar pecah, kembenan dan nyampingan yang dipakai untuk upacara selamatan tujuh bulanan. Kemudian ada corak kluwung dan tujuh watu untuk upacara ruwatan. Corak pletek jarak yang khusus dipakai oleh para bangsawan yang dapat menambah kewibawaan pada pemakainya, corak telu-pat yang digunakan oleh abdi dalem," tulis Iswardono dalam Lurik Lurik Menuju Wastra Setara.
Sebagian besar pemakai kain lurik adalah perempuan, dipakai sebagai jarit atau kain panjang penutup dada, untuk sarung, selendang, dan juga stagen. Untuk laki-laki, kain lurik biasanya digunakan sebagai bahan baju surjan. Namun, kini lurik dimungkinkan berkembang fungsi dan dinamis sesuai intelektual masyarakat ke arah profan. Perkembangan itu, seperti disebut Philip Iswardono, perancang busana yang mendalami studi tentang lurik, dalam Larik Lurik Menuju Wastra Setara, yakni pemberdayaan yang lebih membumi atau aplikasi bagi kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara
Tidak hanya lurik, pertunjukan juga menampilkan tenun dari berbagai daerah. Beberapa diantaranya seperti tenun endek Bali, tenun ikat sengkang dari Wajo, tenun anteng Lombok, tenun sobi Muna, dan tenun songket Lombok. Semua kain tenun tersebut yang punya warna dan corak khas masing-masing dipadupadankan dengan berbagai desain busana modern.
Qiara Amarullah, perancang busana muda dari Qanagara Indonesia, mengaku tertarik untuk memperkenalkan tenun kepada anak-anak muda segenerasinya. Dalam pertunjukan, Qiara mengusung konsep “Nona Lisa”, terinspirasi dari busana era Elizabethan atau kerajaan-kerajaan Eropa pada abad pencerahan dengan bahan kain tenun dari berbagai daerah Indonesia. Namun, ia merancangnya secara lebih kasual sehingga bisa dipakai sehari-hari.
“Aku ingin memperkenalkan tenun ke anak-anak sekarang. Bahwa tenun dengan batik itu beda. Dan (wastra) Indonesia itu enggak hanya batik,” terang Qiara.
Baca juga: Batik ala Bung Karno
Menurut Sjamsidar Isa, perancang busana yang juga pengurus CTI bidang quality control, Indonesia sangat kaya dengan berbagai teknik wastra. Dari barat ke timur, masing-masing daerah di Indonesia punya jenis dan corak kain tenun yang berbeda satu sama lain. Untuk itu, imbuhnya, kita perlu bangga untuk mengenal dan merawat kekayaan wastra yang luar biasa itu. Pada umumnya, perhatian terhadap kekayaan budaya baru diperhatikan kalau sudah diklaim oleh negara lain, seperti kasus-kasus sebelumnya.
Selain itu, tenun juga tidak boleh dianggap sebagai sepotong perca atau sobekan kecil kain sisa. Menilik proses kerja pengrajin di daerah, proses pembuatan tenun terbilang rumit dan lama. Untuk menghasilkan sepotong kain tenun, pengarajin bisa memakan waktu berbulan-bulan. Ditenun dengan penuh cinta dan kesabaran dan yang melakukan proses tenun itu banyak orang. Sebagai suatu karya yang patut dihargai, maka tidak heran kain tenun dijual mahal.
“Jadi enggak bisa asal dipotong-potong saja begitu. Penting bagi desainer muda kita untuk memahami (tenun) ini juga hasil karya artisan,” kata Bu Tjammy, panggilan akrab Sjamsidar Isa. “Tenun di Indonesia itu sangat luas, kami sekarang lagi dalam proses pendataan tenun di Indonesia dan itu suatu pekerjaan yang luar biasa besar.”