BAGI kebanyakan orang, membeli baju baru untuk menyambut lebaran menjadi kegiatan wajib di setiap tahunnya. Tak heran berbagai jenama fesyen, dalam maupun luar negeri, berlomba-lomba memamerkan koleksi busana muslim bertema Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri untuk menarik minat konsumen yang hendak tampil modis di momen tersebut. Perkembangan hari ini membuktikan, busana muslim terus menggeliat. Dari yang mulanya sebagai wujud resistensi, kini gaya pakaian Islami telah menjadi komoditi industri fesyen yang punya segmen pasar sendiri.
Pada akhir Februari lalu, jelang memasuki bulan puasa, empat label mode modestwear progresif (IKYK, RiaMiranda Signature, Artkea Stripes, dan Kami) menampilkan busana muslim dalam aneka balutan wastra tenun Nusantara. Fusi antara wastra tenun dan busana Muslim itu jadi sajian utama peragaan busana bertajuk “Cita Raya: Hikayat” di St. Regis Hotel, Jakarta (25/2). Kata “Hikayat” menjadi refleksi dari kedua aspek di balik kolaborasi mode ini, yaitu dinamika perjalanan agama Islam di Indonesia serta tenun di bumi Nusantara.
“Kolaborasi ini merupakan titik temu antara modestwear dengan tenun yang masih belum banyak dieksplor. Untuk itu, kami mencoba mengkolaborasikan dua konsep fesyen yang sudah punya komunitas masing-masing: tenun dan modestwear. Momennya juga pas, menyambut bulan Ramadhan dan Idul Fitri 1446H,” kata Dita Konar, penyelenggara peragaan busana sekaligus pendiri ruang kreatif Lomma, dalam siaran pers yang diterima Historia.id.
Baca juga: Mengenal Kain Tenun Halaban, Sobi, dan Cual Sambas
Para desainer menggunakan bermacam jenis kain tenun dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari tenun songket Palembang, tenun ikat Garut, tenun sutra Garut, tenun lurik Solo, tenun ikat Jepara, tenun Lunggi (songket Sambas), tenun Cual (Ikat Sambas), tenun ikat Sumba, tenun songket Bali, tenun Endek Bali, tenun Sobi Muna, tenun Sobi Wajo, tenun songket Lombok, hingga tenun Pahikung Sumba. Kain-kain tenun tersebut memiliki keragaman teknik, corak, dan kombinasi warna yang mencerminkan ciri khas daerah masing-masing.
IKYK mengusung konsep “TANA”, sebuah karya yang terinspirasi dari tanah warisan budaya heritage asli Indonesia, yaitu kain tenun yang kaya variasi dan jenisnya. Kami tampil dengan konsep “MEGARA”, yang menghadirkan motif-motif tradisional dalam potongan modern dan urban. Artkea Stripes menampilkan tema “HAYA”, yang mengkreasikan kain tenun lurik dalam estetika modern dan berkelas. Sementara itu, RiaMiranda menampilkan “RONA”, sebuah cerita tentang guratan keindahan warna-warni dari kain tenun ikat Garut.
“Kami terinpirasi oleh motif Kembang Cikurai dalam tenun ikat Garut, yang mencerminkan keindahan dan semangat masyarakat Garut. Kami menerjemahkannya dalam desain yang feminin, lembut, dan sentimental, cocok untuk perayaan Ramadhan dan Idul Fitri,” terang Ria Miranda, pendiri RiaMiranda Signature.
Baca juga: Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara
Menurut Sjamsidar Isa, pengurus Cita Tenun Indonesia (CTI) Bidang Pengendali Mutu, interpretasi unik para label mode menunjukkan fleksibilitas kain tenun dalam medium desain yang kekinian. “Kami percaya kolaborasi seperti ini perlu lebih banyak diselenggarakan demi melestarikan tenun sebagai identitas bangsa, dan merawat relevansi tenun dengan perkembangan tren mode,” ujar Sjamsidar.
Penggunaan kain tenun dalam busana muslim ternyata menambah nilai keindahan bagi pemakainya, baik dari aspek religiusitas maupun estetika modenya. Tentu ini memperkaya khazanah mode bagi para pengguna fesyen busana muslim maupun pecinta wastra. Kendati industri fesyen busana muslim kini tengah naik daun dan digandrungi berbagai kalangan, kebiasaan mengikuti tren fesyen busana muslim untuk menyambut bulan suci sesungguhnya masih terhitung baru di Indonesia.
Musim Busana Muslim
Menurut Eva F. Amrullah dalam “Indonesian Muslim Fashion Styles & Designs”, termuat di Isim Review 22, 2008, sampai beberapa dekade lalu, busana muslim tidak terlalu umum di Indonesia. Minat terhadap gaya busana ini mulai meningkat pada tahun 1990 hingga 2000-an. Pada tahun-tahun sebelumnya, gaya berpakaian Islami, seperti mengenakan kerudung di depan umum, masih terbatas dan hanya di lingkungan tertentu saja.
“Hingga tahun 1980-an, penutup kepala seperti kerudung maupun hijab hanya dikenakan oleh perempuan yang telah menunaikan ibadah haji. Di fase awal rezim Orde Baru, mengenakan pakaian Islami dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas negara. Pada tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bahkan memutuskan untuk melarang siswa perempuan di lembaga pendidikan menengah mengenakan penutup kepala di sekolah, dengan alasan praktik ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap aturan dasar seragam sekolah. Baru pada tahun 1991, negara, dalam upaya untuk mengkooptasi komunitas Muslim, mengizinkan wanita Muslim kembali mengenakan penutup kepala di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah,” tulis Eva.
Baca juga: Jilbab Terlarang di Era Orde Baru
Meningkatnya perhatian terhadap busana muslim berkaitan erat dengan berakhirnya rezim Orde Baru yang mendorong lahirnya reformasi. Sebab, kebebasan berekspresi memungkinkan tren fesyen busana muslim tumbuh di Indonesia. Dari yang tadinya merupakan fenomena yang sangat sederhana dan cukup langka pada awal 1990-an, busana muslim kini telah menjadi sangat beragam dan dapat ditemukan di manapun di kota-kota Indonesia.
Merunut sejarahnya, penggunaan busana muslim sangat terkait dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia yang turut memengaruhi gaya berpakaian penduduk di tanah air. Para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia tak hanya membawa gagasan dan barang-barang dagangan, tetapi juga gaya busana dari negara mereka. Eva mencatat gaya busana dari Arab Saudi dan Yaman menjadi populer, terutama ketika para pria dari negara-negara tersebut mulai menetap dan menikahi perempuan Indonesia. Meski begitu, penggunaan abaya Arab, pakaian yang menutupi seluruh tubuh, di Indonesia pada masa awal tidak sepopuler penggunaan shalwar qamiz, tunik yang dikenakan di atas celana panjang, dari wilayah India.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, shalwar qamiz lebih menyerupai gaya lokal seperti baju kurung dari wilayah Sumatra, atau kebaya panjang dari Jawa Tengah dengan perbedaan bahwa shalwar qamiz dipadukan dengan celana, sementara baju kurung maupun kebaya biasanya dikombinasikan dengan rok atau sarung. Kedua, shalwar qamiz dengan kombinasi tunik dan celana panjang lebih disukai oleh perempuan Indonesia yang aktif di ruang publik. Dengan celana, mereka merasa lebih leluasa bergerak. “Terakhir, bagi para desainer baju Muslim awal, seperti Ida Royani dan Ida Leman, mereka merasa lebih mudah untuk memodifikasi shalwar qamiz daripada abaya,” jelas Eva.
Baca juga: Menyelami Sejarah Busana Muslim
Meski tren fesyen busana muslim di Indonesia muncul karena beragam faktor, ada beberapa hal yang dipandang Carla Jones dalam “Images of desire: Creating virtue and value in an Indonesian Islamic lifestyle magazine”, termuat di Islam, Marketing and Consumption: Critical Perspective on the Intersection, sebagai faktor penentu yang membuat busana muslim semakin digemari masyarakat. Antara lain kemunculan berbagai majalah populer yang menargetkan pasar para perempuan muslim serta kehadiran sejumlah perancang busana atau desainer yang mengkhususkan diri pada fesyen busana muslim.
“Ketika para perancang busana Indonesia, yang keberhasilannya terkait dengan politik budaya pembangunan nasional pada tahun 1980-an dan 1990-an telah menghindari busana Muslim karena kesederhanannya dan asosiasinya dengan kalangan non-elit, pada awal tahun 2000-an, mereka mulai memproduksi lini sekunder untuk pasar busana Muslim. Lini ini mengikuti siklus mode yang berbeda di setiap musimnya, dengan peragaan busana dan peluncuran koleksi busana yang biasanya dilakukan pada bulan sebelum Ramadan. Di sisi lain, majalah populer yang menargetkan pasar perempuan Muslim seperti NooR telah menjadi pusat pertumbuhan industri mode Islam di Indonesia, dengan mensponsori peragaan busana para desainer, melaporkannya, dan yang paling penting, memotret dan mempublikasikan gaya mereka,” tulis Jones.
Menjadi Industri
Sementara itu menurut Eva, munculnya Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) di tahun 1993 yang menaruh perhatian besar pada gaya berpakaian Islami memungkinkan busana muslim untuk berkembang menjadi komoditas modern yang tak kalah populer dari mode busana lain. Terlebih, pada 1996 APPMI membentuk sebuah divisi yang mengkhususkan diri pada busana muslim sehinggga memberikan atmosfer yang kondusif bagi pertumbuhan industri busana muslim di Indonesia.
Industri busana muslim Indonesia terus berkembang. Tak hanya menghadirkan koleksi busana dengan berbagai corak dan warna, tapi juga menghasilkan beragam inovasi. Salah satunya kerudung siap pakai yang dirancang sedemikian rupa agar pas sehingga penggunanya tidak memerlukan aksesoris seperti peniti maupun bandana untuk mengencangkan cengkeramannya. Di masyarakat, produk ini populer dengan sebutan kerudung instan.
Baca juga: Membuka Bab Sejarah Jilbab
Para perancang busana muslim juga mengasah kreativitas mereka dengan menciptakan koleksi busana yang memiliki “sentuhan Indonesia”. Biasanya mereka memadukan rancangan busana dengan kain tradisional Indonesia seperti batik, tenun, songket, hingga ikat. Menurut Ratna Panggabean, ahli tekstil tradisi Indonesia, memadukan wastra ke dalam suatu rancangan busana muslim modern tak hanya menambah nilai estetika produk tersebut tetapi juga dapat menjadi upaya untuk mengenalkan dan melestarikan nilai budaya yang terkandung dalam kain tradisional itu.
“Indonesia ini kaya raya (akan wastra, red.). Setiap wilayah memiliki ciri khasnya masing-masing, dan ini sangat potensial untuk dikembangkan. Bisa dibayangkan, saat dipadukan ke dalam suatu busana Muslim, ada berapa banyak ragam yang dapat dikreasikan, mulai dari corak, warna, hingga bentuknya,” jelas Ratna ketika ditemui Historia.ID di galeri dan sekretariat Cita Tenun Indonesia (CTI) di Jakarta pada Jumat (21/3/2025) lalu.
Sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap wastra atau kain tradisional Indonesia, kolaborasi antara busana muslim dengan tenun memberikan warna baru dalam industri fesyen tanah air. Cut Kamaril Wardani, pengurus Bidang Penelitian dan Pengembangan CTI, memandang bahwa salah satu faktor yang membuat kolaborasi ini diminati banyak kalangan karena model busananya dirancang sesuai dengan tren atau mode terkini.
Baca juga: Dari Hijab hingga Hijrah
“Model pakaian bisa sangat menentukan. Misalnya celana, kalau dirancangnya biasa-biasa saja mungkin akan terlihat standar. Tetapi jika dibentuk sedemikian rupa dan memiliki keunikan, bukan tidak mungkin akan membuat pemakainya menjadi lebih menarik,” ungkap Kamaril.
Hal senada diutarakan Koestriastuti Basuki. Perempuan yang bertanggungjawab di Bidang Pelatihan dan Pembinaan Perajin yang dinaungi CTI itu juga beranggapan bahwa keanekaragaman motif tenun membuat kain tradisional ini dapat dipadupadankan dengan beragam busana maupun aksesoris sehingga cocok untuk tampilan formal ataupun non-formal.
Pada akhirnya, pertumbuhan industri mode Islam di Indonesia yang terus merangkak naik tak hanya menyemarakkan dunia fesyen tanah air dengan gaya busana yang semakin bervariasi, tetapi juga menjadi wadah untuk mengenalkan serta melestarikan wastra atau kain tradisional melalui kolaborasi dengan para perancang busana dan pekerja kreatif di bidang ini.
Baca juga: Tenun Nusantara Merambah Generasi Muda
* Ditulis oleh Amanda Rachmadita & Martin Sitompul